Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Politik)
Dalam sebuah Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam di Kantor PBNU Kramat Raya, Jakarta pada 25 Januari 2020, Prof Mahfudz MD menyatakan bahwa haram hukumnya mengikuti sistem pemerintahan Nabi Muhammad Saw.
Alasan yang dikemukakannya, di dalam diri Nabi Muhammad Saw itu terkumpul 3 kekuasaan sekaligus yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tentunya karena keberadaan beliau sebagai Nabi. Sedangkan hal demikian tidak bisa dikover oleh manusia kebanyakan. Bahkan Prof Mahfudz MD mempertanyakan, apakah kita itu seorang Nabi. Oleh karena itu, menurutnya, tidak jadi masalah mengambil bentuk sistem pemerintahan apapun. Di Indonesia mengambil sistem presidentil republik. Malaysia mengambil sistem kerajaan.
Pernyataan demikian berpotensi melemahkan upaya mengembalikan lagi penerapan Islam secara menyeluruh dengan tegaknya Khilafah. Hal demikian terjadi karena umat memandang mustahil bisa menegakkan Khilafah. Alasannya karena kita bukan nabi.
Pernyataan Prof Mahfudz tersebut merupakan kesalahan mengambil kesimpulan. Maka patut kiranya kita mencermati beberapa hal yang mendasarinya berikut ini.
Pertama : Alasan bahwa Al- Qur’an dan Sunnah Nabi tidak menentukan bentuk baku sistem pemerintahan.
Hal ini berangkat dari kesalahan anggapan bahwa bentuk pemerintahan itu urusan dunia. Jika terkategori urusan dunia maka manusia bebas menentukannya.
Berbicara mengenai bentuk sistem pemerintahan bukanlah terkategori ilmu tetapi sebuah nidhom (sistem kehidupan). Bentuk sistem pemerintahan akan mempengaruhi asas pemerintahan, kedaulatannya, strukturnya, aturan suksesinya dan lainnya. Ambil contoh bentuk sistem pemerintahan keKhilafahan. Misalnya kita merujuk kepada hadits Nabi yang berbunyi:
كانتبنوااسرائيلتسوسهمالانبياءكلماهلكنبيخلفهنبيوانهلانبيبعديفستكونخلفاءفتكثرون.
Dulu Bani Israil segala urusannya di tangan seorang nabi. Ketika satu nabi meninggal dunia, akan diganti nabi lainnya. Dan sungguh tidak ada nabi setelahku. Maka akan ada banyak Kholifah (yang datang silih berganti). (HR muslim).
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa Nabi sudah menentukan adanya Kholifah sepeninggal beliau. Tentunya seorang Kholifah bukanlah kepala negara di dalam sistem demokrasi.
Begitu pula, bentuk Khilafah mengkonfirmasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menggantikan Nabi saw sebagai pengatur urusan umat. Posisi pengatur urusan umat adalah sebagai penguasa dan pemerintah. Jadi Khilafah itu menjadi sebuah kekuasaan sepeninggal nabi untuk mengurusi umat dengan syariat Islam.
Tentunya hal ini sangat berseberangan dengan sistem demokrasi. Justru syariat Islam bisa diamandemen atas nama suara terbanyak.
Jadi bentuk pemerintahan itu termasuk nidhom. Tidak bisa dipayungi dengan pernyataan Nabi Saw bahwa kalian itu lebih mengetahui urusan dunia kalian.
Pernyataan Nabi saw tersebut dalam konteks ilmu sains dan teknologi. Waktu itu Nabi gagal panen karena menerapkan cara bertani ala Mekah saat di Madinah. Walhasil dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat universal tidak berkaitan dengan aturan dan sistem kehidupan tertentu.
_Kedua_, Alasan bahwa dalam diri Nabi itu terkumpul 3 kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ini alasan yang tidak bisa diterima secara syar’i.
Sesungguhnya Nabi Saw itu berposisi sebagai suri tauladan bagi umatnya, termasuk dalam sistem pemerintahan. Bukankah para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ridhwanullohi alaihim adalah seorang pemimpin dalam sistem Khilafah? Sedangkan sistem Khilafah notabenenya adalah warisan Nabi saw. Bahkan sistem keKhilafahan terus berlanjut di masa Umawiy, Abbasyiyah, dan Utsmaniyyah yang menaungi hampir 2/3 dunia selama 1300 tahun. Prestasi demikian tidak pernah bisa dicapai oleh sistem pemerintahan manapun di dunia kecuali sistem Khilafah yang bisa mencapainya.
Lantas timbul sebuah pertanyaan, apakah para penguasa Islam dalam Khilafah adalah seorang Nabi? Mereka hanyalah manusia biasa. Hanya saja ketika mereka mengambil sistem Khilafah warisan Nabi, maka mereka bisa mencapai sebuah kejayaan masa.
Jadi konsep kepemimpinan dalam Islam itu sederhana. Seorang pemimpin diangkat untuk mengurusi seluruh urusan rakyatnya. Ia yang berhak mengadopsi, memutuskan dan menerapkan sebuah hukum di wilayah kekuasaannya. Ia berhak mengangkat muawin (pembantu), para wali, para amil, panglima perang, hakim, dan struktur pemerintahannya.
Sementara itu, konsep pembagian kekuasaan trias politika merupakan konsepsi sistem demokrasi. Trias politika muncul dengan latar belakang kelam praktek pemerintahan di Barat. Sistem monarki absolut menempatkan kaisar pemegang kekuasaan absolut. Hal ini mengakibatkan pemerintahan bersifat otoriter. Ditambah lagi, kaum borjuis telah banyak mengendalikan pemerintahan. Di satu sisi, kaum proletar sebagai rakyat biasa menjadi korban. Maka meledaklah revolusi sosial di Perancis.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep Trias Politika disusun untuk menghilangkan bentuk pemerintahan yang otoriter. Montesque dan JJ Rosseu menyusun konsep Trias Politika dengan tujuan agar kekuasaan bisa balance. Pemerintah tidak bisa sewenang – wenang. Ada kekuasaan rakyat (legislatif) di DPR dan ada kekuasaan hukum (yudikatif) di peradilan.
Letak kesalahan mendasarnya adalah Prof Mahfudz menggunakan konsepsi Trias Politika demokrasi guna menghukumi sistem pemerintahan di dalam Islam. Padahal sistem pemerintahan Islam tidak berangkat dari kelamnya praktek pemerintahan jahiliyah. Sistem pemerintahan Islam itu bersumber dari Al – Qur’an dan Sunnah Nabi Saw yang dipraktekkan oleh Nabi saw sendiri dan diwariskan kepada umatnya. Sistem pemerintahan Islam itu unik. Sistem pemerintahan Islam itu bukan demokrasi dan atau otokrasi dengan segala turunannya. Sistem pemerintahan Islam itu adalah Khilafah yang menerapkan Syariat Islam untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan.
#Penulis tinggal di Malang