Toleransi Kabur, Umat Islam Makin Terkubur

Toleransi Kabur, Umat Islam Makin Terkubur
Risnawati

Tahun 2019 lalu, isu Radikalisme dan intoleransi marak diperbincangkan hingga agenda perang melawan radikalisme dan intolenrasi pun begitu massif digencarkan oleh rezim yang berkuasa kembali saat ini. Sungguh ironis, tidak bisa dipungkiri bahwa opini Radikalisme dan intoleransi itu selalu diindentikkan dengan ajaran islam. Namun faktanya, justru umat Islamlah yang selalu mendapatkan tindak kekerasan dan ketidakadilan dinegeri yang mayoritas muslim dinegeri ini. Kini, memasuki tahun 2020 lagi-lagi kita menyaksikan pengrusakan mushola kaum muslim di Minahasa.

Seperti dilansir dalam POJOKSATU.id, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara terkait pengrusakan masjid di Perum Agape, Tumaluntung, Minahasa Utara. Masjid dirusak massa gara-gara terganggu dengan suara bising toa. Pagar masjid dirobohkan, bagian dalam bangunan pun dihancurkan.

Iklan KPU Sultra

Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Anton Tabah mengatakan pengrusakan rumah ibadah umat Islam tersebut membuktikan siapa yang radikal dan intoleran di Indonesia.

Selama ini, kata dia, kelompok umat Islam selalu dicap radikal dan intoleran. Padahal, kelompok tersebut tidak pernah rumah ibadah agama lain.

“Dari kasus banyaknya rumah ibadah umat Islam dirusak bisa membuka mata pemerintah siapa yang intoleran dan radikal,” kata Anton melalui keterangan tertulisnya, Kamis (30/1/2020).

Akar Masalah Intoleransi

Intoleransi (ketidaktoleranan) kadang dikaitkan dengan tindak kekerasan yang melibatkan umat Islam. Tindakan ini sering oleh kelompok liberal dijadikan alasan untuk menuding kaum Muslim sebagai kelompok yang paling tidak toleran dengan penganut keyakinan lain. Tudingan ini sejatinya untuk membenarkan pandangan keliru kaum liberal yang menyatakan bahwa munculnya kekerasan di Dunia Islam disebabkan adanya “truth claim” (klaim kebenaran) dan “fanatisme”. Untuk itu, menurut mereka, agar umat Islam bisa bersikap toleran terhadap penganut keyakinan lain, truth claim dan fanatisme harus dihapuskan. Caranya dengan “menyakini kebenaran agama lain”. Dengan cara inilah, menurut mereka, kekerasan di Dunia Islam bisa dihilangkan.

Pandangan seperti di atas jelas keliru dan menyesatkan. Alasannya, ide penghapusan truth claim dan toleransi tanpa batas lahir dari paham sekularisme-liberalisme. Tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Gagasan tersebut bertentangan dengan nash-nash qath’i (tegas) yang menyatakan bahwa agama yang Allah SWT ridhai hanyalah Islam. Selain Islam adalah kekufuran dan kesesatan. Allah SWT berfirman: Sungguh agama yang diakui di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).

Allah SWT pun berfirman: Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di Akhirat dia termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).

Toleransi dalam Islam

Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu siapa saja yeng mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sungguh ia telah berpegang pada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Kaum Muslim sat ini memadankan kata toleransi pada kata tasâmuh. Tasâmuh artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir, hlm. 702, Pustaka Progresif, cet. 14).

Toleransi secara bahasa berasal dari kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest”, yang berarti menahan perasaan tanpa protes. Menurut Websters New American Dictionary, arti toleransi adalah memberikan kebebasan dan berlaku sabar dalam menghadapi orang lain.

Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi. Berasal dari kata toleran. Mengandung arti: bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Karena itu, Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu apik sejak masa Rasulullah Saw. Islam memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Tidak memaksa non-Muslim untuk masuk Islam.

Rasul Saw. pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, melakukan transaksi jual-beli dengan non-Muslim, menghargai tetangga non-Muslim, dsb. Negara Islam perdana di Madinah yang Rasul saw. pimpin kala itu juga menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan.

Umat Islam, Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Islam juga mengajarkan bahwa penyimpangan hal pokok (ushul) dalam Islam tidak boleh ditoleransi, tetapi wajib diluruskan. Namun, perbedaan dalam cabang (furu‘) harus dihargai dengan jiwa besar dan lapang dada.

Perlakuan adil Negara Khilafah terhadap non-Muslim bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar diaplikasikan. Bukan juga berdasar pada tuntutan toleransi ala Barat, melainkan karena menjalankan hukum syariah Islam. T.W. Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menulis, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.

Arnold kemudian menjelaskan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…Kaum Protestan Silecia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Alhasil, bila masih ada yang mempersoalkan toleransi dalam Islam, sungguh merekalah yang tidak toleran. Mereka adalah musuh Allah SWT. Mereka inilah yang tidak menghendaki Islam hadir sebagai rahmat bagi kehidupan manusia dan alam semesta. WalLâhu alam bi ash-shawâb.

Oleh : Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Marketing Dakwah)