Tanggal 15 Januari 2020, jagat maya dihebohkan dengan pernyataan Sinta Nuriyah di channel Youtube Deddy Cobuzier. Sinta mengatakan bahwa jilbab tidak wajib bagi Muslimah, Karena melihat pada tokoh tokoh muslimah terdahulu yang tidak berjilbab dengan sempurna. Sinta mengatakan bahwa RA Kartini tidak berjilbab dan Istri istri Kiai NU terdahulu hanya brjilbab seprtinya yang tidak tertutup dengan sempurna. Kesimpulannya menurut Sinta Jilbab tidak wajib bagi Muslimah.
Padahal berjilbab wajib bagi setiap muslimah tak terkecuali. Perintah berjilbab ada di dalam Al-Qur’an salah satunya tertuang di surat Al-Ahzab : 59.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min:”Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” [QS. Al-Ahzab: 59].
Dalam ayat tersebut jelas diperintahkan untuk mengulurkan jilbab bagi muslimah ke seluruh tubuh.
Oleh karena itu perintah berjilbab sama halnya dengan Sholat 5 waktu, Puasa di Bulan Ramadhan, Zakat Fitrah dan Ibadah wajib lainnya. Perlu diketahui jika yang namanya wajib, maka sifatnya harus atau memaksa untuk orang yang terkena kewajiban tersebut dan dalam hal ini adalah berjilbab untuk perempuan. Ini mengartikan jika perempuan yang memakai jilbab maka akan mendapat pahala surga dan jika ditinggalkan maka dosa yang didapat adalah berupa siksa.
Akan tetapi, masih banyak kaum muslimah yang berpendapat jika jilbab merupakan sebuah pilihan dan bukan kewajiban. Mereka menganggap jika berjilbab bergantung pada siap atau tidaknya muslimah tersebut. Apabila muslimah tersebut belum siap, maka ia berpikir boleh untuk tidak memakai jilbab
Muslimah yang tidak berjilbab harus siap menerima konsekuensinya kelak. Perempuan yang tidak memakai jilbab secara tidak langsung berarti juga sudah mendustakan ayat yang diberikan Allah SWT serta sudah bersikap sombong pada diri sendiri dan pada perintah yang sudah diberikan Allah SWT. Sebagai seorang muslim wajib menjalankan perintah Allah dengan segera tanpa mencari cari alasan dan menunggu waktu.
Wajib untuk menanamkan Sami’na Waatho’na ( kami dengar dan kami taati ) dalam diri kita. Karena Allah yang menciptakan manusia, maka pastilah aturan Allah adalah sebaik baik aturan.
Rasulullah bersabda “Ada dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya, dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang baik karena tipis, atau pendek yang tidak menutup semua auratnya), Mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang) kepala mereka seperti punuk unta yang berpunuk dua. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga itu akan didapati dari sekian dan sekian [perjalanan 500 th]. [HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421].
Lantas jilbab seperti apa yang diwajibkan bagi setiap muslimah?
Mengenai pakaian wanita bagian atas, Allah SWT berfirman:
﴿وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ﴾
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (TQS an-Nûr [24]: 31)
Maksudnya, hendaknya para wanita mengulurkan kain penutup kepalanya ke leher dan dada mereka, untuk menyembunyikan apa yang nampak dari belahan gamis (baju) dan belahan pakaian, berupa leher dan dada. Dan Allah SWT berfirman mengenai pakaian wanita bagian bawah:
﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ﴾
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)
Yakni, hendaknya para wanita mengulurkan pakaian yang mereka kenakan di sebelah luar pakaian keseharian ke seluruh tubuh mereka untuk keluar rumah, berupa milhafah (mantel) atau mulâ’ah (baju kurung/jubah) yang mereka ulurkan sampai ke bawah. Allah SWT berfirman tentang tata cara secara umum pakaian tersebut dikenakan:
﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”. (TQS an-Nûr [24]: 31)
Yakni, janganlah mereka menampakkan anggota tubuh mereka yang menjadi tempat perhiasan seperti telinga, lengan, betis, atau yang lainnya, kecuali apa yang biasa nampak di kehidupan umum pada saat turunnya ayat tersebut, yakni pada masa Rasulullah SAW, yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
Dari beberapa dalil tentang pakaian syar’i wanita, maka bisa disimpulkan jika hijab bukanlah sebuah kerudung yang hanya dikenakan atau digantungkan pada bagian leher saja dan bukan juga merupakan kerudung yang tipis sehingga masih terlihat rambutnya ataupun kerudung yang hanya menutupi sebagian rambut belakang, bukan juga merupakan kerudung seperti turban yang terlihat bagian lehernya serta bukan selendang ukuran kecil yang hanya dikalungkan pada bagian pundak kanan.
Jadi hakikat hijab Syar’i itu adalah menutupi aurat dan keindahan tubuh perempuan, dengan kerudung yang menutupi dada (hanya menampakkan muka) dan gamis memanjang hingga kaki.
ketaatan itu sederhana. Maka, berhijablah dengan cara sederhana. Pakaian syar’i itu berdalil, bukan berdalih. Pakaian syar’i itu sesuai dengan Al Qur’an dan as Sunnah, bukan berdasarkan kondisi zaman. Justeru keadaan di zaman tersebutlah yang harus menyesuaikan dengan Al Qur’an. Jika memaknai dalil tentang berjilbab sebatas kontekstual menyesuaikan isi Al Qur’an dengan adat istiadat, budaya dan kondisi kekinian, maka isi kandungan dan tafsir Al Quran tidak akan berarti lagi. Karena semua hukum dan perintah al Qur’an disesuaikan dengan zaman. Jika sesuai dengan zaman, dipakai. Jika tidak sesuai perkembangan zaman maupun budaya, maka dibuang. Dan penafsiran serampangan ini membahayakan. Perlahan, hukum Allah dalam Al-Qur’an dan As Sunnah diganti dengan hukum zaman jahiliah yang kekinian. Sungguh pakaian syar’i itu berdalil, bukan berdalih. Diatur oleh Rabb yang Maha Tinggi untuk memuliakan dan menjaga manusia.
Wallahu’alam bi ash showab
Oleh: Dewi Fatimah (Aktivis Muslimah)