Perempuan di Lingkaran Kemiskinan

Oleh: Fithri Arini (Aktivis Muslimah)

Teringat sebuah tayangan sinetron di salah satu televisi swasta yang menceritakan tentang para istri yang bekerja mencari penghidupan keluarga sebagai TKW ke luar negeri. Di Sana digambarkan Istri mencari “nafkah”, suami menjaga anak-anaknya. Istri bekerja keras di luar rumah, suami sebagai pengelola “kiriman” dari istri tercinta. Gambaran dunia saat ini yang benar-benar  terbalik. Sungguh membuat hati miris.

Apa yang digambarkan oleh sinetron di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fakta saat ini. Bahkan bisa dikatakan sama. Anak-anak terlantar lantaran ditinggal ibu-ibu mereka bekerja ke luar negeri. Tidak hanya para ibu yang pergi, bahkan ada yang kedua orang tuanya berangkat sekaligus. Sebut saja contohnya di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur. Mayoritas yang merantau adalah perempuan. Berdasarkan penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) tahun 2015, di desa tersebut terdapat lebih dari 350 anak (0-18 tahun) yang ditinggal oleh ibu atau bapak dan bahkan keduanya untuk merantau ke negara lain seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong dan negara Timur Tengah (www.bbc.com).

Fakta demikian masih banyak dijumpai dibeberapa wilayah Indonesia. Dorongan terbesar adalah faktor ekonomi. Lemahnya perekonomian keluarga dan minimnya lapangan kerja di dalam negeri menjadikan mereka nekat mengadu nasib di negara orang. Mereka pun pada hakikatnya tidak menginginkan hal yang demikian. Meninggalkan anak dan suami ke wilayah yang jauh dan dalam waktu yang sangat lama.

Bisa dibayangkan, bagaimana nasib anak-anak yang jauh dari ibunya. Ketidakhadiran ibu di antara mereka menimbulkan masalah baru. Peran seorang ibu tidak berfungsi lagi. Kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan, harus terhalang lantaran perekonomian. Mengandalkan seorang bapak untuk menjaga mereka, tidaklah sepadan dengan apa yang dirasakan ketika berada di samping seorang ibu. Bahkan jika kedua orang tuanya yang bekerja, mereka terpaksa dititipkan kepada kakek, nenek, paman atau kerabat yang lain. Anak-anak terlantar dan terjerumus pada masalah. Misalnya narkoba, seks bebas, pembunuhan, pemerkosaan, dsb.

Solusi Yang Tak Menyelesaikan

Nah dari sinilah muncul berbagai problem. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga-keluarga saat ini tak lepas dari matinya peran negara dalam menjamin kebutuhan rakyatnya. Lapangan pekerjaan yang ada tidak bersahabat pada suami/laki-laki sehingga menyeret wanita yang harus keluar untuk bekerja. Mereka tak tahan lagi dengan kemiskinan yang tak kunjung usai. Terlebih negara telah memberikan racun kesetaraan gender dengan jargon pengentasan kemiskinan. Wanita sama dengan laki-laki jadi berhak untuk bekerja di luar rumah.

Dari sini-lah kemudian para wanita semakin berani dan meyakini bahwa jika perempuan ikut bekerja pasti akan menghasilkan pundi-pundi uang yang lebih daripada laki-laki. Perempuan adalah makhluk yang ulet, telaten dan tidak banyak mengeluh ketika bekerja. Apalagi jika ditambah dengan penampilan yang menarik, pasti akan banyak yang menerimanya.  Mulailah peran suami dan istri menjadi terbalik. Istri yang mencari “nafkah”, suami yang di rumah.  Benar-benar racun bukan?

Islam Memberikan Solusi

Akar masalah kemiskinan ini sebenarnya bukanlah terletak pada apakah laki-laki yang bekerja ataukah perempuan yang bekerja. Apakah laki-laki yang bermasalah ataukah justru perempuan yang bermasalah. Fokusnya bukanlah pada kelelakiannya atau keperempuanannya. Justru ketika masalah kemiskinan ini difokuskan ke sana, pasti akan menimbulkan masalah-masalah baru.

Islam sebagai agama yang paripurna, telah memberikan solusi atas berbagai permasalahan manusia, termasuk dalam hal ini. Allah Swt.sebagai Sang Pencipta keduanya telah memberikan aturan atas peran masing-masing. Terlebih untuk masalah nafkah ini. Allah telah menetapkan bekerja untuk mencari nafkah sebagai kewajiban bagi laki-laki/suami.  Sebaliknya, bekerja untuk mencari nafkah bukan merupakan kewajiban bagi wanita/istri. Bahkan sekalipun suami tidak mau bekerja, tetap kewajiban itu melekat padanya dan akan terkena beban dosa jika tak dikerjakan. Sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya di surat Ath Thalaq ayat 7 terkait nafkah ini:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Nah, kata dzu, hanya digunakan untuk mudzakkar atau laki-laki . Dan Allah Swt.juga berfirman di surat Al Baqarah ayat 233 yang artinya:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.”

Dari sini jelas bahwa kewajiban nafkah ada di pundak laki-laki/suami. Sehingga istri tidak perlu keluar rumah dan meninggalkan anak-anak mereka demi bekerja.

Tetapi masalahnya lagi, bekerja di jaman kapitalis saat ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka disinilah negara mempunyai peran untuk menyediakan lapangan kerja yang layak bagi para suami/laki-laki. Karena pada hakekatnya, negara lah yang berkewajiban memberikan jaminan penghidupan yang layak bagi setiap warganya. Kepala negara bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Saw. di bawah ini:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, jika peran individu suami dan peran negara terjalankan, maka tak ada lagi kisah seorang bahkan jutaan perempuan yang meninggalkan rumah dan anak-anak untuk bekerja demi keberlangsungan keluarga mereka. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan akan cepat bisa terselesaikan. Wallahu ‘alam bishshowab.