Banjir PHK dan Keluarnya Napi, Bukti Kebijakan Kontradiktif

drg Endartini Kusumastuti

Keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membebaskan 35 ribu napi dari lapas, mulai timbulkan masalah baru. Para narapidana itu menghirup udara bebas melalui program asimilasi. Kebijakan itu tertuang dalam Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor 19.PK.01.04 Tahun 2020. Napi yang bebas hanyalah napi pidana umum dan napi anak-anak. Di berbagai daerah, napi yang sudah dibebaskan itu, kambuh lagi. Ada yang maling, ada yang bikin rusuh. Rakyat di dunia nyata resah dan cemas. Komisioner Ombudsman RI, Alvin Lie memprediksi, kejadian seperti ini akan kembali terulang. Menurutnya, Yasonna tidak pikir panjang soal ribuan nasib napi yang dibebaskan dari lapas. Padahal ekonomi di luar lapas juga lagi sulit. “Siap-siap makin banyak yang begini. Menkumham tidak mikir setelah dilepaskan dari LP. Bagaimana para napi bisa cari kerja, menafkahi dirinya di saat kondisi ekonomi melambat drastis di tengah wabah covid-19,” cuit Alvin dalam akun Twitter miliknya. (www.rmco.id, 11/04/2020)

Di sisi lainnya yang tak kalah mencengangkan publik saat ini adalah angka PHK akibat terdampak wabah COVID-19 ini makin meningkat tajam. Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan B Satrio Lelono mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 2,8 juta. Lonjakan PHK dan pekerja dirumahkan sebagai dampak ekonomi di tengah pandemi virus corona. (www.cnnindonesia.com, 13/04/2020)

Iklan Pemkot Baubau

Kebijakan Baru Yang Rawan Kekacauan Publik

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun bereaksi. Ia khawatir gelombang PHK dan dirumahkan secara massal akan kembali mengancam para buruh berikutnya di tengah wabah corona. “Darurat PHK akan mengancam puluhan hingga ratusan ribu buruh,” ujar Said dalam keterangan tertulis, Minggu (5/4/2020). Said mengatakan, terdapat empat faktor yang menyebabkan kaum buruh terancam kena PHK. Pertama, ketersediaan bahan baku di industri manufaktur yang mulai menipis. Khususnya bahan baku yang berasal dari negara importir, seperti China dan negara-negara lain yang juga terpapar virus corona. (www.nasional.kompas.com, 07/04/2020)

Lantas bagaimana kondisi di atas sampai membuat kebijakan Kemenkumham untuk melakukan program asimilasi napi di tengah wabah pandemi ini? Kebijakan yang sangat berlawanan. Di satu sisi perekonomian dunia seakan terhenti karena Corona. Aktivitas perekonomian dibatasi dan mobilitas masyarakat diperketat. Di sisi lain, melepaskan napi dengan alasan pembatasan aktivitas di dalam penjara untuk menghindari penularan wabah. Sungguh aneh.

Kebijakan mendasar dari sistem Kapitalis adalah mempertahankan perekonomiannya, dimana negara berlepas tangan terhadap keberlangsungan kehidupan rakyatnya. Negara bukan sebagai penjamin kebutuhan rakyatnya. Karena di dalam sistem ini, negara melihat dengan kacamata untung rugi. Minim bantuan dan ‘dipaksa’ mandiri secara ekonomi. Saat ada sesuatu yang gratis, hal itu bagai mata air di tengah padang pasir. Saking langkanya dan hampir jarang pemerintah memenuhi kebutuhan mereka. Makin banyak donasi sosial dari individu dan kelompok masyarakat, semakin membuktikan keberadaan negara dimana.

Sistem Islam, Berada Bersama Rakyat di Tengah Pandemi

Partikel renik Covid-19 itu mampu membuka mata hati rakyat bahwa sistem Kapitalisme telah gagal mengatasi wabah sejak pertama kali muncul. Tidak hanya memanfaatkan krisis dan kebutuhan rakyat demi kepentingan kelompok elite politik saja, kapitalisme “sukses” membawa manusia pada krisis kepercayaan. Demikianlah tabiat kapitalisme. Sistem yang hanya memikirkan materi tanpa pernah tulus memberikan kesejahteraan rakyat secara cuma-cuma. Berharap akan “kemurahhatian” pemimpin di era kapitalistik serasa bagai pungguk merindu sang bulan.

Itu mustahil, karena mereka akan selalu minta kompensasi atas servis yang mereka berikan pada rakyat. Pengharapan akan ketulusan pemerintah dalam mengurus urusan rakyat hanya terealisasi jika Islam yang menjadi pengatur atas kehidupan manusia.

Pemenuhan harapan itu niscaya terjadi karena setiap Khalifah itu dipilih demi menjalankan tugas memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Mereka tak bakal mengingkari amanahnya karena sungguh takut akan implikasinya di akhirat. Saat sistem Islam diterapkan dan menajdi adikuasa, tidak akan pongah dan berani memanfaatkan kelemahan rakyat. Sistem Islam juga steril dari kepentingan bisnis, apalagi memberi keistimewaan bagi raksasa korporasi yang bakal menangguk untung besar di saat seluruh rakyat menestapa. Itu hina dan haram bagi pemimpinnya, yakni Khilafah. Pesan politis dari sang virus semestinya memberi kesadaran bahwa kapitalisme hanyalah peradaban sampah yang tak mampu mengatasi masalah, bahkan pasti melahirkan masalah berikutnya. Saatnya bagi masyarakat untuk menjadikan sistem alternatif yang mampu mengatasi krisis secara bermartabat, yakni Sistem Islam. Tidak cukup hanya mengimani janji Allah akan tegaknya negara tersebut, tapi turutlah jalan terjal untuk memperjuangkannya. Wallahua’lam bishshowab.

Penulis : drg Endartini Kusumastuti (Praktisi Kesehatan Masyarakat)