Kriminalitas Meningkat Masyarakat Was-Was

Mariana, S. Sos

Sejak Kepmen diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Sebab, napi yang dibebaskan dikhawatirkan kembali berbuat kejahatan. Benar saja, terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah.

Seperti di Bali, pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 2 kilogram. Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga.Selanjutnya di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap tiga hari kemudian. ( Kumparannews, 9 April 2020 ).

Pembebasan gagal, kriminalitas semakin masif

Pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi oleh Kemenkumham telah membuat resah di masyarakat. Sebab faktanya ada sebagian dari Napi yang baru lepas dari sel tahanan ternyata berulah lagi, seolah efek jera tahanan tidak membuat para napi kapok untuk melakukan kejahatan.
Program pembebasan Napi pun terkesan asal-asalan tanpa kontrol atau pengawasan yang memadai dari Kemenkumham sehingga para Napi pun bebas untuk menentukan arah langkah mereka selanjutnya akan kemana dan mau berbuat apa.

Yang terjadi ada sebagian dari para Napi yang bebas lepas tidak terkendali dan kembali melakukan kejahatan.
hal ini membuat masyarakat semakin khawatir sebab yang menjadi sasaran dari kejahatan para napi ini adalah masyarakat. Maka dikhawatirkan pembebasan ini justru menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat. Jika kejahatan itu dibiarkan maka akan menimbulkan kekacauan, kalau bukan napinya makin beringas berbuat jahat maka masyarakatnya akan semakin lepas kontrol dan membuat hukum sendiri untuk menghakimi para penjahat. Akibatnya terjadilah hukum rimba yang kuat menindas yang lemah, jadi siapapun yang kuat maka dia akan keluar sebagai pemenangnya, Ini sangat berbahaya.

Karena itu pembebasan tanpa kontrol akan sangat rawan tejadinya masalah baru, apalagi ketika kejahatan itu menjadi sebuah kebiasaan. di tambah lagi situasi corona dimana ekonomi yang sulit, lapangan pekerjaan tidak ada, PHK semakin masif. Tentu situasi ini akan sangat memungkinkan meningkatnya kriminalitas. Ketika kriminalitas meningkat maka yang akan jadi korban adalah masyarakat, hal ini tentu, dapat memengaruhi stabilitas dan integrasi nasional.

Situsi saat ini, bukan hanya corona yang dikhawatirkan tapi keamanan yakni harta dan nyawa juga di pertaruhkan. Pembebasan para Napi apalagi napi kelas atas dengan kejahatan luar biasa, tentu akan membuat masyarakat was-was. Karena tidak menutup kemungkinan napi tersebut akan melakukan kejahatan yang sama atau bahkan lebih sadis, sebab jika tidak ada pembinaan yang baik pada Napi yang di bebaskan maka akan sulit di harapkan kesadaran dari mereka untuk berbuat baik di tengah masyarakat.
Tidak sedikit fakta bahwa Napi yang di bebaskan dari jeruji besi akan kembali berulah bahkan dengan tingkat kejahatan yang lebih parah sebab tidak ada pembinaan yang dapat membentuk kesadaran pada mereka, selain itu sanksi yang di berikan gagal memberi efek jera sehingga kecanduan berbuat jahat akan semakin mungkin terjadi.

Apalagi kondisi masyarakat di tengah kepanikan akibat wabah, sangat mungkin di manfaatkan oleh mereka yang memiliki otak dan prilaku jahat untuk berbuat keonaran.
Sistem kapitalis sekuler, telah gagal memberikan rasa aman di tengah masyarakat, Negara berlepas tengan dari mengurusi hajat hidup publik padahal keamanan adalah perkara yang esensi yang seharusnya menjadi perhatian penguasa. Rakyat terpaksa harus mengurusi keamanannya sendiri dengan benteng pertahanan sesuai kemampuan mereka.

Sementara penguasa sibuk membuat kebijakan yang justru banyak merugikan rakyat. Melepaskan narapidana tanpa kontrol atau pengawasan dari pemerintah tentu akan sangat mengkhawatirkan bagi keselamatan masyarakat.

Guru besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman ( Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai fenomena tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas atau rutan, dalam mengawasi para napi yang dibebaskan. Itu yang kita khawatirkan. Artinya asimilasi di rumah harus dibarengi pengawasan yang cukup ketat oleh lapas, jangan sampai lepas, ujar Hibnu saat dihubungi, Kamis (9/4)( kumparannews).

Negara Pelindung Masyarakat
Pemimpin adalah Raain yakni sebagai penjaga dan diberi amanah atas bawahannya, tentu pemimpin dalam hal ini adalah mereka yang punya tanggungjawab untuk mengurusi rakyat dibawah pengawasannya. Dan pemimpin Sebagai junnah yaitu perisai yang melindungi orang-orang yang dibawah kekuasaannya. Karena itu, pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menghalangi atau mencegah musuh untuk mencelakai rakyatnya, memerangi siapapun yang hendak melakukan pengrusakan dan menzalimi rakyatnya.

Dalam Islam, sanksi (uqubat) disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Sanksi di dunia dilaksanakan oleh imam (Khalifah) atau orang yang mewakilinya. Yaitu diselenggarakan oleh negara dengan cara menegakkan hudud Allah. Sanksi di dunia bagi pelaku dosa atas dosa yang dikerjakannya di dunia, dapat menghapuskan sanksinya di akhirat.
Hal itu karena uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindak kejahatan/pelanggaran. Dan keberadaan uqubat sebagai jawabir, karena uqubat dapat menebus sanksi akhirat.

Sanksi akhirat bagi seorang Muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan di dunia.
Perbuatan-perbuatan yang dikenai sanksi adalah tindakan meninggalkan kewajiban (fardhu), mengerjakan perbuatan yang haram, serta menentang perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh negara. Selain tiga hal ini, perbuatan lainnya tidak dikenai sanksi. Di antara contoh perbuatan yang dapat mengandung sanksi dari Allah adalah perintah untuk menjaga harta dari pencurian. Di satu sisi, syariat telah memerintahkan kaum muslim untuk menjaga hartanya.
Di sisi lain, untuk melaksanakan perintah tersebut, Allah mensyariatkan hukum potong tangan untuk pencuri, sebagaimana dalam QS Al-Maidah [5] ayat 38: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Dengan keimanan yang dimilikinya, kaum Muslimin yang melakukan kejahatan justru akan menyadari kesalahannya hingga bertobat, dan bersedia dikenai sanksi atas pelanggaran hukum syariat oleh dirinya tersebut.

Mereka rela menanggung sakitnya sanksi di dunia agar terbebas dari azab Allah di akhirat. Sama sekali tak terbesit rasa ingin berleha, apalagi minta cuti dan potong masa tahanan dari kemaksiatan yang telah dilakukan. Justru karena telah bermaksiat, maka dirinya paham dan sadar bahwa harus mempertanggungjawabkannya. Selain itu, kontrol atau pengawasan sosial dari masyarakat akan dapat mencegah terjadinya pelanggaran di tengah masyarakat.

Saat ini, bisa jadi banyaknya napi dikarenakan kejahatan itu dipelihara, sanksi tidak membuat efek jera dan terkesan tebang pilih, yang kuat kekuasaan dan modal maka hukumnya dapat dimanipulasi sedang yang miskin kekuasaan dan modal siap tersingkir dan tersungkur dalam jurang hukum yang sangat dalam. Hukum tidak memberi keadilan plus gagal dalam penegakkannya. Karena itu hanya Islam yang dapat menjawab tantangan zaman saat ini di tengah kegagalan hukum dan ketidakadilan yang di tegakkan. Wallahu alam ( ***)

Oleh : Mariana, S. Sos (Guru SMPS Antam Pomalaa, Kolaka)