Pra Kondisi Kehidupan Islam di Tengah Pandemi Covid-19 Yang Tak Terelakkan

Ainul Mizan

Di tengah pandemi Covid-19 ini, pemerintah telah menggulirkan berbagai langkah yang tujuannya guna memutus mata rantai persebaran Covid-19. Mulai dari social distancing, physical distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Walaupun untuk pemberlakuan PSBB, pertama di Jakarta dan daerah penyangganya.

Tentunya keadaan demikian membuat ketidaknyamanan tersendiri. Gerak terbatas, hingga kegiatan ekonomi menjadi lesu.

Iklan Pemkot Baubau

Akan tetapi bila dicermati, sesungguhnya keadaan pandemi ini merupakan pra kondisi kehidupan yang Islami. Memang terkesan terpaksa dan dipaksa. Lambat laun akan terbiasa.

Dengan adanya social distancing bahkan physical distancing, bisa diputus transmisi Covid-19. Kesehatan menjadi alasan yang dimaklumi bersama.

Bukankah menerapkan social dan physical distancing antara laki dan perempuan juga menimbulkan kesehatan? Kesehatan iman tentunya. Memisahkan jama’ah laki – laki dan perempuan, menjaga pandangan terhadap yang bukan mahrom, dan haramnya berduaan antara laki dan perempuan, tentunya akan menyehatkan kehidupan bermasyarakat. Bisa dijauhkan dari pergaulan bebas, pacaran hingga perbuatan asusila.

Halalnya pernikahan sebagai pintu sah pergaulan intim laki dan perempuan, akan dipenuhi cinta kasih dan tanggung jawab. Indah sekali tata pergaulan Islam.

Adapun dari aspek dampak ekonomi dari pandemi. Akhirnya masyarakat secara sukarela membantu anggota masyarakat yang kurang mampu. Saluran – saluran sosial dibuka. Termasuk para khotib di mimbar jum’at mengajak gemar bershodaqoh guna menolak bala’.

Tentunya ini mencerminkan solidaritas sosial yang baik di tengah masyarakat. Menolong orang yang membutuhkan adalah kewajiban umum kaum muslim.

Di dalam Islam, ketika kas negara tidak mencukupi guna menanggulangi wabah dan bencana. Maka negara bisa mengambil semacam pajak dari rakyat yang mampu. Sebatas besaran dana yang dibutuhkan. Jadi yang pertama kali menjadi teladan adalah pemerintah dan pejabat negara.

Pajak bukan instrumen utama pemasukan negara. Itupun setelah negara benar – benar menyantuni rakyat terdampak dengan baik. Tentunya umat Islam pun akan tergerak bahu membahu dengan negaranya.

Begitu pula, para ibu harus kembali ke rumah. Fungsi utama sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) mulai bergeliat. Akhirnya mereka mengerti akan pentingnya seorang ibu bagi putra – putrinya.

Saat ini tugas sebagai ibu rumah tangga dipandang terhormat dan berkelas. Menjungkirbalikkan pandangan tentang wanita karir yang serba diiringi decak kagum.

Di sisi lain, dengan adanya PSBB, terpaksa pemerintah betul – betul melakukan riayah. Dari menganjurkan memakai masker hingga memberi penjelasan panjang lebar akan kegunaan masker kepada masyarakat yang tidak bermasker. Bahkan aparat bersama pemerintah desa dengan sigap mengedukasi terhadap masyarakat yang menolak gedung sekolah dijadikan tempat isolasi bagi pemudik.

Akhirnya bermasker menjadi pandangan yang lumrah saat ini. Padahal sebelumnya, yang bercadar dipersoalkan. Bahkan diindikasikan sebagai bagian gerakan radikalisme.

Pada saat yang bersamaan, ekskalasi rasa tidak aman di tengah – tengah masyarakat mengalami peningkatan. Di tengah pandemi ini, seharusnya negara tidak hanya menscreening aspek kesehatan fisik masyarakat. Yang juga tak kalah pentingnya, masyarakat diberikan rasa nyaman dan tenteram. Bagi mereka yang melakukan kejahatan di tengah masyarakat tentunya harus diberikan sangsi yang bisa menimbulkan efek jera.

Demikianlah beberapa keadaan pra kondisi kehidupan Islami di tengah pandemi Covid-19. Tentunya harus dibarengi dengan edukasi yang benar di tengah masyarakat. Masyarakat bisa memahami bahwa di dalam Islam, pengurusan negara terhadap rakyatnya tidaklah hanya muncul di saat kondisi wabah. Negara harus selalu hadir menjadi benteng penjaga dan pengurus rakyat dengan sebaik- baiknya. Bukan justru memprioritaskan proyek insfrastruktur seperti membangun ibu kota baru, daripada menyelamatkan rakyatnya. Apalagi melakukan tindakan politik yang melanggengkan adanya penjajahan terhadap negerinya. Penyerahan SDA kepada asing, termasuk legitimasi masuknya banyak TKA ke dalam negeri, yang menandai ketidakberpihakan negara kepada kesejahteraan rakyatnya.

Juga dengan penerapan sistem sangsi Islam akan mampu menjamin keamanan masyarakat. Baik di saat terjadi wabah maupun tidak. Dengan sangsi yang tegas terwujudlah efek jera. Dengan begitu, kehidupan masyarakat terpelihara.

Akhirnya pandemi Covid-19 membuka borok – borok Kapitalisme. Pra kondisi kehidupan Islami di tengah umat akan mengkristal menjadi kerinduan yang membuncah. Sebuah kerinduan bagi tegaknya peradaban agung bagi dunia setelah ambruknya Kapitalisme global. Terbitnya fajar KeKhilafahan Islam yang menyejahterakan dunia.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik)
Penulis tinggal di Malang