Oligarki Kekuasaan Ditengah Wabah Pandemi

Ulfa Sari Sakti

Sejatinya saat Pandemi Covid-19 ini, kepentingan rakyat khususnya yang berhubungan dengan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi prioritas pemerintah. Sehingga kebijakan anggaran yang diambil pemerintah bukannya sebaliknya menguntungkan pengusaha dan kroni-kroninya. Sehubungan dengan hal tersebut, saat ini sedang viral pengunduran diri dua staf khusus (Stafsus) millenial presiden.
Dalam sepekan, dua staf khusus millenial mengumumkan pamit dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Keduanya Adamas Belva Syah Devara dan Andi Tauafan Garuda Putra. Mereka telah mengajukan pengunduran diri pekan lalu ke Presiden Joko Widodo, yang beberapa hari kemudian disetujui Jokowi.

Jokowi mendoakann agar dua bekas pembantunya sukses di bidang masing-masing. Ia juga berterima kasih atas kerja keras Stafsus. “Mereka telah banyak membantu saya bersama-sama dengan staf khusus lainnya membuat inovasi di berbagai sistem pelayanan publik sehingga lebih cepat dan efektif”.

Mundurnya dua Stafsus milenial Jokowi masih menyisakan persoalan di tengah sorotan ada dugaan konflik kepentingan.
Andi Taufan mengirimkan surat bertanggal 1 April 2020 dengan kop Sekretaris Kabinet kepada Camat di Pulau Jawa, Sulawesi hingga Sumatera bahwa PT Amartha, perusahaan miliknya, akan mengedukasi Covid-19 dan memfasilitasi kebutuhan APD di daerah.

Surat itu bocor ke publik beberapa hari kemudian dan dikecam karena Andi Taufan sebagai Stafsus, yang tidak punya kewenangan struktural di pemerintahan, berpotensi melakukan maladministrasi dengan menyalahi prosedur birokrasi.
Kendati sudah resmi mundur, tak jelas bagaimana potensi konflik kepentingan itu diselesaikan. Hal sama juga terjadi saat Belva Devara yang pamit lebih dulu dari Andi Taufan.

Belva mundur di tengah polemik keterlibatan ruangguru sebagai salah satu dari delapan mitra pelatihan Kartu Prakerja mendapatkan sorotan tajam, karena saat ini pemegang Prakerja justru memerlukan dana tunai karena imbas Pandemi Covid-19 sulit mendapatkan pekerjaan. (tirto.id/25/4/2020)

Masyarakat Butuh Sembako Bukan Pelatihan
Keikutsertaan perusahaan Stafsus presiden dalam program pemerintahan, membuat tanda tanya tersendiri bagi masyarakat. Tidak heran ada elemen masyarakat seperti Fatayat NU yang mendesak pemerintah untuk menghapus program Kartu Prakerja, karena yang mendesak dibutuhkan masyarakat yaitu Sembako, bukan pelatihan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU), Anggia Erma Rini meminta pemerintah mengevaluasi kembali program Kartu Prakerja yang saat ini sedang berlangsung.
“Sebelum terlalu jauh, pemerintah harus mendengar betul masukan berbagai elemen masyarakat terhadap pelaksanaan program Prakerja yang sedang berjalan di masa pandemik ini,” kata Anggia (Visi Muslim News/23/4/2020).

Islam Anti Oligarki

Berbeda dengan sistem Kapitalis yang menintikberatkan pada asas manfaat yang diperoleh, sistem Islam menitikberatkan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah swt, sehingga tidak heran setiap aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegaranya lebih mengutamakan kepentigan umat.

Bahkan dalam Islam dikatakan nyawa muslim lebih berharga dibanding dunia, Dari al-Barra bin Azib ra, Nabi saw bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuh seorang mukmin tanpa hak” (HR Nasai, Turmudzi)
Hal inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemimpin muslim pada sistem Kapitalis seperti saat ini, apakah kebijakan yang mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan rakyatnya benar-benar telah tepat sasaran.

Apalagi saat ini masyarakat sangat membutuhkan pangan dari pemerintah, karena mereka tidak mampu memenuhinya akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pun himbauan pemerintah untuk tetap di rumah saja.
Bandingkan dengan saat sistem pemerintahan Islam masih tegak, para khilafah tidak akan makan atau tidur dengan tenang hingga rakyatnya kenyang. Seperti yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Ketika rakyat sedang dilanda kelaparan, Umar bin Khattab naik mimbar dengan perut keroncogan, sambil menahan lapar yang tidak kepalang, Umar berpidato dihadapan orang-orang.

Dia mengatakan kepada perutnya,” Hai, perut, walau engkau terus meronta-ronta, keroncongan, saya tetap tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhammad merasa kenyang”.
Dalam riwayat lainnya dari Ibnu Sa’aad disebutkan, pada musim kemarau yang kering, Umar bin Khattab pernah melihat seorang anaknya memegang semangka. Umar berkata kepada anaknya,” Celakalah seorang anak Amirul Mukminin makan buah semangka, sedangkan umat Muhammad kurus kelaparan”. Anaknya yang masih kecil itu langsung lari keluar rumah dan menangis. Para tetangga melihat dan berkata, “Buah itu tadi dibelinya dengan segenggam biji buah-buahan”.

Dalam riwayat lain dikisahkan juga tentang khalifah Umar bin Adul Aziz dan lampu istana. Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membicarakan sesuatu. “Untuk urusan apa putraku datang ke sini : urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar. “Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.

Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Anaknya bertanya, “Kenapa ayah memadamkan lampu itu?. “Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan ini juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar. Umar kemudian menyuruh pembantunya untuk mengambil lampu keluarganya dari ruang dalam.
Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz gemar memakai wangi-wangian dan pakaian sutra. Tetapi setelah diangkat menjadi khalifah, ia justru menggnti pakaiannya dengan kain kasar. Perhiasan istrinya ia jual dan uangnya dimasukkan ke kas negara (Baitul Mal).

Suatu hari, istrinya mendapat hadiah sebuah kalung dari seorang raja negara lain, Umar meminta istrinya memberikan kalung tersebut pada Baitul Mal, istrinya menolak dengan alasan kalung itu hadiah untuknya. “Kau diberi hadiah karena kau istri khalifah, kalau seandainya kau bukan siapa-siapa, tentu kau tidak akan mendapatkannya,” ujar Umar mengingatkan isterinya.
Sejumlah riwayat tersebut harusnya menjadi teladan para pemimpin muslim di daerah maupun di negara, agar dapat betul-betul amanah dalam mengemban tugas. Bukannya lebih mementingkan kepentingan kroni-kroninya. Semoga saja tidak akan lama lagi sistem Islam kembali tegak, sehingga tidak ada lagi Oligarki dibalik penanganan masalah keumatan seperti Corona ini. Wallahu’alam bishowab.

Oleh: Ulfah Sari Sakti,S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)