“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha: 124)
Pandemi Covid-19 masih terus menyelimuti dunia. Up date data kasus positif virus Covid-19 di Indonesia pada hari ini masih memperlihatkan peningkatan signifikan. Peningkatan angka kematian di Indonesia terkerek ke level 9,49 persen. (Tirto.id, 14/4/2020).
Wabah yang sudah menyebar ke 93 negara ini juga mengancam sektor ekonomi. Banyak keluarga kehilangan pendapatan. Aktivitas ekonomi terancam lumpuh, karena sejumlah pengusaha menghentikan usahanya. Ada yang sementara, bahkan ada yang bangkrut.
Sementara itu pemerintah pusat dan sebagian pemerintah daerah memberlakukan PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar, untuk menangani wabah virus Covid-19. PSBB ini sesuai dengan UU No.6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, pemerintah menyiapkan Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli. Sayangnya, JPS ini belum merata karena data yang masih berantakan dan terus berubah-ubah.
Seperti yang dilansir oleh Pikiran Rakyat.com, jumlah bantuan JPS Covid-19 di Kabupaten Bandung diperkirakan akan menyentuh sekitar 534.157 penerima. Namun jumlah itu bersifat sementara karena masalah dalam proses verifikasi. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bandung, Nina Setiana, mengatakan jumlah tersebut merupakan gabungan dari beberapa sumber bantuan JPS mulai dari pemerintah pusat hingga Pemkab Bandung. “Dimungkinan data bisa berubah dalam proses verifikasi dan validasi yang terus berjalan,” kata Nina. Sementara data warga misbar (miskin baru), kata Nina hanya menerima usulan dari desa-desa. Dari data yang sudah masuk, warga misbar mencapai 4000-6000 KK di satu desa.
Hal ini menunjukkan bahwa rakyat belum bisa berharap kepada pemerintah. Rakyat harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Empat paket program JPS yang diluncurkan presiden pada 31 Maret lalu, ditanggapi dingin oleh masyarakat. Bahkan sontak mendapat kritikan pedas dari para pengamat kebijakan publik di Indonesia. Selain dianggap tidak solutif untuk mengatasi problem sosial yang terus meluas akibat pandemik Covid-19, juga karena program ini nampak sekedar pencitraan saja. Bahkan situs Tirto.id membuat ulasan khusus tentang program ini dengan judul Program JPS Hanya Gimik di Tengah Covid-19.
Istilah gimik itu sama dengan panjat sosial (social climber), yaitu istilah yang dipakai untuk menggambarkan usaha manusia untuk membranding personalitasnya. Sehingga brand tentang diri pribadi menjadi positif. Sudah menjadi rahasia umum jika rezim sekarang memang dikenal hobi melakukan pencitraan. Namun sayang, pencitraan itu selalu dengan mudah terbongkar, karena kebijakan-kebijakan yang diambil seringkali menafikan kepentingan rakyat banyak. Rakyat negeri ini ibaratnya anak tiri yang ditelantarkan di rumah keluarganya yang kaya raya.
Presiden mengklaim bahwa alokasi dana dan jumlah penerima manfaat dari ke empat program JPS ini meningkat dari sebelumnya. Ke empat program utama JPS itu meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, Program Kartu Prakerja, dan subsidi tarif listrik.
Untuk PKH misalnya, jumlah penerima manfaat diklaim akan bertambah dari 9,2 juta menjadi 10 juta dengan tambahan besaran sekitar 25%. Tapi proyek PKH ini sudah ada dalam RPJMN 2019-2024 Kemensos dan Perpres No.61 Tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020, sudah disebutkan soal rencana peningkatan jumlah sasaran dan besaran penerima PKH. Tapi itu adalah dalam kondisi “normal” bukan sebagai solusi saat terjadi wabah Corona. Sehingga wajar jika klaim JPS sebagai solusi Corona, disebut-sebut sebagai modifikasi kampanye pencitraan.
Selama ini Program Keluarga Harapan dipandang banyak cacat. Selain karena berbasis data yang berantakan, juga karena program ini sejatinya adalah program jangka panjang yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan antargenerasi yang dinilai belum tentu tepat. Kemudian bagaimana nasib masyarakat miskin baru akibat wabah Corona yang terus bertambah?.
Sebelum wabah, saat pemerintah menyebut ada warga miskin “hanya” sebanyak 25 juta jiwa, Bank Dunia justru melaporkan ada 115 juta penduduk kelas menengah di Indonesia yang rentan jatuh miskin. Lalu bagaimana bisa jumlah sasaran PKH yang hanya 10 juta bisa menjadi solusi kemiskinan ratusan juta rakyat yang hari ini terdampak Corona?
Faktanya, jauh sebelum wabah Corona, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah melambat gara-gara salah kelola. Banyak ekonom yang mengibaratkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini seperti balon yang terus membesar dan rentan untuk meledak, diprediksi krisis hebat akan menghantam Indonesia. Tapi para pejabat penguasa tak mau jujur dengan dirinya bahwa mereka sudah salah kelola dalam mengurus rakyat dan negara ini. Mereka terlanjur percaya bahwa sistem sekuler kapitalis ini akan membawa kebaikan sehingga mereka tetap mempertahankan kebijakan yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat.
Hal ini jauh berbeda dengan kepemimpinan Islam yang atas nama Allah, diberi tanggung jawab oleh syara’ sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Hingga keberadaan negara dan penguasa betul-betul dirasakan sebagaimana orang tua menjaga dan melindungi anaknya.
Penguasa dan negara dalam Islam benar-benar peduli atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya, tanpa berhitung untung rugi, apalagi berpikir mencari untung dari rakyatnya. Hingga sejarah peradaban Islam kaya dengan kisah menakjubkan tentang ketinggian level kesejahteraannya. Semua ini terwujud karena aturan hidup yang diterapkannya berasal dari Allah Sang Pencipta manusia dan kehidupan ini, yaitu syariah Islam.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali mewujudkan kepemimpinan Islam dan mencampakkan sistem yang ada sekarang. Karena terus berharap sistem ini bisa membawa kebaikan, hanyalah impian kosong dan membuat hidup menjadi sempit. Mau sampai kapan sistem rusak ini dipertahankan?
Wallahu a’lam bish shawwab.
Oleh : Ummi Lia
Ibu Rumah Tangga, Cileunyi Kabupaten Bandung