BLT, Program Berbelit Nan Pelit

Sitti Subaidah

Well, inilah situasinya. Dunia kini dihadapkan dengan perang melawan virus corona. Dampak beruntun dari virus ini pun kini semakin terlihat. Bukan hanya berbicara dari sisi kesehatan dengan banyaknya jumlah kematian. Namun juga sisi ekonomi dengan gelombang PHK dan matinya UMKM yang berdampak pada sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi dengan dampak sosial dengan meningkatnya kriminalitas.

Bantuan dari pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat di wujudkan dengan program BLT ( Bantuan Langsung Tunai) dari dana desa. Namun bukannya memberikan rasa lega pada masyarakat justru program ini membuat masyarakat cukup mengelus dada. Sekelumit syarat untuk mendapat bantuan tersebut nyatanya membuat angan-angan mereka pupus.

Menurut surat No.1261 Kemendes-PDT, pemberian BLT dari dana desa cukup panjang dan berbelit yakni tertib administrasi dan punya rekening bank. Selain itu syarat utama dari BLT ini bukan penerima bansos ( Bantuan Sosial) dari Kementerian lain. Tentu hal ini akan menimbulkan masalah di lapangan. Tumpang tindih kebijakan antara kementerian satu dengan yang lain terkait penerima BLT ini memungkinkan tidak semua masyarakat miskin mendapat bantuan ini. Padahal pandemi ini memukul telak hampir seluruh masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil tidak sepenuhnya memikirkan masyarakat. Watak kapitalis yang diemban oleh rezim ini membuat mereka hanya membantu sekenanya saja. Bantuan itupun baru bisa diperoleh dengan prasyarat yang berbelit yang bisa jadi membutuhkan waktu dalam pemenuhan administrasinya sementara kebutuhan perut masyarakat tidak bisa menunggu. Ditambah lagi dengan lemahnya data masyarakat rentan miskin yang dimiliki oleh pemerintah sehingga bantuan dinilai tidak tepat sasaran yang akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial.

Kebijakan ini pun menuai beberapa kritik dari aparat daerah. Dilansir dari detik.com, Sebuah video Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar viral di media sosial. Sehan Landjar geram karena mekanisme pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat dianggap sulit
“Kalau sistem pembagian BLT tanya saja di Kemensos dan Kemendes, itu program kedua kementerian itu. Kalau program saya menelangi kesulitan rakyat yang sangat mendesak, mereka butuh makan hari ini, bukan disuruh menunggu besok, atau sampai administrasi tentang BLT selesai.

Kebutuhan untuk isi perut rakyat tidak bisa menunggu onggokan kertas yang diminta oleh para menteri, sebagai syarat untuk mendapatkan uang Rp 600 ribu, rakyat saya bahkan memohon biar tidak dapat duit BLT,” Jelas Sehan saat dikonfirmasi, Minggu (26/4/2020).

Implementasi BLT di lapangan yang berbelit dan bantuan yang tak tepat sasaran membuat perspektif publik yang tadinya positif berubah negatif. Hal ini tentu berpengaruh terhadap melemahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Padahal di masa pandemi ini kerjasama antara pemerintah dan rakyat sangat diperlukan.

Jika kita melihat lebih dalam maka wajar saja ini terjadi. Dalam pandangan kapitalis, pemenuhan kebutuhan masyarakat bukanlah hal yang utama bahkan cenderung diabaikan. Masyarakat harus membuktikan miskin terlebih dahulu baru bisa mendapatkan bantuan. Mirisnya hal ini dipersulit dengan administrasi yang rumit padahal bantuan yang diperjuangkan hanya bersifat sementara. Inilah jahatnya kapitalis.
Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Ala Islam.

Dalam Islam, sekalipun tidak terjadi wabah pemenuhan kebutuhan masyarakat merupakan tanggung jawab negara baik itu muslim maupun non muslim, kaya atau miskin. Hal ini dikarenakan fungsi negara adalah sebagai pengurus segala kebutuhan rakyat dan akses publik. Hal ini di realisasikan dengan penjaminan secara tidak langsung terhadap kebutuhan dasar masyarakat baik sandang, pangan dan papan. Mekanisme yang ditempuh negara adalah dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.

Dalam Islam, hal ini bukanlah sebuah angan-angan dan dapat diwujudkan dengan pengaturan pengelolaan kepemilikan umum. Sumber daya alam merupakan milik umat yang dikelola oleh negara bukan yang lain. Ini membuat negara memiliki power untuk mengatur kebijakan yang ada agar sesuai dengan kemaslahatan masyarakat. Salah satunya membuka lapangan pekerjaan dalam hal pengelolaan SDA tersebut sehingga rakyat tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Selain itu, keuntungan yang didapat dari pengelolaan SDA wajib dikembalikan kepada masyarakat secara langsung yaitu lewat jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, pembangunan infrastruktur dan hajat publik lainnya. Maka bukan hal yang mengherankan jika dalam penerapan Islam kaffah, masyarakat mendapat fasilitas terbaik bahkan gratis.

Ketika negara dilanda wabah, maka kebijakan yang diambil adalah penetapan lockdown pada daerah yang terkena wabah. Hal ini membuat wabah tidak akan menyebar ke wilayah lain. Sehingga wilayah lain yang tidak terdampak tetap bisa melakukan aktivitas ekonomi seperti biasa. Bahkan menjadi penyuplai kebutuhan dasar masyarakat bagi wilayah yang terdampak wabah.

Adapun pemenuhan kebutuhan masyarakat baik itu pangan maupun logistik di wilayah yang terkena wabah menjadi tanggung jawab mutlak dari negara. Negara juga memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat secara langsung untuk mencegah terjadinya penularan wabah. Selain itu bantuan yang diberikan tidak pandang bulu, semua dapat baik itu muslim ataupun non muslim, kaya atau miskin.
Kebijakan-kebijakan tersebut diatas tentu membuat masyarakat akan percaya penuh kepada negara. Optimisme untuk bersama-sama keluar dan menyudahi wabah akan terealisasi karena tingkat kepercayaan umat yang sedemikian besar pada negara. Dan itu ada dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Ialah khilafah. Wallahu a’lam bishawab

Oleh: Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)