Terjadinya pandemi Covid-19 memang memberikan dampak kepada masyarakat akan persoalan kesejahteraan, di samping kesehatan. Angka kemiskinan semakin meningkat. Oleh karena itu, adalah tanggung jawab negara untuk menanggulangi dampak pandemi ini.
Sementara itu, pemerintah melalui Presiden Jokowi telah menurunkan bantuan sosial berupa sembako. Sudah 3 kali dilakukan pembagian sembako kepada rakyat. Tanggal 9 April, 10 April dan 26 April 2020.
Uniknya pembagian sembako dilakukan langsung oleh presiden. Awalnya pembagian di jalanan oleh paspampres, sedangkan Jokowi tetap berada di dalam mobil. Yang terakhir, Jokowi langsung mendatangi door to door ke rumah penduduk di Sempur Bogor. Diakui atau tidak tetap memicu berkumpulnya warga. Sebenarnya hanya kepada tiga Kepala Keluarga miskin yang dituju. Akan tetapi muncul warga sekitar yang selanjutnya diberikan paket sembako. Lagi yang unik adalah, tas jinjing untuk paket sembako itu bertuliskan bantuan presiden, bukan bantuan negara.
Langkah presiden Jokowi demikian hanya terkesan pencitraan di tengah merosotnya elektabilitasnya. Kasus mega korupsi yang tidak kelar yakni kasus Jiwasraya, Asabri, dan lainnya. Kasus suap komisioner KPU buntut Pilpres 2019, pembahasan Omnibus Law, hingga kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang gagap. Apalagi kalau kita berbicara amanat dari UU kekarantinaan tahun 2018. Pemerintah harus menetapkan karantina wilayah guna menangani pandemi ini. Di samping itu, pemerintah harus menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Sedangkan di satu sisi, negara tidak memiliki keuangan yang memadai.
Oleh karena itu, alternatif yang dianggapnya cocok adalah penerapan PSBB. Pemerintah tidak mendapat beban menjamin kebutuhan hidup rakyat. Hanya saja, dari aspek politik, PSBB tidak bisa diharapkan menaikkan elektabilitasnya. Akhirnya diambil langkah pembagian BLL (Bantuan Langsung Lempar) yang dibagikan langsung oleh Jokowi.
Pembagian BLL yang terdiri atas paket sembako dan dana Rp 600 ribu perbulan ini, dilakukan di wilayah Jabodetabek. Tentunya wilayah Jabodetabek menguntungkan secara politik. Dengan menaikkan citra di ibukota dan penyangganya akan jadi barometer politik nasional. Bukankah Anies Baswedan populer secara nasional karena ia berkiprah di ibukota?
Sebenarnya tidak layak mensejajarkan Presiden Jokowi dengan Anies Baswedan. Sebagai seorang presiden, yang menjadi tanggung jawabnya adalah semua rakyat Indonesia, bukan hanya yang ada di Jabodetabek. Harusnya bansos pemerintah diberikan merata kepada semua rakyat. Tidak perlu ada gengsi politik dengan bawahannya. Barometer kepala negara adalah kepemimpinan yang berskala nasional.
Anehnya, di saat ada kritikan bahwa penyaluran BLL itu bisa melalui aparat daerah hingga lewat kepala desa maupun RT/RW, langsung muncul pembelaan. Arteria Dahlan dari PDIP menyatakan bahwa gaya blusukan Jokowi merupakan gaya kepemimpinannya yang khas. Bahkan menurutnya, ada kemiripan dengan Khalifah Umar bin Khotthob ra.
Bila negara memang serius ingin mengatasi kemiskinan, tidak cukup dengan bansos berupa BLL. Bahkan dampak pandemi bisa ditanggulangi dengan baik dan cepat.
Sesungguhnya program apapun yang dilakukan pemerintah guna mengatasi dampak pandemi ini tidak akan signifikan bila tidak ada uang. Maka urgen menyediakan sumber kas negara dari berbagai sektor pemasukan. Sektor kepemilikan umum seperti SDA dikelola oleh negara, tidak diserahkan pada asing atas nama investasi. Sektor kepemilikan negara seperti BUMN, BUMD, dan berbagai fasilitas strategis negara. Dari sektor zakat, infaq, shodaqoh dan harta rikaz (harta temuan di dalam bumi) seperti menemukan mahkota emas di dalam tanah. Inilah sumber kas negara yang dijalankan oleh Khalifah Umar ra. Bahkan sektor pemasukan negara dari harta rampasan perang dan fai didapatkan. Alasannya, Khalifah Umar ra menjalankan aktifitas jihad dalam rangka menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Jadi Kholifah Umar ra tidak mencontohkan sumber kas negara hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri. Di tambah pula dampaknya, menyebabkan negara masuk ke dalam penjajahan.
Kholifah Umar ra pernah memberikan bantuan produktif. Beliau memberikan tanah kepada orang yang bisa menggarapnya. Artinya pelatihan kerja itu diberikan, di samping disertai bantuan modal. Ini dilakukannya tidak menunggu terjadinya wabah.
Pada waktu yang lain, Umar ra pernah memberikan bantuan yang langsung dikonsumsi kepada warga miskin. Beliau melakukann patroli untuk mengetahui keadaan rakyatnya hampir bisa disebut tiap malam. Uniknya tanpa memicu perhatian umum dan tidak menunggu terjadinya wabah. Pertanyaannya, kemiripan dari sudut pandang manakah Presiden Jokowi dengan Khalifah Umar bin Khatthab ra?
Perbedaan yang mendasar adalah sistem pemerintahan yang dijalankan. Presiden Jokowi menjalankan sistem Demokrasi berbentuk Republik. Sedangkan Umar bin Khatthab ra menjalankan sistem Islam yakni Khilafah yang menerapkan Syariat Islam.
Hasil capaiannya pun berbeda. Sistem Demokrasi menyebabkan Indonesia terpuruk dan terjajah. Adapun sistem Khilafah menghasilkan negara yang merdeka dan menjadi adidaya dunia selama sekitar 1300 tahun menaungi dunia dengan rahmat Islam.
Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)