Program PKT, Tambal Sulam Ekonomi di Tengah Pandemi

Ainum Mizan

Program PKT (Padat Karya Tunai) dijadikan sebagai bagian dari 7 program JPS (Jaring Pengaman Sosial) di masa pandemi Covid-19. Program PKT di tahun 2020 melalui Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) dengan alokasi dana Rp 10 trilyun. Yang menjadi sasarannya desa/pelosok di 34 propinsi dengan 7 program.

Arahan Presiden Jokowi, program PKT untuk menanggulangi dampak Covid-19. Yang menjadi fokus adalah meningkatkan daya beli masyarakat dengan program insfrastruktur. Dengan melibatkan penduduk desa yang menganggur terkena PHK, setengah menganggur, dan yang miskin dalam proyek insfrastruktur.

Iklan Pemkot Baubau

Ketujuh program PKT ini terdiri dari program penataan air irigasi. Obyeknya memperbaiki konstruksi fisiknya di 73 lokasi dengan anggaran Rp 225 juta.

Pemeliharaan rutin jalan sepanjang 47 ribu km. Anggarannya sekitar Rp 500 milyar. Pemeliharaan jembatan sepanjang 496 ribu meter. Anggarannya Rp 110 milyar. Pengembangan insfrastruktur sosial ekonomi mendapat alokasi Rp 540 milyar. Selanjutnya program TPS, penyediaan air minum masyarakat, program kota tanpa kumuh, dan pembangunan rumah swadaya.

Sifat program PKT ini swakelola dan swadaya. Swakelola, desa yang mengelola proyek dalam pengaturan pendanaan. Minimal 30 persen pendanaan diserap sebagai upah pekerja. Adapun swadaya, proyek dilaksanakan oleh penduduk setempat. Bahan baku proyek mengandalkan yang ada di wilayah desa tersebut. Jadi betul – betul program PKT terwujud sebagai program dari, oleh dan untuk desa. Pembiayaan PKT diambilkan dari dana desa sesuai alokasi dalam APBN.

Persoalan Ikutan yang Muncul

Program PKT terlihat bagus. Negara tidak hanya memanjakan warganya melalui berbagai bansos dan insentif Rp 600 ribu per bulan, akan tetapi negara memberi bantuan produktif. Artinya setelah periode bansos triwulan selesai, PKT dijalankan 3 bulan berikutnya. Dengan kata lain, negara menyediakan lapangan kerja bagi penduduk desa. Tentunya diharapkan PKT menjadi bagian dari pengentasan pengangguran.

Selanjutnya, kalau mencermati program PKT ini, akan muncul persoalan ikutan. Hal tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Justru di situlah letak kerapuhan program PKT. Beberapa persoalan ikutan tersebut, di antaranya berikut ini.

Pertama_, proyek insfrastruktur PKT ini bersifat sementara. Memperkerjakan penduduk desa hingga selesai sebuah proyek yang digarap. Ini berarti lapangan kerja hanya tersedia selama maksimal 3 bulan. Setelah itu, para pekerja menganggur kembali.

Sementara itu, jika menggunakan prediksi bahwa selesainya pandemi Covid-19 di Bulan September. Lantas, pemulihan stabilitas ekonomi nasional membutuhkan tenggang waktu tertentu. Tidak mungkin dunia usaha bisa sesegera itu bisa menyerap tenaga kerja sebanyak sebelum pandemi.

Kedua, mekanisme penyerapan upah diberi limit 30 persen. Mekanisme ini tentu ada selisih 5 – 15 persen dari kewajaran dana upah yang menyerap 15 – 25 persen dari dana sebuah proyek insfrastruktur. Ada pembesaran nilai upah dalam PKT.

Hal demikian sangat membahayakan. Bila upah pekerja PKT ini melebihi UMR tentu berpotensi terjadinya perpindahan orang yang sudah bekerja ke sektor PKT. Potensi berikutnya adalah terjadinya kecemburuan sosial.

Ketiga, pemerintah melalui PKT telah menetapkan 7 program insfrastruktur. Artinya, pemdes tidak bisa berkesempatan untuk melakukan penyesuaian proyek apakah yang sesuai dan dibutuhkan oleh masyarakatnya. Justru yang ada adalah kesan pemborosan yang terjadi.

Keempat, ketujuh proyek insfrastruktur dalam PKT tersebut terbatas pada skil konstruksi dan bangunan. Hal ini akan rentan kualitas fisik proyek berkualitas rendah tatkala melibatkan penduduk setempat dalam pengerjaannya. Banyak pekerja yang tidak cakap terlibat. Realitasnya PHK terjadi pada sektor yang beragam. Ada ritel – ritel yang merumahkan karyawannya.

Jangan sekedar mengejar secara artifisial bahwa pemerintah telsh berhasil mengatasi dampak Covid-19. Sedangkan kondisi realnya pemenuhan kebutuhan rakyat sesuai amanat UU Kekarantinaan tahun 2018 itu menjadi tanggung jawab negara. Bansos langsung saja masih amburadul dalam distribusinya. Padahal sudah di kuartal bulan Mei pertengahan. Bulan Juni adalah periode akhir bansos langsung. Kuatirnya, PKT ini juga tidak menyentuh pengentasan pengangguran.

Huru hara berpotensi terjadi dalam pelibatan penduduk sebagai tenaga kerja. Realitasnya banyak proyek di desa memang dilakukan secara gotong royong. Kalaupun diamanatkan melalui musyawarah desa, tetap masyarakat akan memilih yang berkompeten dalam proyek fisik. Dengan demikian, tidak pernah menyentuh akar persoalan yakni pengangguran itu sendiri.

Kelima, ketersediaan bahan baku yang terbatas di desa. Tetap saja akan dilakukan pembelian bahan dari daerah lain. Di sinilah perlu kemampuan dan kesadaran manajerial pemdes.

Maka diperlukan adanya upgrade kemampuan personal pemdes. Baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporannya. Jangan sampai ada kesan memindahkan oligarki kekuasaan dari pusat ke daerah hingga pelosok desa.

Merumuskan Solusi yang Menyeluruh

Sesungguhnya masalah pengangguran dan kemiskinan menjadi masalah akut sebuah negeri yang berasaskan prinsip ekonomi liberal. Artinya rakyat berkompetisi bebas. Yang kuat tentunya yang bertahan. Bahkan bisa menguasai banyak aset negara. Jadi bisa disebut bansos dan PKT hanya penghibur di tengah bobroknya ekonomi. Paling tidak sedikit mengerem laju resesi ekonomi yang begitu cepat setelah pandemi jadi pemicunya.

Bantuan kepada masyarakat itu ada 2 sifatnya. Ada yang langsung tunai. Hal ini dilakukan dengan falsafah untuk bisa mempertahankan hidup. Terkovernya kebutuhan dasar, pokok dan pelengkapnya. Berapapun biaya yang dikeluarkan negara bukan persoalan. Alasannya, negara bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya. Lebih – lebih bagi mereka yang miskin, fakir dan yang sudah tidak mampu bekerja. Teknisnya, data real bisa diserap dari pemdes setempat. Di sinilah urgennya sensus ekonomi berkala guna mengupdate ekonomi penduduk.

Berikutnya adalah bantuan produktif. Ini yang nantinya bisa didesain untuk menciptakan pasar sendiri berbasis ekonomi kerakyatan. Resesi ekonomi dunia terdampak Covid-19 begitu mendalam hingga satu titik tidak bisa membangunkan lagi Kapitalisme global. Ekonominya yang berbasis ribawi dan sektor non riil telah kolap.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai negeri muslim terbesar dan negeri agraris harus menjadi pioner kemandirian. Sebagian besar pekerjaan penduduk di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Bagi yang bisa mengolah tapi terkendala lahan, negara memberikan lahan. Yang sudah punya lahan, diwajibkan menggarap lahannya. Bagi yang menelantarkan lahan setelah 3 tahun berturut – turut, akan diambil negara untuk diberikan kepada mereka yang mau mengolahnya dan terkendala lahan. Negara akan memberikan kompensasi sepadan untuk yang dihilangkan kepemilikannya tersebut.

Di samping itu, negara memberikan bantuan pupuk, bibit dan alat serta obat – obat pertanian guna program intensifikasi pertanian. Pemasaran hasil panennya bisa didistribusikan di kota – kota guna menyangga ekonomi kota selama wabah. Yang terjadi hanya aliran barang dari desa ke kota. Dengan begitu angka kemiskinan di kota bisa diminimalkan.

Dalam jangka panjang, berbasis desa dan kecamatan yang merupakan zona hijau wabah, terdapat pasar – pasar rakyat yang didirikan. Dengan demikian sektor ekonomi real terus berjalan. Kesempatan kerja akhirnya bisa terbuka dengan baik. Berbagai pelatihan kerja pun bisa dijalankan. Jadi negara bisa terlepas dari blunder ekonomi Kapitalisme yang hanya menyiapkan jebakan utang dan krisis.

Di sisi yang lain, proyek insfrastruktur negara tetap bisa dijalankan. Dengan catatan, tetap memperhatikan skala perioritas kebutuhan di setiap wilayah daerah masing – masing. Pada daerah pelosok yang terputus aksesnya ke kota, maka proyek jembatan bisa diwujudkan. Hal ini tentunya bisa memperlancar arus barang ke kota. Di samping itu, pada kondisi normal, bidang kehidupan lainnya bisa lancar, seperti arus para pelajar ke kota.

Kesimpulannya, solusi menyeluruh ini hanya bisa dijalankan dengan baik berawal dari sebuah komitmen. Komitmen bersama bangsa dan negeri ini untuk melepaskan dari ketergantungan dan penjajahan terhadap negara dan lembaga – lembaga Kapitalisme global. Dengan mengambil kebijakan ekonomi Islam, akan bisa diwujudkan hal tersebut. Dan akan semakin sempurna lagi tatkala keseluruhan aturan kehidupan dikembalikan pada Ideologi Islam.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik. Penulis tinggal di Malang)