Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Inilah gambaran kondisi rakyat negeri ini. Masih berjuang melawan pandemi malah dipersulit oleh kebijakan para pejabat negeri yang minim empati. Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada Selasa, 12 Mei 2020 kemarin, telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020.
Perppu Nomor 1 tahun 2020 ini tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19. Dalam aturan tersebut, pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun (pikiranrakyat.com,15/5/20).
Pro dan kontra dalam suatu kebijakan yang lahir dari sistem demokrasi adalah hal yang lumrah. Karena kebijakan ini tegak atas akal manusia semata sedangkan manusia dipengaruhi oleh kepentingannya. Salah satu pihak yang kontra datang dari Amien Rais. Kuasa hukum Amien Rais dkk dalam gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kondisi keuangan di masa Pandemi atau Perpu Covid-19 menganggap DPR telah bunuh diri ketika mengesahkan beleid itu menjadi UU (TEMPO.CO, 14/5/20).
Disahkan Perpu ini menjadi UU menjadikan ‘Imunitas absolut pada penguasa’ untuk menggunakan uang negara tanpa bisa dituntut hukum. Terlihat jelas ada upaya memanfaatkan momentum pandemi untuk mencari peluang besar-besaran di pemerintahan. Bukan perubahan untuk mengakhiri korupsi tapi justru memuluskan nafsu korporasi dan elit pemilik Kursi untuk melakukan tindakan korupsi. Jadi, sebuah kamuflase pada masyarakat jika alasan disahkan Perpu Covid 19 menjadi UU demi menyelesaikan pandemi.
Inilah sistem demokrasi yang lahir dari mabda kapitalis. Kegagalan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan dalam ideologi kapitalis dapat dilihat dengan jelas dari ketidak mampuan sistem ini menyelesaikan problematika kehidupan. Termasuk masalah pandemi.
Pandemi covid 19 hanya salah satu dari problem yang ada. Sistem demokrasi lahir dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Lihat saja bagaimana di dalam demokrasi menjadikan sumber pendapatan utama negara berasal dari pinjaman hutang berbunga dan menjadikan penetapan sebuah kebijakan diserahkan kepada orang-orang dalam lembaga negara berdasarkan akal semata.
Penjelasannya sebagai berikut :
Pertama, demokrasi menjadikan hutang berbunga sebagai pemasukan utama. Sebelum terjadinya pandemi, negeri ini juga sudah dalam problematika yang kompleks. Termasuk di dalamnya carut marut keuangan APBN dan penyalurannya yang rawan korupsi.
Masalah ini dimulai dari menjadikan pinjaman hutang berbunga (riba) sebagai sumber keuangan negara. Terbukti dengan adanya global bonding yang dilakukan Indonesia beberapa waktu lalu. Kesulitan yang akan dirasakan negara berhutang adalah beratnya cicilan bunga ditambah angsuran pokok. Yang lunasnya lama sekali.
Disamping itu negara penghutang rawan intervensi dari negara pemberi hutang.
Kebijakan negara yang berhutang akan dikendalikan oleh negara pemberi hutang. Tidak ada makanan siang yang gratis. Akibatnya terjadilah penjajahan ekonomi, politik dan ideologi secara tidak langsung. Jadi memilih jalan hutang untuk pembiayaan negara adalah bunuh diri politik.
Oleh karena itu muncul pertanyaan, benarkah pengesahan Perpu Covid-19 menjadi UU untuk penanganan keuangan atas dampak pandemi? Atau lebih kuat kepada upaya menemukan jalan baru mengkokohkan alasan membuat hutang dan memainkan penyaluran uangnya(korupsi) yang akan kebal hukum melalui pengesahan perpu ini?!
Alasan yang kedua lebih terlihat dominan dibandingkan alasan untuk sekedar menyelesaikan pandemi covid 19. Karena selama pandemi terjadi melalui anggaran negara yg sudah ada rakyatpun masih kesulitan mengakses bantuan dari pemerintah karena banyak faktor. Bukan karena bantuan/sumbangan tidak ada sama sekali. Tapi administrasi yang sulit dan berbelit, Bantuan yang kadang belum tepat sasaran, jumlah bantuan yang mungkin belum mencukupi, mekanisme penyaluran yang belum tepat (ada korban, berebut bantuan) dll. Keseriusan pemerintah menangani pandemi secara optimal masih harus dibuktikan dengan sungguh – sungguh.
Malangnya nasib rakyat, belum mendapat jaminan pemenuhan pangan dengan baik ditengah pandemi, ancaman infeksi Covid 19 masih terus mengintai, diperparah harus menerima kebijakan yang berpotensi tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Kedua, dalam demokrasi kita mengenal trias politika. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu Negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang. Meliputi presiden dan wakil presiden,menteri, pemerintahan di tingkat daerah seperti gubernur, bupati /walikota, camat, dan kades/lurah. Lembaga ini lebih dikenal dengan nama pemerintah.
Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang. Meliputi : MPR, DPR, DPD, DPRD I, DPRD II. Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan Negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Konsekuensi logis yang harus diterima negara dan seluruh rakyat saat roda pemerintahan dijalankan oleh 3 lembaga (legislatif, eksekutif dan yudkatif) dengan bersandar pada akal semata adalah potensi perbedaan saat memandang baik atau buruknya sebuah kebijakan, perbedaan kepentingan orang-orang dalam lembaga satu dan lembaga lainnya. Jangankan antar eksekutif dan legislatif. Dalam internal eksekutif bisa terjadi perbedaan dikarenakan tidak adanya sebuah acuan yang menjadi standar kebenaran. Hanya bersandar pada akal dan hawa nafsu.
Inilah yang membedakan demokrasi dengan sistem pemerintahan dalam islam. Dalam pemerintahan islam setiap pejabat negara harus terikat dengan syariat. Pejabat negara harus memiliki pola fikir islam dan pola sikap islam. Inilah yang melahirkan kepribadian Islam. Sehingga memandang sebuah kebijakan baik ketika sesuai syariat. Dan buruk jika bertentangan dengan syariat.
Islam datang zat yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya. Dialah Allah SWT. Penciptalah yang paling memahami aturan yang dibutuhkan oleh ciptaanya. Artinya saat manusia mengambil syariat islam dengan total sebagai aturan kehidupan, akan mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan. Dan akan menghantarkan manusia pada kebahagian dunia dan akhirat. Jika hari ini kehidupan dipenuhi dengan kerusakan, kesulitan dan kesempitan adalah akibat berpaling dari syariat islam.
Di dalam islam sumber pemasukan Baitul Mal (pos pemasukan dan pos pengeluaran) adalah fai’, ghanimah, anfal, kharaj, jiziyah, pemasukan dari harta milik umum, pemasukan dari harta milik negara berupa usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Tidak menjadikan hutang berbunga sebagai pos pemasukan. Negara memiliki kemandirian penuh tanpa bisa diintervensi negara lain. Para pejabat negara akan berperang teguh kepada tuntunan syariat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Meninggalkan aktivitas korupsi yang dilarang oleh syariat.
Negara yang menerapkan islam secara total ini akan memiliki kedudukan yang tinggi, dihargai dan dihormati. Bahkan negara islam menjadi mercusuar peradaban dunia. Maka penyelesaian pandemi covid 19 akan bisa diselesaikan dengan mudah saat negara menggunakan syariat islam. Dana tersedia, pemimpin amanah dan terpercaya dan ada konsep syariat menuntaskan seluruh problematika. Bukankah ini yang kita inginkan dan butuhkan? Allah SWT berfirman : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS. Al A’raf 96).
Farah Sari, A. Md
(Aktivis Dakwah Islam, Jambi)