New Normal Life, kebijakan Prematur ala Kapitalis

HANA ANNISA AFRILIANI, S.S
(PENULIS BUKU DAN AKTIVIS DAKWAH)

Pasca boomingnya seruan “berdamai dengan corona” dari Presiden Jokowi, wacana New Normal Life pun kini menyeruak dan mulai diimpelentasikan perlahan-lahan.

Seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Rabu (20/5/2020), Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengatakan, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal.

Iklan Pemkot Baubau

Epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa new normal life adalah bagian dari strategi yang diterapkan sebelum vaksin atau obat untuk virus corona ditemukan. (Kompas.com/26-05-2020)

Adapun pengimplementasian New Normal Life di Indonesia di awali dengan mulai dibukanya kembali pusat-pusat perbelanjaan seminggu sebelum hari Raya Idul fitri kemarin serta diizinkannya moda transportasi publik untuk kembali beroperasi, dibukanya kembali perkantoran dan adanya wacana dibuka kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah pada pertengahan Juli mendatang.

Salah satu alasan diwacanakannya New Normal Life adalah untuk kembali menggerakan kegiatan perekonomian yang laju pertumbuhannya sempat terpuruk di kuartal I-2020, yaitu hanya 2,97% berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

Meskipun begitu, presiden Jokowi menghimbau agar New Normal Life harus tetap dibarengi dengan kesadaran untuk tetap menjalankan protokol kesehatan covid-19, seperti memakai masker dan menjaga jarak sosial.

Pertanyaannya, sudah tepatkah kebijakan New Normal Life ini diimpelentasikan di Indonesia mengingat kasus terinfeksi covid-19 terus bertambah secara signifikan setiap harinya?

Sampai hari Selasa, 26 Mei 2020 saja kasus terinfeksi yang diumumkan sudah mencapai 23.165 (penambahan sebanyak 415 kasus) dengan jumlah meninggal dunia sebanyak 1.418 kasus.

Sebetulnya banyak pihak yang meragukan wacana pengimpelentasian New Normal Life ini karena dianggap Indonesia belum siap. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa bisa ada 2 kemungkinan nantinya, perekonomian bangkit kembali atau malah semakin meningkatnya angka positif covid-19 di negeri ini.

Kemungkinan yang kedua tentu sangat tidak diharapkan. Karena jika itu terjadi, Indonesia akan semakin terpuruk dan kacau. Saat ini saja, banyak tenaga medis yang kewalahan akibat terus bertambahnya pasies covid-19. Tak sedikit juga yang akhirnya gugur dalam tugasnya. Di sisi lain, mereka tertekan secara psikis karena harus terpisah dalam waktu yang tak sebentar dengan keluarganya. Apa jadinya jika akibat new normal life nanti berlangsungnya pandemi ini semakin lama?

Sungguh kebijakan New Normal Life merupakan kebijakan yang sangat prematur. Bagaimana tidak, masyarakat “dipaksa” untuk hidup normal di tengah-tengah kondisi yang abnormal. Masyarakat dijebloskan untuk bertarung melawan virus berbahaya yang tak kasat mata. Hard immunity sudah diopinikan sejak awal kini menemukan waktu pengimpelentasiannya. Yang kuat yang akan bertahan. Sementara yang lemah ditumbalkan.

Semestinya pemerintah sebagai pemikul amanah rakyat mampu menjamin keselamatan nyawa rakyatnya, bukan malah mengorbannya demi kepentingan materi. Begitulah watak pemerintah di sistem kapitalisme hari ini, timbangannya hanya untung rugi.

Padahal sejatinya nyawa manusia lebih berharga dari apapun juga. Negara wajib menjaganya sebagaimana pernah dipraktikkan dalam pemerintahan Islam yang dahulu pernah tegak berdiri. Khalifah sangat memperhatikan keberlangsungan hidup setiap jiwa. Urusan perut saja sangat diperhatikan, terlebih lagi urusan nyawa. Begitulah sosok kepemimpinan sejati yang hanya lahir dari sistem yang sejati pula, Khilafah Islamiyah.

HANA ANNISA AFRILIANI, S.S
(PENULIS BUKU DAN AKTIVIS DAKWAH)