Ikatan Dokter Indonesia melalui Wakil Ketua Umumnya, dr. Adib Khumaidi menghimbau semua pihak untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya lonjakan kasus covid-19 usai Hari Raya Idul Fitri. Hal itu mungkin terjadi karena faktanya masih banyak masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan selama merayakan Lebaran. Ia juga mengingatkan potensi lonjakan kasus di Jakarta akan terjadi disebabkan arus balik pemudik dari daerah. Fenomena tersebut sangat disayangkan, sebab dalam beberapa waktu terakhir di Ibu Kota sudah terjadi penurunan angka penularan. Republika.co.id., Senin (25/5).
Sementara itu, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra memperkirakan akan terjadi lonjakan pasien positif covid-19 pasca hari raya Idul Fitri 1441 H. Dikhawatirkan per satu harinya akan ada 1.000 kasus baru pasien positif. Menurut Hermawan penambahan kasus yang meledak lantaran masyarakat sudah mulai ke luar rumah menjelang hari raya Idul Fitri meskipun pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah diterapkan. (Okezone.com., 21/5/2020)
Sebenarnya banyak pihak seperti IDI, epidemiolog dan dokter telah memprediksi adanya lonjakan kasus infeksi menjelang dan pasca lebaran. Mereka juga telah mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah tepat untuk meminimalisasi jatuhnya korban lebih banyak. Namun kenyataannya, pemerintah tidak cukup merespon dengan kebijakan antisipasi. Alih-alih menekan kasus penyebaran covid-19, pemerintah malah memberi sinyal kebijakan pelonggaran PSBB menjelang Idul Fitri.
Langkah yang diambil pemerintah melalui kebijakan khusus penanganan pandemi dinilai tidak konsisten. Kebijakan inkonsistensi salah satunya dikeluarkan Menhub Budi Karya Sumadi. Dia menyatakan seluruh moda transportasi komersial untuk angkutan penumpang darat, laut, serta udara akan mulai beroperasi mulai 7 Mei 2020. Padahal sebelumnya sudah ada aturan mengenai pembatasan jumlah kendaraan yang beroperasi selama PSBB. Tentunya hal itu membuka celah bagi masyarakat untuk mudik ke luar Jakarta. (Tirto.id., 6/5/2020)
Pemerintah juga berencana membuka Mall dan pusat perbelanjaan secara bertahap. Jika sebelumnya hanya supermarket dan farmasi yang beroperasi, ke depan toko-toko lainnya akan mulai buka kembali secara bertahap setelah periode kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selesai. Di Summarecon Mall Bekasi rencananya mulai dibuka pada Senin 8 Juni mendatang. (Tempo.co., 26/5/2020)
Yang paling mengerikan, hingga Kamis (21/5/2020) pukul 12.00 WIB, jumlah pasien positif terinfeksi covid-19 di Indonesia terkonfirmasi 20.162 orang, ada penambahan 973 kasus baru dan menempati rekor tertinggi sejak kasus virus corona pertama kali ditemukan di Tanah Air. Namun, rekor pertambahan kasus harian tersebut tidak juga menyadarkan pemerintah untuk melakukan perombakan kebijakan agar prioritas penanganan kesehatan menjadi hal utama apapun risikonya. Parahnya, pemerintah malah memiliki wacana membuka sekolah dalam waktu dekat.
Pastinya sikap tersebut sangat disesalkan. Karena, apabila hal itu tidak dilakukan, maka upaya apapun yang ditempuh akan sia-sia. Usaha pemerintah yang gencar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi maupun menormalkan kondisi sosial masyarakat hanya akan memperparah kondisi negeri. Kebijakan setengah hati tersebut dikhawatirkan justru akan menimbulkan krisis multi dimensi.
Sejatinya kenyataan di atas merupakan kewajaran di negeri yang mengadopsi sistem sekuler kapitalis. Silang sengkarut kebijakan antara pemerintah pusat, daerah dan para pakar yang mumpuni di bidang epidemi penyakit serta ahli virologi mencerminkan tidak adanya sinergi dan kesungguhan penguasa dalam penanganan wabah.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang mewajibkan negara menjadi penanggung jawab dan menjamin kebijakan yang lahir didasarkan pada wahyu. Negara yang dipimpin oleh sistem Islam dijalankan dengan mekanisme yang selaras antara kebijakan pemerintah, ilmu pengetahuan dan sains serta ditujukan semat-mata memberikan kemaslahatan bagi semua rakyat.
Sistem penanggulangan wabah agar tidak meluas ke daerah lain telah dicontohkan Nabi Saw. dan Umar Bin Khattab ra. Sejak awal khalifah mengetahui adanya wabah, beliau dengan sigap memberlakukan karantina wilayah/lockdown. Beliau Saw. bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu”. (HR al-Bukhari)
Aturan Islam tidak hanya menjamin kemaslahatan dan kesejahteraan umat, namun menjaga kehormatan setiap muslim. Dalam hal wabah pemerintahan Islam tidak akan sekadar bersandar pada hitung-hitungan angka atau grafik jumlah korban wabah. Islam sangat memuliakan nyawa manusia. Dari al-Barra’ bin Azib ra., Nabi SAW. bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai & Tirmidzi).
Mandegnya laju perekonomian tidak dijadikan alasan untuk melonggarkan masa karantina. Islam memiliki pondasi kedaulatan dan ekonomi yang mapan. Islam memiliki perencanaan, dukungan segenap jajaran pemerintahan yang bersinergi, bahkan alokasi anggaran yang memadai dan perhitungan yang matang. Hanya negara di sistem Islam yang memiliki Baitul Maal. Keberadaan Baitul Maal akan dioptimalkan untuk pembiayaan dan menjamin kebutuhan rakyat selama masa karantina hingga wabah bisa diatasi.
Sistem pemerintahan Islam tidak memikirkan untung-rugi dalam mengambil keputusan karena keselamatan rakyat sangat diutamakan. Sehingga kebijakan yang diambil fokus terhadap penanganan wabah. Namun sejatinya, pemimpin yang amanah, penuh empati dan berintegritas hanya dilahirkan dari sistem sempurna yang datang dari Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”. (HR. Bukhari dan Ahmad). Wallahu a’lam.
Oleh: Anggun Permatasari