New Normal Life Berujung Tragedi?

Iswatun Hasanah

Lebaran kali ini terasa berbeda. Masyarakat Indonesia tak lagi hanya disuguhi dengan drama kenaikan bahan pokok, tetapi masyarakat harus berjuang menghadapi masalah-masalah pandemi Covid-19. Angka pasien terinfeksi virus Covid-19 semakin tinggi dan belum ada tanda-tanda kurva penyebaran virus akan segera melandai.

Diberitakan pada laman kompas.com, hingga Rabu (8/4/2020), total kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi mencapai 2.956 kasus, dengan penambahan kasus baru dalam 24 jam terakhir, 218 kasus. Total yang dirawat 2.494, dan 240 di antaranya meninggal. Dimana, persentase pasien covid-19 meninggal 8,12 persen, ini jauh di atas rata-rata dunia, 5,67 persen.

Iklan Pemkot Baubau

Pada Sabtu, 6 Juni kemarin, berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, data dari Pemprov Jawa Timur menunjukkan sebanyak 5.132 kasus positif Covid-19. Surabaya mencatat penambahan kasus baru tertinggi sebanyak 296 kasus. Diikuti provinsi DKI Jakarta dengan jumlah positif 104 kasus. Bahkan peta penyebaran Covid-19 Surabaya sempat ditandai warna hitam dengan jumlah lebih dari 2.748 kasus positif. (CNN Indonesia, 6/6/2020)

Namun, di tengah kurva pandemi virus Covid-19 yang belum melandai, pemerintah sudah merilis beberapa skenario new normal life untuk pekerja (PNS, BUMN dan Perusahaan). Hal tersebut dilakukan agar ekonomi bangsa tetap bergerak. Sayangnya, pemerintah belum memiliki peta jalan. Program new normal life terkesan hanya mengikuti tren global. Jika program new normal life diterapkan, tanpa ada kesiapan, persiapan dan kesiagaan negara membendung penyebaran Covid-19, maka bisa jadi akan menimbulkan masalah baru. Alih-alih ekonomi bangkit dan bergerak, justru wabah gelombang ke dua mengintai didepan mata.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah mengeluarkan kebijakan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya new normal life diberlakukan, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari.

“Saya kira baru tepat membicarakan new normal ini sekitar minggu ketiga/empat Juni nanti maupun awal Juli. Nah, sekarang ini terlalu gegabah (terlalu dini) kalau kita bahas dan memutuskan segera new normal itu,” ujar Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Senin (25/5). Terlalu dini yang dimaksud adalah wacana new normal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19 dan bergerak ke situasi aman, namun kenyataannya situasinya sama sekali belum aman.

Berbincang new normal, setidaknya ada empat syarat. Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakatnya sudah lebih mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal. Namun, apakah hal ini sudah berlangsung dan sudah terjadi? Nyatanya belum! Puncak pandemi belum dilewati bahkan kasus cenderung naik. Akibatnya, prediksi-prediksi yang mengatakan puncak pandemi pada awal Juni akan mundur hingga akhir Juni maupun awal Juli.

Dampak dari perbincangan new normal belakangan ini membuat masyarakat memandang bebas beraktivitas di luar rumah tanpa melihat potensi penyebaran virus Covid-19 (permisivisme). Jalanan kembali ramai. Keramaian ini tidak hanya di area publik, seperti pasar, tetapi keramaian itu juga terjadi di tempat-tempat keagamaan dan aktivitas kantor industri.

Pemerintah seharusnya konsisten dalam mengambil kebijakan, disiplin untuk memberikan statement dan juga memberikan penguatan-penguatan pelayanan di lapangan. Ajakan pemerintah untuk menjalankan kehidupan new normal sebaiknya direspons dengan panduan program yang jelas untuk masyarakat. Jika tidak, sangat berpotensi program new normal malah menumbalkan nyawa masyarakat indonesia dengan angka persebaran virus yang fantastis.

Program new normal life dikeluarkan untuk membangkitkan perekonomian negeri, namun upaya penyelamatan ekonomi tidak boleh mengorbankan nyawa rakyat. Pemerintah tidak boleh menjelma menjadi alat menjamin kepentingan kaum kapitalis (pemodal besar) hanya untuk menggerakkan perekonomian namun menjadikan nyawa rakyat tak berarti. Hal ini berbeda dengan konsep utama penanganan wabah dalam Islam.

Adapun konsep utama roadmap penanganan wabah menurut Islam, yakni bahwa menjaga satu nyawa itu begitu berharga. Jangan menunda atau bahkan menunggu hingga angka sekian dan sekian. Sistem Islam menangani pandemi berdasarkan ajaran Rasulullah saw. dengan menerapkan karantina wilayah (lockdown) bagi kawasan zona merah. Melakukan proses isolasi serta pengobatan dan perawatan terbaik bagi yang sakit, sampai mereka sembuh. Serta menjamin warga yang sehat agar tetap sehat dan jangan sampai tertular wabah.

Wabah Covid-19 ini makin menyadarkan kita bahwa kita butuh sistem Islam dan pemimpin bertakwa yang mengatur dan mengelola urusan kita dengan syariah-Nya. Pemimpin yang sadar harus bertanggung jawab atas semua urusan rakyatnya di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala kelak, termasuk urusan menjaga kesehatan dan nyawa masyarakat. Rasul shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sistem kapitalisme menjadikan kepentingan material ekonomi lebih tinggi daripada kesehatan dan keselamatan rakyat. Sudah saatnya kembali ke sistem Islam yang berasal dari Zat Yang Mahakuasa, Allah subhanahu wa ta’ala yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu’alam bi ash shawab.

Oleh: Iswatun Hasanah, S.Pd (Aktivis Muslimah)