Tersebut kisah tentang Tapera. Adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang membidani lahirnya. ( kompas.com, 7/2020) Ditandatangani pada 20 Mei lalu, Tapera seketika membuat dunia pekerja bermuram durja. Pasalnya ia lahir saat wabah masih terjadi dengan kurva yang terus menanjak. Apa yang termuat di dalamnya lebih menyesakkan lagi.
Kewajiban membayar iuran Tapera sebesar 3 persen tersebut tak hanya dibebankan ke tenaga kerja namun juga pemberi kerja alias perusahaan. Komposisinya terdiri atas 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh karyawan (dipotong dari gaji).
Warga dunia nyata maupun maya kompak bereaksi. Anggota Komisi V DPR RI Irwan Fecho salah satunya. Ia menyesalkan kenapa Tapera ditetapkan di tengah pandemi dan menuding pemerintah mencari duit lewat iuran perumahan ini. (fajar.co.id, 4/6/2020).
Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR sebagai corong resmi pemerintah juga angkat suara. Asas gotong royong dalam masyarakat pun jadi dalih yang dikedepankan. (liputan6, 5/6/2020) Singkat cerita, niat mulia bergotong royong sanggupkah mengubah drama sedih Tapera jadi komedi yang membawa kegembiraan? Yakin, banyak pihak yang menantikan.
Akarnya pada Kapitalisme yang Menggurita
Ditinjau dari segala sisi, hadirnya Tapera berhasil memunculkan keresahan baru di tengah masyarakat. Seperti masih kurang saja penderitaan rakyat hingga harus ditambah dengan pungutan baru.
Memang, rumah bagi rakyat merupakan kebutuhan vital yang harus dipenuhi dan dijamin oleh negara. Namun di bawah bayang-bayang pandemi yang masih mencekam dengan segala ekses negatifnya, tabungan ini seolah kehilangan momentumnya. Yang ada justru menambah beban di pundak rakyat.
Apalagi belum lama publik juga dibuat gundah dengan naiknya iuran BPJS, kini ditambah dengan Tapera. Meski baru akan ditarik mulai Januari 2021, jelas terlihat rezim sangat serius menambang duit milik rakyat guna membiayai jalannya pembangunan. Padahal selama ini telah ada pajak, namun entah di kemanakan.
Bisa dilihat dari skema yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, ASN eks peserta Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) dan ASN menjadi sasaran pertama.
Setelah itu, pekerja di perusahaan badan usaha milik negara dan daerah serta TNI-Polri. Terakhir, berlaku untuk pekerja swasta, pekerja mandiri, dan pekerja sektor informal. (kompas.com, 7/6/2020).
Tapera pun nantinya dipungut oleh sebuah lembaga, BP Tapera macam BPJS. Hanya yang ini merupakan metamorfosis dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS).
Dengan nomenklatur baru ini, BP Tapera nantinya tak hanya menarik iuran dari ASN, tapi resmi pula mengelola dana dari semua pegiat yang memiliki gaji.
Bisa dibayangkan besar dana yang bakal dikelola badan ini. Jika Bapertarum saja bisa memiliki sekitar 6,7 juta orang peserta, baik PNS aktif maupun yang telah pensiun, dengan dana kelolaan Rp 12 triliun, (kompas.com, 7/6/2020) BP Tapera tentunya akan lebih hebat lagi.
Slogan gotong royong yang digadang-gadang seperti halnya pada BPJS juga layak jadi sorotan. Mewajibkan seluruh pekerja untuk berkontribusi memenuhi keperluan akan rumah tanpa melihat apakah yang bersangkutan sendiri sudah memiliki rumah atau belum justru bukti bahwa pemerintah abai terhadap tugasnya memenuhi hajat hidup yang pokok bagi rakyat.
Publik, khususnya angkatan kerja didorong untuk mencukupi segalanya sendiri atau dengan bergotong royong demi keperluan rumah. Maka bila semua hal dipenuhi sendiri oleh rakyat, lalu di mana amanat kepemimpinan diletakkan?
Persis, jawabannya dikembalikan ke masing-masing individu. Hal yang merupakan ciri khas dari penerapan kapitalisme yang semakin mengental di bumi zamrud khatulistiwa ini. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai tanggung jawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri.
Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, listrik serta kebutuhan dasar rakyat yang lain. Seluruh hal tersebut diminta untuk ditanggung sendiri oleh rakyat atau dengan bergotong royong sesama mereka.
Masyarakat bisa menyaksikan dengan mata telanjang akan kapitalisme yang begitu kuat mengakar. Satu hal yang juga menjadi tanda, fulus selalu jadi standar. Tak terkecuali pada Tapera yang digelar. Adanya sanksi berupa denda pada peserta mandiri menunjukkan hal itu. Khusus kantor malah diberi tambahan sanksi berupa pencabutan izin usaha.
Tinggalkan Kapitalisme, Hanya Menyengsarakan
Saatnya menyadari kondisi kini sebagai kerusakan akibat menerapkan kapitalisme. Selama kehidupan masih dipisahkan dari syariat, penderitaan dan kesengsaraan bukan mustahil akan terus terjadi. Jika kemarin BPJS, kini Tapera, esok bisa lainnya lagi.
Andai syariat Islam kaffah diambil sesuai konsekuensi iman, tentu lain cerita. Sebab Islam agama yang diturunkan Sang Khaliq, pencipta segala makhluk. Syariat-Nya mengatur rinci segala urusan dalam hidup.
Hajat rumah pun turut diatur dalam Islam. Tak lain karena rumah termasuk kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat selain sandang dan pangan. Merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara hingga para khalifah setelahnya. Sabda Rasul Saw.,
“Imam [pemimpin negara] itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.” (Muttafaq alaih).
Mekanisme yang digariskan Islam terbagi tiga tahap. Pertama, negara mewajibkan setiap lelaki yang mampu
untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Untuk itu tugas negara memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja. Baik dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Maka mereka akan bisa memenuhi semua kebutuhan primer berikut kebutuhan sekunder dan tersiernya. Kedua, bagi yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sesuai jalur penafkahannya. Ketiga, apabila tahap pertama dan kedua tak kunjung mampu menyelesaikannya, maka tanggung jawab berpindah pada negara.
Negaralah yang berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka khalifah sebagai pemimpin negara dalam Islam bisa mengeluarkan sejumlah kebijakan demi terpenuhinya kebutuhan rakyat akan rumah. Sampai tak ada seorang pun warga yang homeless alias hidup menggelandang. Namun seluruh tahap di atas dapat terwujud bila syariah kaffah ditegakkan sebagai wujud kepatuhan pada Sang Pencipta.
Alloh Swt. berfirman:
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya kemudian ia berpaling darinya?…. (QS. As-Sajdah: 22). Wallahu a’lam.
Oleh: Ummu Zhafran (Pegiat Opini, Komunitas AMK)