Menakar New Normal Life dalam Islam

Nir Laily

Pandemi Virus Corona (Covid-19) masih terus berjalan dengan persebaran virus yang semakin tinggi. Perekonomian negeri pun kian terpuruk akibat dampak wabah. Untuk membangkitkan perekonomian bangsa, pemerintah mengeluarkan kebijakan the new normal life. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Bapak Wiku Adisasmito, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Artinya, masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan, dan berdamai dengan Covid-19 agar tetap produktif.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyambangi Mall Summarecon Bekasi dalam rangka mengecek persiapan new normal di Bekasi. Presiden Jokowi tiba sekitar pukul 13.53 WIB disambut oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, serta pejabat Pemerintah Kota Bekasi. Jokowi langsung berkeliling melakukan pantauan penerapan protokol kesehatan pusat perbelanjaan tersebut. Usai melakukan pantauan, Jokowi langsung menyampaikan sambutan. “Saya datang untuk memastikan kesiapan kita dalam menuju ke sebuah tatanan baru ke sebuah norma yang baru (new normal life).” kata Jokowi di lokasi tersebut, Selasa (26/5/2020). (Detikfinance.com)

Iklan Pemkot Baubau

Kebijakan new normal menuai pro kontra. Apakah kebijakan “New normal” ini sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia? Padahal banyak pihak yang menentang atas kebijakan ini. Apakah pemerintah hanya memikirkan pemulihan sektor ekonomi ketimbang keselamatan rakyatnya? Bukankah jika banyak rakyat yang menjadi korban Virus Corona (Covid-19) justru akan mengganggu roda perekonomian?

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya (terlalu dini) untuk memutuskan kebijakan new normal, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. Terlalu dini yang dimaksud adalah wacana new normal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19, namun kenyataannya belum dan perlu persiapan-persiapan dalam new normal tersebut. (merdeka.com, 25/5/2020)

Kebijakan new normal life seharusnya memenuhi empat prasyarat. Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Kedua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakatnya sudah lebih mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal. Namun, apakah keempat hal ini sudah berlangsung dan sudah terjadi? Belum. Puncak pandemi belum dilewati bahkan kasus cenderung naik. Akibatnya, prediksi-prediksi yang mengatakan puncak pandemi pada awal Juni akan mundur hingga akhir Juni maupun awal Juli. Akibatnya, banyak ahli kesehatan dan Para Medis menolak atas kebijakan “New normal”.

Pemerintah seharusnya lebih fokus mengutamakan keselamatan rakyat dengan menyediakan pelayanan kesehatan secara optimal serta menghentikan persebaran wabah. Jika program new normal life diterapkan, tanpa ada kesiapan, persiapan dan kesiagaan membendung penyebaran Covid-19, maka bisa jadi akan menimbulkan masalah baru. Alih-alih ekonomi bangkit dan bergerak, justru wabah gelombang ke dua mengintai di depan mata. Pemerintah sekali lagi harus memikirkan kembali kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.

Dampak pandemi Covid-19 memunculkan berbagai Kebijakan-kebijakan yang saling tumpang tindih dan tak menemukan solusi yang diharapkan. Kebijakan yang pertama, Pemerintah menerapkan kebijakan PSBB untuk memutus persebaran wabah, namun pemerintah pula yang melonggarkan PSBB. Apalagi ditambah drama mudik vs pulang kampung. Mudik dilarang namun pulang kampung diperbolehkan. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pembebasan para napi ketika pandemi melanda, sehingga mengakibatkan kriminalitas meningkat. Pemangku kebijakan bahkan mempercepat disahkannya UU Omnibus Law di tengah PHK massal sebagai dampak dari PSBB.

Kebijakan pemerintah pun selalu berputar pada keselamatan ekonomi, bukan pada selesainya masalah. Pada akhirnya, keselamatan rakyat dipertaruhkan. Dalam Islam, kesehatan dan keamanan adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Mengatasi pandemi, tak mungkin bisa melepaskan diri dari performa kesehatan itu sendiri. Islam memiliki seperangkat solusi dalam mengatasi wabah pandemi.

Dalam islam, saat bencana menimpa, maka mitigasi bencana pun menjadi bagian tugas kepemimpinan. Negara akan bersegera melakukan berbagai upaya untuk mengurangi risiko dan memastikan kebutuhan dasar serta keselamatan rakyat tetap terjaga. Semuanya, semata karena kesadaran bahwa mengurus rakyat adalah bagian dari amanah yang akan dipertanggungjawabkan.

Jika bencana itu berupa wabah seperti sekarang, maka negara akan menegakkan hukum syara yang terkait dengannya. Lockdown akan segera diberlakukan untuk mencegah risiko yang lebih besar. Dan keputusan negara ini akan diikuti oleh rakyat karena mereka paham, bahwa titah pemimpinnya adalah kebaikan. Terlebih mereka pun paham, bahwa negara tak akan abai. Negara akan mengerahkan seluruh yang dibutuhkan, seperti fasilitas kesehatan, logistik, dan jaminan keamanan. Termasuk, mendorong para nakes untuk optimal berperan dengan memberi apresiasi tinggi berupa insentif gaji yang sepadan dengan pengorbanan. Sehingga tak perlu ada yang mereka risaukan. Bahkan sebagai bentuk penjagaan, secepatnya negara akan mendorong berbagai riset untuk menciptakan teknologi, obat, atau apapun yang dibutuhkan umat sebagai bentuk khidmat negara pada mereka. Sehingga fungsi pengurus dan penjaga umat betul-betul akan tertunaikan secara maksimal.

Inilah bedanya kepemimpinan berparadigma sekuler dengan Islam. Paradigma sekuler lebih fokus dan mengutamakan masalah ekonomi semata. Islam adalah agama yang paripurna yang mengajarkan agar para pemimpin negara mengurusi rakyatnya sepenuh jiwa dan takut hanya pada Allah. Karena kelak Allah akan memintai pertanggung jawaban atas apa yang mereka pimpin. Maka selayaknya umat Islam bersegera mengambil sesuatu yang akan membawanya pada kebaikan. Yakni dengan bersegera mewujudkan kembali kepemimpinan Islam dalam bingkai khilafah rasyidah ala minhajin nubuwah.
Wallahu’alam bi Ash shawab.

Oleh: Nur Laily (Aktivis Muslimah)