Pandemi Corona alias COVID-19 menyisakan masalah ekonomi di seluruh dunia. Termasuk Indonesia. Pemerintah membutuhkan banyak dana untuk menanggulangi dampak wabah dan melindungi perekonomian nasional. Untuk memenuhi dana tersebut, salah satunya pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Defisit anggaran yang melebar ke 6,27% itu setara Rp 1.028,5 triliun terhadap PDB. Untuk memenuhi itu, pemerintah rencananya akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun. Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional yang diperoleh detik.com, pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020.
Nantinya, total utang senilai Rp 990,1 triliun ini akan dengan penerbitan SUN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun private placement, dalam dan atau luar negeri.
Sesuai dengan draf tersebut, outlook pembiayaan mencapai Rp 1.633,6 triliun, di mana rinciannya pembiayaan defisit Rp 1.028,5 triliun, pembiayaan investasi dan lain-lain Rp 178,4 triliun, dan utang jatuh tempo senilai Rp 426,6 triliun. Adapun dari total pembiayaan, pemerintah sudah melakukan penarikan pinjaman sekitar Rp 148,0 triliun, sehingga total penerbitan SBN ditambah SPN/S jatuh tempo tahun 2020 sebesar Rp 35,6 triliun menjadi Rp 1.521,1 triliun.
Dari hitungan tersebut pemerintah berencana akan menerbitkan Rp 990,1 triliun lantaran sudah merilis SBN sebesar RP 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020, dan adanya penurunan giro wajib minimum (GWM) perbankan sebesar Rp 110,2 triliun.
Sejak sebelum pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia sudah dipastikan sedang lesu. Namun pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran melonjak.
Defisit anggaran merupakan problem universal. Bisa terjadi di negara mana pun tanpa melihat ideologinya apakah kapitalisme, sosialisme ataukah Islam. Yang berbeda adalah faktor-faktor penyebabnya dan solusi untuk mengatasinya.
Sistem ekonomi Islam tidak akan mengalami jalan buntu seperti saat ini Jika mengalami defisit anggaran, khilafah akan menyelesaikannya dengan 3 (tiga) strategi yakni:
Pertama, meningkatkan pendapatan. Ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
(1) Mengelola harta milik negara.Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu’un.
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pandemi Covid-19. Rasulullah saw. pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim.
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat.
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.
Ketiga, berutang (istiqradh).Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-huk4um syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua): utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di baitulmal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di baitulmal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), khalifah boleh berutang. Begitulah perbedaan yang jelas dengan sistem kapitalisme (saat ini) dan islam dalam mengatasi problem defisit anggaran. Kapitalisme hutang sebagai solusi yang menambah masalah, sedangkan Islam memberi solusi yang menyelesaikan masalah. Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Fatimah Azzariah (Aktivis Muslimah)