No Impor dalam Sistem Islam

Ulfa Sari Sakti

Impor pertanian sepertinya akan terus dijadikan solusi bagi pemerintah untuk mencukupkan keputuhan pangan rakyat. Padahal lahan dan tenaga kerja pertanian di Indonesia masih sangat potensial untuk diberdayakan.

Badan Pusat statistik (BPS) mencatat impor sayur-sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018 menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (sumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS).

Iklan Pemkot Baubau

Merespon hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto mengatakan angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri dari Cina.

Dia mencatat, volume impor bawang putih mencapai 38,62 persen dari total nilai impor seluruh jenis sayuran, disusul kentang olahan industri, bawang bombay dan cabai kering. Menurutnya meski produksi naik dari 49.000 ton menjadi 88.000 ton , jumlah tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan bawang putih nasional yang mencapai 580.000 per tahun. (Kompas.Com/25/5/2020).

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Hasan Aminuddin mengatakan kebijakan Kementerian Perdagangan yang membuka keran impor gula, bawang putih dan bawang bombay dinilai dapat merugikan petani yang telah bekerja sama dengan importir, yang patuh terhadap kebijakan wajib tanam 5 persen. Hal itu dinilainya akan menggerogoti upaya swasembada bawang putih Indonesia.

Semangat di Nawa Cita itu membangun kemandirian untuk ketahanan pangan. Indonesia tidak menutup kesempatan impor karena merupakan bagian dari global supply chain. Namun syarat impor dan kewajiban tanam 5 persen itu mutlak harus dipenuhi sebagai upaya menuju swasembada,” ujar Hasan dalam keterangannya.

Tahun 2017 pemerintah sudah tegas dengan langkah menuju swasembada melalui penyiapan 1.900 hektar lahan tanam bawang putih. Tahun 2019 kemarin sudah ada 110 kabupaten yang menanam bawang putih di 20-30 ribu hektar lahan.

Sementara di tahun 2020 ini diproyeksikan akan terdapat 40-60 ribu hektar yang siap, dan tahun 2021 akan mencapai 80-100 ribu hektar. Kementerian Pertanian sendiri mengakui telah menghitung ada 600 ribu hektar lahan yang siap untuk ditanam bawang putih.

“Kebijakan swasembada ini harusnya didukung dengan tetap patuh pada syarat yang harus dipenuhi oleh importir. Bukan membiarkan importir tertentu melenggang tanpa memenuhi syarat impor dengan dalih stabilisasi harga,” ungkapnya. (detikfinance.com/19/3/2020)
Senada itu Anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro menganggap impor bawang putih oleh Bulog dapat merugikan petani, karena dapat membuat Bulog melakukan monopoli, sehingga mendesak penugasan ini untuk dievaluasi.

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, juga mengkhawatirkan rencana impor ini berdekatan dengan panen raya petani bawang putih. Jika benar, maka bisa merugikan petani lokal. “Kebijakan ini tidak pro ke petani. Petani bawang sepertinya ditinggalin,” ujar Uchok.

Dari sisi politik, kebijakan ini tidak populis. Dikhawatirkan petani kecewa dan bisa berdampak pada elektabilitas Jokowi. Mengingat, petani adalah salah satu basis masa Jokowi. (PikiranRakyat.Com/25/3/2019).

Tak ada Impor dalam Sistem Islam

Berbeda dengan sistem kapitalis yang selalu memilih solusi instant dalam menyelesaikan masalah rakyat, seperti solusi impor dalam menghadapi kekurangan pasokan, dibanding solusi meningkatkan produksi tanam, sistem Islam malah sebaliknya lebih mengutamakan mengoptimalkan produksi tanam dengan memaksimalkan pemanfaatan tanah. Yang mana syariah Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu diterlantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan akan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya.

Syariah Islam juga mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya, sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan khalifah Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.

Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa konpensasi. Nabi saw bersabda, ”Barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya” (HR Bukhari).

Selain itu lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik dibayarkan dalam bentuk hasil pertanian maupun dalam bentuk lainnya. Rasulullah saw bersabda, ”Barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah tanahnya itu” (HR Bukhari). (mediaumat/2019).

Tidak hanya dalam kondisi normal, saat paceklik pun, pemerintah sistem Islam telah melakukan langkah-langkah antisipasi seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khathab. Beliau mengambil langkah untuk menarik pos dana dari Baitul Mal untuk dibagikan kepada rakyatnya. Bahkan Amirul Mukminin ini rela memikul sendiri karung gandum untuk rakyatnya.

Sikap para pemimpin sistem Islam yang amanah menjalankan sumpah janjinya, karena mereka sadar akan tugasnya dan semata-mata menjalankan tugas untuk mencari ridha Allah swt, seperti sabda Rasulullah saw,”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Pola kepemimpinan dengan solusi yang dihasilkan oleh para pemimpin dalam sistem Islam, tentunya dapat menjadi referensi bagi penguasa muslim saat ini. Semoga mereka dapat berpikir ulang untuk mempertahankan sistem pemerintahan yang dianutnya yaitu kapitalis-sekuler. Semoga saja hidayah Allah swt segera turun kepada mereka, agar kerinduan umat atas kepemimpinan Islam segera terwujud. Wallahu’alam bishowab.

Oleh: Ulfah Sari Sakti, S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)