Keadilan adalah kebutuhan fitrah setiap manusia dalam memperoleh haknya sebagai sarana-pra sarana menjalani berbagai urusan dalam kehidupan ini. Manusia tidak suka dizalimi. Alami sebagai bagian dari naluri menampakan eksistensi dan mempertahankan diri (gharizah baqa’). Tentunya dalam lingkup penataan syariat.
Namun, manusia tidak selamanya juga benar adakalanya melakukan kelalaian bahkan kesalahan-kesalahan baik disengaja ataupun tidak. Karna kapasitas penciptaan manusia bukanlah terbebas dari salah layaknya malaikat. Bahkan manusia adalah makhluk yang lemah (dhaif). Maka Allah lengkapi dengan penyempurnaan berupa akal untuk menimbang suatu hukum ketika berbuat. Hukum syariatlah yang akan menjadi penimbang dalam memutuskan suatu amal, baik terkait hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri ataupun dengan sesama yang lainnya. Jika mampu menjaga ketiga hubungan tersebut dengan seluruh perintah Allah maka dia berada dalam ketaatan serta balasan pahala. Namun sebaliknya jika ada hukum yang dilanggar maka dia berada pada posisi perbuatan tercela dengan konsekwensi dosa.
Perbuatan dosa inilah sebagai tindak kejahatan (al-jarimah), yang tidak boleh dibiarkan agar manusia tetap senantiasa dalam ketaatan. Maka untuk membatasi hal tersebut, Islam sejak awal telah mempersiapkan seperangkat hukum melalui sistem persanksian (‘uqubat) yang berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan sekaligus penebus (jawabir). Pencegah bagi yang lain saat menyaksikan hukuman dijatuhkan pada setiap pelanggaran agar tidak malakukan hal yang sama serta efek jera bagi pelakunya. Penebus ketika sanksi dunia sudah dilaksanakan makan pelaku akan terbebas dari azab akhirat.
Kapan sanksi (‘uqubat), diterapkan?..ketika terjadi pelanggaran terhadap berbagai kewajiban, melaksanakan keharaman dan melanggar aturan administrasi negara. Dalam kesempatan ini, saya akan mengajak seluruh pembaca untuk mengetahui konsep peradilan dalam Islam. Barangkali agak terasa berat jika belum pernah mengenal peradilan dalam Islam karena lamanya kita dihadapkan dengan sistem peradilan asing. Namun sekarang sudah saatnya kita mengetahui agar indahnya Islam bisa kita bayangkan dan terdorong mewujudkannya. Sekalipun membutuhkan rincian lebih mendalam. Semoga tulisan sederhana ini bisa mewakili.
Jenis sanksi (‘uqubat) DALAM islam dibatasi dalam 3 kategori yaitu : [1]. Hudud, yaitu sanksi yang telah ditetapkan batasan (had)nya terhadap suatu kemaksiatan berdasarkan ketetapan hukum-hukum syariat. Dan wajib dijatuhi hukum hudud yaitu perbuatan zina, homo seksual (liwath), menuduh berzina (qadzf), minum khamar, murtad, hirabah(penyamun/melakukan kerusakan) dan mencuri. Jenis-jenis ini telah ditetapkan hududnya masing-masing sesuai syariat.
[2]. Qishash (Jinayat) yaitu hukuman yang diberikan atas penganiayaan badan seseorang tanpa dibenarkan syariat dengan balasan yang sama atau berupa sanksi denda. Terkategori dalam hal ini kasus pembunuhan dan selain pembunuhan, seperti melukai, menganiaya atau merusak anggota tubuh lainnya.
[3]. Ta’zir yaitu sanksi yang dijatuhi terhadap pelaku kejahatan yang tidak terkategori ke dalam hudud atau qishash. Dimana kadarnya dan bentuknya ditetapkan oleh imam (khalifah).
Bagaimana sanksi ini bisa efektif dilaksanakan??,
Disinilah membutuhkan sebuah lembaga struktur negara yang disebut dengan pengadilan. Lembaga yang akan menerapkan eksekusi berbagai pelanggaran. Yaitu sistem peradilan yang dikelola oleh Negara Khilafah.
Keunggulan Sistem Peradilan Negara Khilafah
Sistem peradilan negara khilafah berbeda dengan sistem peradilan yang lainnya. Peradilan di dalam sistem kapitalisme, tidak lepas dari filosofi hukum yang dianutnya. Filosofi sistem hukum kapitalisme ini bersumber pada teori “iltizam”. Teori yang menjadi pijakan sistem hukum Prancis, Jerman, Italia, dan hampir semua negara Eropa. Dari teori ini, kemudian lahir hukum acara pidana, dan hukum acara perdata, dan hukum-hukum yang lain.
Sementara Islam tidak mengenal teori iltizam. Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat juga satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya.
Stuktur peradilan negara khilafah yang dijalankan oleh sebuah lembaga yang representatif dalam memutuskan perkara sesuai tugas dan fungsinya. Semua hukum yang diterapkan oleh para hakim diketuHai oleh seorang Qadhi atau yang disebut Qadhi Qudhat (Pimpinan Qadhi yang membawahi seluruh Qadhi). Dia harus seorang pria, baligh, berakal, merdeka, Muslim, adil dan ahli fikih. Dia diberi hak untuk mengangkat, membina, dan bahkan memecat para Qadhi sesuai dengan ketentuan administrasi. Ada beberapa kategori peradilan dalam negara khilafah, yaitu Khusumat, Hisbah dan Madzalim.
Khushumat adalah peradilan yang dipimpin oleh Qadhi Khushumat yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun ‘uqubat (sanksi). Sengketa ini bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan mu’amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli dan sebagainya.
Selain sengketa dalam masalah hak yang berkaitan dengan muamalah, juga ‘uqubat (sanksi), seperti sanksi bagi pezina, orang yang murtad, penganut aliran sesat, penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan, dan sebagainya. Mereka semua bisa diadili di peradilan ini.
Peradilan ini membutuhkan mahkamah, atau majelis. Karena ini melibatkan dua pihak, penuntut (mudda’i) dan tertuduh (mudda’i ‘alaih). Di mahkamah inilah, semua bukti (bayyinah) diajukan dan dibuktikan, baik saksi, sumpah maupun dokumen. Hakim akan membuat keputusan sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan dan dibuktikan di peradilan.
Qadhi Khushumat disyaratkan harus Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, ahli fikih dan memahami bagaimana menurunkan hukum pada fakta. Meski di dalam satu mahkamah boleh ada lebih dari satu Qadhi, tetapi yang berhak memutuskan perkara dalam satu majelis tetap satu orang. Sedangkan yang lain berfungsi memberikan masukan atau pandangan. Meski pendapat dan masukan mereka tidak mengikat.
Contoh implementatifnya pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketika Sayyidina ‘Ali menjadi khalifah, ada seorang Yahudi yang “memiliki” baju besi sang Khalifah. Karena merasa baju besi itu adalah bajunya, maka Khalifah pun mengajukan kasus ini ke pengadilan. Meski kasus ini melibatkan Khalifah, tetapi Qadhi Suraikh yang bertugas memutuskan kasus ini tidak berpihak kepada Khalifah. Justru, sang Qadhi memenangkan orang Yahudi “pemilik” baju besi sang Khalifah. Karena, Sayyidina ‘Ali tidak bisa menghadirkan bukti dalam persidangan ini. Ini adalah salah satu contoh, bagaimana sistem peradilan Islam memutuskan sengketa, meski melibatkan orang kuat.
Hisbah adalah peradilan yang dipimpin oleh Qadhi Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat (jamaah). Qadhi Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudud (seperti, perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamr, sodomi) dan jinayat (seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang).
Tugas dan fungsi Qadhi Muhtasib ini adalah menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. Dia bisa mencegah kemungkaran begitu mengetahuinya, di mana pun tanpa membutuhkan majelis. Dia bisa dibekali dengan polisi yang bertugas mengeksekusi keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat, dan harus dilaksanakan seketika itu juga. Sebagai gambaran Qadhi ini akan banyak melakukan eksekusi langsung atau turun lapang ke tengah-tengah masyarakat.
Qadhi Muhtasib bisa mengangkat beberapa wakil yang memenuhi syarat Muhtasib. Mereka bisa disebar ke beberapa pelosok atau tempat yang berbeda. Mereka mempunyai kewenangan yang sama untuk melaksanakan tugas dan fungsi hisbah di tempat atau kawasan, tempat di mana mereka diangkat.
Contoh implementatifnya , pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khatthab ada seorang Qadhi Muhtasib yang diangkat untuk mengawasi pasar. Tugas ini dipercayakan kepada seorang wanita (boleh wanita menjadi tim pengadilan ini), yang bernama as-Syifa. Bahkan, di zaman Khalifah al-Mu’tadzidz (279 H), Sanan bin Tsabit, yang merupakan Qadhi Muhtasib, juga ditugaskan untuk menguji dan menyeleksi seluruh dokter di Baghdad. Mereka berjumlah 860 dokter. Qadhi Muhtasib ini diberi wewenang, untuk melarang para dokter melakukan praktik, kecuali setelah mendapatkan izin praktik dari Qadhi Hisbah (dalam kitab Ibn Abi Ushaibi’ah, ‘Uyun al-Anba’, Juz I/112).
Bahkan, para Qadhi Muhtasib tidak gentar untuk melakukan pengawasan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Dalam kitab, Siyar al-Muluk, diceritakan, ketika penguasa Bani Saljuk menenggak minuman keras bersama punggawa kerajaan, maka mereka pun didera oleh Qadhi Hisbah sebanyak 40 kali cambukan, hingga menanggalkan giginya. Menariknya, punggawa itu adalah salah seorang komandan militer. Ketika dicambuk, tak satupun anak buahnya membantunya, selain melihatnya.
Madzalim adalah yang peradilan dipimpin oleh Qadhi Madzalim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.
Qadhi Madzalim diangkat oleh khalifah, maupun Qadhi Qudhat. Mengenai tugas mengawasi, membina dan memecatnya bisa dilakukan oleh khalifah, Qadhi Qudhat atau kepala Qadhi Madzalim, jika mereka diberi kewenangan oleh khalifah untuk melakukan tugas dan fungsi tersebut.
Tugas dan fungsi Qadhi Madzalim adalah menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. Jika ini terkait dengan kebijakan, maka Qadhi Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, retribusi tol, atau bentuk iuran-iuran lainnya yang bukan tanggung jawab.
Yeni Marlina,A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Muslimah