Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Dengan adanya PP Tapera, maka perusahaan atau pekerja akan dipungut iuran baru. Gaji para pekerja siap-siap akan dipotong 2,5 persen untuk iuran Tapera tersebut. Pasal 15 dalam PP tersebut tertulis: “Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3 persen (tiga persen) dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta pekerja mandiri”. Pasalnya, tabungan ini akan diwajibkan bagi PNS, TNI dan Polri, BUMN, BUMD, serta karyawan swasta. Besaran tabungan yang diambil dari gaji sebanyak 3%, dengan alokasi 2,5% pekerja dan 0,5% pemberi kerja. (Kompas, 5/6/20)
Rencananya program ini diadakan untuk memudahkan masyarakat dalam mendirikan hunian. Namun, tidak hanya fasilitas kemudahan membuat rumah. Tapera pun diperuntukkan bagi yang telah memiliki rumah pribadi. Namun sebagaimana biasanya, selalu terjadi pro dan kontra di setiap kebijakan. Menurut Pengamat Tata Kota dan Perumahan Universitas Trisaksi Yayat Supriyatna, tidak ada jaminan bagi peserta untuk memiliki rumah. Ketika masa pensiun tiba misalnya, jika diakumulasikan tabungan tersebut belum tentu bisa dapat rumah. Karena harga rumah semakin hari akan semakin mahal. (cnnindonesia, 4/6/20)
Jika program ini benar-benar berjalan, lantas ke mana pengelolaan keuangannya? Akankah tabungan ini akan disimpan begitu saja? Atau ada motif lainnya? Mengingat kondisi keuangan nasional saat ini sedang lesu. Pandemi Covid-19 telah membawa dampak besar ekonomi dunia maupun nasional. Akibatnya, negara pun perlu cari suntikan dana sana sini untuk menutupi defisit anggarannya. Setelah sebelumnya ada wacana penggunaan dana haji untuk menutupi kesulitan keuangan. Apakah nantinya ada jaminan Tapera tidak digunakan? Situasi semacam ini pastilah membebani dompet rakyat. Beginilah jika aturan dibuat sesuai kebutuhan dan kepentingan. Atas nama kesejahteraan rakyat, justru mereka yang dikorbankan. Sudahlah harus membayar pajak A-Z, ditambah Tapera yang belum ada kepastiannya menguntungkan rakyat.
Sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan kepemimpinan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Amanah itu harus dijalankan karena tanggungannya dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun. Mereka akan mengelola keuangan sesuai dengan pandangan Islam. Tak akan benari bermain-main dengan riba. Apalagi menjerumuskan rakyatnya pada dosa besar itu. Pemimpin yang beriman akan mencari uang dengan cara halal. Ia akan mendapatkan pemasukan utama dari mengelola SDA yang ada. Dari fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, fa’i, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Bukan hanya dengan mengandalkan pajak dan pungutan lainnya. Itulah kepemimpinan Islam. Yang hanya bisa dimiliki saat sistem Islam yang dipakai. Atas dorongan takwa kepada Allah. Dalam sebuah kepemimpinan bernama khilafah. Bukan atas nama kepentingan dan kekuasaan. Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Yanti Mursidah Lubis