Kasus penyerangan kepada Novel Baswedan telah berakhir dengan meninggalkan polemik di tengah masayarakat. Pasalnya jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman yang tidak sepadan yaitu pidana selama 1 tahun penjara. Sungguh hukuman yang sangat ringan bagi pelaku penyerangan yang mengakibatkan cacat pada korban.
Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel. detikNews.com, 11/6/2020.
Tuntutan satu tahun terhadap penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, mengundang reaksi publik termasuk Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI). Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya bisa memahami kekecewaaan masyarakat atas tuntutan dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan. Liputan6.com, 14/6/2020.
Pakar hukum tata negara Refly Harun pun menilai peradilan yang dilakukan terhadap kedua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tidak asli. “Kita bisa menilai kalau sesuatu itu genuine, kalau pengadilannya genuine kita bisa menilai dengan Tekad (tes kadar dungu). Jadi, kalau pengadilannya genuine kita bisa menilai soal logika, soal rasionalitas, dan lain-lain. Kalau kita menilai sesuatu pengadilan yang tidak genuine, kita bisa sesat,” ujarnya. vivanews, 14/6/2020.
Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas
Penegakan hukum memang tidak boleh tebang-pilih. Namun, dalam sistem demokrasi di negara ini, keadilan seakan menjadi sebuah ilusi. Sistem yang ditopang oleh Kapitalisme ini semakin mengokohkan hegemoninya diberbagai lini. Termasuk dalam masalah peradilan. Tak peduli siapa pun yang menjadi korban, yang penting kepentingan para kapital tidak terusik.
Sistem peradilan dalam sistem ini telah dinodai oleh kepentingan segelintir orang. Maka dalam sistem ini, keadilan hanya berlaku bagi para pemilik modal atau yang berkuasa. Kasus Novel Baswedan bukan menjadi satu-satunya bukti ketidakadilan sistem peradilan di negeri ini.
Sungguh ironi, suatu ketika seseorang nenek asal Situbondo, Jawa Timur yang diduga mencuri batang kayu jati milik Perum Perhutani dituntut hukuman 5 tahun penjara. Sementara para pihak yang jelas-jelas bersalah seperti koruptor yang merajalela di negara ini justru dengan bebas lalu lalang di pemerintahan. Jika pun ada yang tertangkap, mereka justru mendapatkan fasilitas yang tidak seharusnya mereka peroleh dengan ganjaran hukuman yang ringan pula. Padahal perbuatan merekalah yang justru telah merugikan negara dan dampaknya dirasakan oleh masyarakat.
Padahal, persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara setingkat bupati dan anggota DPRD tersangkut perkara pidana. harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol.
Islam Memandang
Dalam Islam pelaku pembunuhan atau merusak anggota tubuh orang lain, diganjar dengan hukuman yang sama. Dalam kajian ilmu hukum Islam yang berbicara tentang kejahatan disebut sebagai Jinayah. Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana Islam. Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana qishas, hudud, dan takzir.
Jinayah ditujukan atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiyaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Maksud dari jinâyah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, maka pemilik hak (shâhib al-haq) boleh memberikan ampunan/permaafan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 178).
Sementara qishas adalah penjatuhan sanksi yang sama dengan yang telah pelaku lakukan terhadap korbannya, misalnya pelaku menghilangkan nyawa korbannya, maka ia wajib dibunuh. Kecuali, keluarga korban memaafkan si pelaku, maka pelaku hanya akan dikenakan denda yang dinamakan dengan diat atau denda sebagai pengganti dari hukuman.
Dorongan dan motivasi untuk memberi maaf diuraikan dalam beberapa Hadis Rasulullah saw. Di antaranya, beliau bersabda, “Tidaklah sesuatu perkara yang di dalamnya terdapat qishash diajukan kepada Rasulullah saw., kecuali beliau memerintahkan untuk memberi maaf.”
Setiap orang akan berpikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan karena ancaman pidananya sangat berat, yaitu qishâsh, atau diyat yang nilainya, sebagaimana riwayat Abdullah bin Amru bin al-Ash, “Untuk pembunuhan seperti sengaja sebesar 100 ekor unta yang 40 ekor adalah unta yang sedang bunting.” Jika diuangkan diyat tersebut dapat mencapai miliaran rupiah. Itulah keadilan dalam sistem peradilan Islam. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh : Indah Ummu Izzah (Praktisi Sosial)