Ajang ‘bisnis’ dalam dunia kesehatan nampaknya tak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya uji tes Covid-19 baik melalui rapid maupun swab test dituding telah “dikomersialisasikan”. Tingginya biaya tes disebut telah menelan korban di masyarakat. Dilansir dari Kompas.com (19/06/20) Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta.
Melihat kenyataan ini, pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk menggratiskan biaya tes virus corona. Kalau pun tidak memungkinkan, pemerintah dinilai perlu melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap harga tes Covid-19 sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mahalnya harga tes Covid-19 disinyalir karena adanya pembelian alat-alat kesehatan yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Disamping itu pula pihak RS harus membiayai para tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan Covid-19.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut. (Bbcindonesia.com, 18/06/20)
Semenjak kebijakan new normal diberlakukan pemerintah kembali membuka jalur transportasi seperti bandara, pelabuhan, terminal dan sebagainya. Dari kebijakan ini masyarakat diminta untuk melakukan serangakain tes Covid-19 ketika hendak melakukan perjalanan luar kota. Rangakian tes Covid-19 ini tak main-main. Pasalnya, masyarakat harus membayar mahal ketika harus melakukan tes kesehatan jika tidak maka tidak ada izin untuk melakukan perjalanan luar kota.
Adapun beberapa prosedur yang harus dipenuhi oleh masyarakat yakni pembuatan surat bebas Covid-19 yang ditandai dengan hasil rapid test ataupun swab test. Biaya rapid test diperkirakan mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain. Adanya pemberlakuan tes kesehatan Covid-19 merupakan persyaratan bagi setiap masyarakat yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Hal ini berdasarkan Surat Edaran Gugus Tugas (SEGT) Nomor 7 Tahun 2020, salah satu persyaratan calon penumpang transportasi umum, baik laut dan udara untuk perjalanan harus tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku tujuh hari dan rapid test yang berlaku tiga hari pada saat keberangkatan. (Todayline.com, 12/06/20)
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, kurangnya alat kesehatan disinyalir sebagai dampak masih adanya oknum yang tak bertanggung jawab dalam pengadaan alat kesehatan. Tak hanya itu, masyarakat harus siap mengeluarkan biaya mahal meskipun negara sudah menjamin hal tersebut melalui BPJS. Namun apa daya, semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanyalah untuk demi kepentingan para pebisnis (kapitalis).
Padahal secara fundamental permasalahan kesehatan seharusnya merupakan tanggung jawab negara. Dimana, negara wajib menyediakan berbagai fasilitas alat medis serta para tenaga medis apalagi ditengah wabah saat ini. Namun, kenyataan dalam sistem kapitalisme kesehatan rakyat dijadikan sebagai lahan ‘bisnis’ oleh segelintir orang.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan islam. Dimana, islam sangat memperhatikan kesehatan masyarakat. Konsep jaminan kesehatan di zaman Rasulullah SAW saat itu memberikan layanan kesehatan bagi sahabat-sahabatnya yang tak lain merupakan warga yang dipimpinnya tanpa memungut biaya sepeserpun. Islam mengharamkan jaminan kesehatan jika dalam pelayanan kesehatan tersebut adanya diskriminasi, pembayaran kesehatan yang mahal, bahkan komersialisasi yang merugikan masyarakat.
Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab Negara. Pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma) bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/143).
Begitupun khalifah Umar selaku kepala Negara Islam juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya.(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).
Dari sinilah kita bisa menilai bahwa pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme hanyalah ajang bisnis untuk menguntungkan para pebisnis (kapitalis). Sementara itu, rakyat dijadikan tumbal yang di peras setiap saat oleh pemerintah lewat kebijakannya. Maka sudah seharusnya kita berkiblat pada sistem islam yang jelas nyata aturannya. Tidak merugikan, memberikan pelayanan yang sempurna baik pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sebagainya.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban seorang kepala negara yang berperan sebagai pelayan umat untuk menentukan kebijakan sesuai koridor syariat islam. Sebab, seorang kepala negara akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT ketika dirinya abai dalam melayani umat.
Rasulullah saw. bersabda:
فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu A’lam Bishsowab.
Oleh: Hamsina Halisi Alfatih