TEGAS.CO., NUSANTARA – Setiap perempuan berhak mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dalam berbagai hal termasuk perolehan upah kerja. Namun hingga saat ini data Global yang dirilis oleh UN women menunjukkan bahwa perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen.
Di Indonesia sendiri, data menunjukkan perempuan memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa perempuan yang sudah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar dengan laki-laki. Tentu saja perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi ekonomi perempuan. Terutama pada masa-masa sulit di tengah pandemi Covid-19 seperti terhadap kesenjangan upahnya. Juga dengan menghilangkan hambatan (peran domestik) untuk terjun ke semua jenis pekerjaan agar tidak menuntut negara menjamin kesejahteraannya.
Dalam pandangan Islam yang menempatkan peran utama perempuan sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Tentu kontraproduktif dengan kampanye gender yang memobilisasi perempuan meraih penghasilan setara laki-laki. Padahal hukum Islam memperbolehkan perempuan bekerja dengan syarat dan ketentuan sesuai syariat, sesuai kekhususan peran dan posisinya.
Jika perempuan bekerja, maka berlaku hukum syariat tentang ijaratul ajir (kontrak kerja) yang secara umum tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Islam telah menjelaskan secara terperinci Bagaimana kontrak kerja pengusaha – pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut jenis pekerjaan, waktu termasuk besaran gaji.
Bila pekerja perempuan memiliki kemampuan lebih unggul daripada laki-laki pada pekerjaan yang sama, tak menutup kemungkinan besaran penghasilan melebihi laki-laki. Jadi tak ada kezaliman dalam hal penghasilan sebagaimana yang biasa terjadi di dunia kapitalis.
Negara Khilafah, pasti akan mencegah tindak kezaliman yang dilakukan suatu pihak kepada pihak lainnya, termasuk dalam akad pekerjaan sebagai penerapan keseluruhan hukum syariat hadits Qudsi berikut.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa nabi Saw. bersabda.
“Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada Khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerjaan, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang memberikan upahnya.”(H.R. Ahmad, bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Jadi masalah penghasilan dalam pandangan syariat Islam, tidak berhubungan dengan kecukupan kebutuhan hidup, jenis kelamin, hingga jaminan hari tua. Sedangkan di Negara kapitalis, negara cuci tangan akan jaminan kesejahteraan warganya, mereka harus membayar semua layanan demi memenuhi hajat publiknya.
Karena itu dengan jumlah gaji relatif tetap, tidak akan mampu membiayai semua kebutuhan hidup yang selalu bertambah karena itu muncul tuntutan untuk menghilangkan gender pay gap (kesenjangan penghasilan), agar perempuan Mandiri secara finansial dalam memenuhi kebutuhan sekaligus menjamin hari tuanya.
Tentu saja fenomena tersebut tidak bakal terjadi dalam sistem Islam, yang memastikan peran negara terjadi secara Paripurna dalam menjamin kebutuhan rakyat, maka persoalan besar kecilnya penghasilan tidak akan menimbulkan masalah karena hajat publik dipenuhi secara thayyib oleh negara, murah pembiayaannya bahkan gratis. Wallahu A’lam Bishawab.
Penulis: Santi Zainuddin
Editor: H5P