Kesetaraan Upah, Benarkah Mensejahterakan Perempuan?

IMG 20200930 231221
Hamsina Halisi Alfatih

TEGAS.CO., NUSANTARA – Untuk pertama kalinya, Indonesia bersama dunia memperingati Hari Kesetaraan Upah Internasional pada tanggal 18 September. Hari internasional ini menandai komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap hak asasi manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Setiap perempuan berhak mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dalam berbagai hal, termasuk perolehan upah kerja. Namun sayangnya, hingga saat ini data global yang dirilis oleh UN Women menunjukkan bahwa perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen.

Sedangkan di Indonesia sendiri, data menunjukkan perempuan memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa perempuan yang sudah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar dengan laki-laki. Tentu saja perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi ekonomi perempuan. Terutama pada masa-masa sulit di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.(Kumparan,21/09/20)

Perbedaan upah memang kerap terjadi dalam sebuah instansi atau pekerjaan. Perbedaan upah yang kerap terjadi tidak hanya meliputi antara perempuan dan laki-laki saja, tetapi bisa saja terjadi pada perbedaan agama, suku maupun warna kulit. Hal inilah kemudian mengakibatkan adanya pergolakan hingga berdampak pada diskriminasi individu.

Bukan tidak menutup kemungkinan perbedaan upah tersebut dipengaruhi oleh faktor pengalaman kerja yang sangat lama atau individu tersebut mampu menguasai lahan pasar. Tetapi apakah perbedaan upah tersebut sangat adil? Lantas bagaimana nasib perempuan terhadap kesejahteraan mereka apalagi yang telah memiliki keturunan.

Kesenjangan upah terjadi ketika ada dua orang dalam satu perusahaan yang melakukan pekerjaan yang sama pada tingkat kualifikasi/jabatan yang sama akan tetapi dibayar tidak sama. Situasi kesenjangan upah seperti ini adalah illegal dan dianggap diskriminatif. Meskipun begitu, kesenjangan upah tetap masih banyak terjadi. Adanya kesenjangan atau perbedaan upah tersebut membawa nasib perempuan kian kerap mendapatkan diskriminasi. Bahkan Selama pandemi COVID-19, situasi ini semakin meningkat dan memberikan dampak negatif bagi perempuan dan keluarganya.

Dalam Pemantauan ILO: COVID-19 dan dunia kerja: Edisi ke-5 yang diterbitkan pada Juli 2020, ditemukan bahwa banyak pekerja perempuan mendapatkan dampak berbeda selama pandemi, khususnya terkait dengan besarnya keterwakilan mereka dalam sektor-sektor perekonomian yang paling terkena dampak krisis ini, seperti akomodasi, makanan, penjualan dan manufaktur.

Di samping itu perempuan kerap dijadikan akses komoditas pasar bagi para kapitalis. Hasilnya, perempuan kerap dijadikan sebagai bahan pelecehan seksual baik secara visual maupun non visual. Inilah yang semakin membuat perempuan tereksploitasi hingga kehilangan disfungsi mereka sebagai orang tua, ibu dan istri.

Ideologi kapitalisme saat ini tak hanya tengah menguasai negeri-negeri ka muslim. Namun, kapitalisme telah benar-benar menghilangkan fungsi negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Indonesia menjadi salah satu contoh betapa peran penting seorang perempuan telah terkikis perannya. Kemuliaan serta kesejahteraan mereka kini tergadaikan dengan materi. Perempuan seolah harus turut bersaing dalam mengejar pundi-pundi rupiah. Sayangnya, mereka justru terperangkap, di diskriminasi dalam memperjuangkan kesetaraan upah.

Hilangnya disfungsi perempuan menjadikan kesejahteraan mereka hannyalah omong kosong belaka dalam sistem kapitalisme. Padahal dalam pemenuhan hidup rumah tangga merupakan kewajiban suami. Perempuan dengan perannya sebagai istri dan ibu hannyalah memenuhi kewajibannya dalam rumah tangga yaitu mengurus suami dan mengajarkan anak-anaknya agar menjadi generasi gemilang. Mendidik generasi adalah tugas yang urgen karena dari didikan para ibu, pemimpin-pemimpin adil, mujahid-mujahid tangguh, hingga ulama dan intelektual hebat itu terbentuk.

Untuk mencetak generasi berkualitas, Islam mewajibkan negara menjamin pendidikan kaum perempuan. Bahkan pada masa gemilangnya, Khilafah memiliki perguruan tinggi khusus perempuan yang kualitasnya diakui dunia. Ini ditunjukkan ketika Raja Inggris George II mengirimkan putri saudaranya, seorang gubernur wanita Dubanit, juga kepala kabinetnya sebagai pimpinan rombongan ilmiah yang terdiri dari 18 pemudi dari putri-putri para pembesar menuju Andalus. Mereka mempelajari aturan-aturan kenegaraan, hukum dan adab-adab perilaku Islam serta segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan kepada kaum perempuan. Mereka sekaligus mengambil manfaat dari peradaban serta produk-produk Islam pada masa Khalifah Hisyam III (Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil, Lamhah min Târîkh ad-Da’wah).

Maka jika kita melihat dalam pandangan Islam justru perempuan sangat dimuliakan harkat dan martabatnya serta benar-benar mendapatkan kesejahteraan dan perannya sesuka dengan fitrahnya. Islam tidak mengenal adanya diskriminatif individu dalam sebuah pekerjaan apalagi perbedaan dalam memberi upah. Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Tak hanya itu, Islam sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan tanpa memandang gender dan ras.

Oleh karena itu, solusi hakiki atas permasalahan perempuan saat ini adalah sebagaimana solusi untuk seluruh umat. Umat Islam harus bangkit dan mencabut ideologi kapitalisme hingga ke akarnya, lalu menggantinya dengan Ideologi Islam yang berlandaskan akidah Islam. Sebagaimana dahulu ideologi ini pernah tegak dalam negara Islam di masa Rasulullah SAW hingga kekhalifahan Utsmani. Bahkan kurang lebih 14 abad lamanya meletakkan baik laki-laki maupun perempuan dalam kemuliaan dan kesejahteraan di bawah peradaban gemilang.
Wallahu A’lam Bishshowab

Penulis: Hamsina Halisi Alfatih
Editor: H5P