TEGAS.CO., NUSANTARA – Kluster baru terus bertambah semakin hari semakin tidak kondusif, faktanya data yang terpapar Covid-19 semakin meningkat. Namun Pemilihan Daerah (Pilkada) Medan akan tetap dilaksanakan pada Desember mendatang lantas apa yang melatarbelakangi pemerintah tetap ngotot mengadakan Pilkada di tengah kondisi seperti ini?
Hingga berbagai elemen terus melakukan penolakan diadakannya Pilkada yakni Gerakan Nasional Pembela Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) Sumatera Utara menggelar aksi penandatanganan petisi agar Pilkada 2020 di Kota Medan dapat ditunda karena masih di masa pandemi Covid-19 yang sangat berbahaya, karena masih di kondisi zona merah dan kita mengajak masyarakat untuk beramai-ramai menolak Pilkada ini, agar ditunda. (waspada.co.id, 20/09/2020).
Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Bakhrul Khair Amal memberikan komentar perihal akan berlangsungnya Pilkada Medan 2020 “Sebenarnya, saat ini bisa dibuat Keppres atau peraturan untuk menunda sementara Pilkada ini, dan hal itu juga muncul dari kawan-kawan sipil, termasuk juga Pak Yusuf Kalla juga meminta kepada negara untuk segera menunda karena untuk keamanan dan kenyamanan,” Di lain pihak, ada pula yang mengkhawatirkan transparansi Pilkada di tengah pandemi saat ini berhubung saat penghitungan suara tentu melarang adanya banyak kontak dari kerumunan yang berpotensi tinggi penularan. Juga kekhawatiran atas politik uang yang marak di tengah kesulitan ekonomi rakyat. (medan.tribunnews.com, 20/09/2020).
Dari pernyataan penolakan tersebut menunjukkan di situasi-situasi pandemi sangatlah tidak tepat bila Pilkada dipaksakan berlangsung padahal pada masa kampanye saja sudah menimbulkan kerumunan yang sulit dikendalikan apalagi disaat berlangsungnya Pilkada.
Maka wajar kekhawatiran dari berbagai elemen pun menolak untuk diadakan kegiatan tersebut dilihat dari potensi penularan Covid yang tinggi. Akan tetapi pernyataan penolakan tidaklah digubris bagi para pemangku kepentingan. Yang telah kita ketahui Covid-19 sendiri bisa merenggut siapa saja tanpa tanda-tanda gejala bagi yang terjangkit. Walaupun virus ini tak kasat mata namun tidak boleh dianggap sepele. Faktanya, kini wabah telah bergentayangan hingga merenggut ribuan korban jiwa, menumbangkan puluhan tenaga medis di medan juang maka inilah yang perlu di waspadai agar tidak menimbulkan petaka dikemudian hari.
Disisi lain bukankah pesta demokrasi telah menggelontorkan dana rakyat yang tidak sedikit padahal dikondisi diambang krisis sementara masyarakat semakin menderita hingga hilangnya mata pencarian yang menyokong kebutuhan hidup.
Inilah permasalahan utamanya terletak pada skala prioritas pemerintah apakah keselamatan rakyat, atau kursi kekuasaan. Namun lebih memilih memundurkan perhelatan Pilkada atau menggadaikan keselamatan rakyat banyak.
Seandainya prioritas kursi jabatan diklaim atas kepentingan rakyat, maka hal tersebut terbantahkan dengan kasus Covid yang terus meningkat akibat penularan dari klaster-klaster yang ada yang terkesan lari dari permasalahan.
Dari sini tampak bahwa sistem pemerintahan kapitalis-demokrasi tidak memiliki kekuatan untuk menangani problem simalakama antara memilih kesehatan atau tampuk kekuasaan.
Hingga dapat dilihat dengan bersistemkan demokrasi yang mengatasnamakan solusi untuk rakyat namun yang didapat hannyalah solusi yang buntu yang tidak akan mampu menyelesaikan akar masalah. Sebab, yang hanya diupayakan adalah kejar tayang pesanan kapitalis dalam kebijakan penguasa hingga tak dapat dibantah ataupun tak dapat diundur apalagi dengan alasan kesehatan dan keselamatan rakyat.
Namun solusi pintas tersebut dapat dilakakukan dengan menjalankan protokol kesehatan diterapkan secara lebih tegas padahal kita tahu itu bukanlah solusi yang tepat kalau bisa mencegahnya mengapa harus mengobati, secara jelas kita tahu negara tidaklah punya penawarnya.
Sedangkan di dalam Islam yang menjadi tolak ukur dalam bernegara diambil dari Aqidah Islam. Maka keselamatan masyarakatnya tidak akan digadaikan demi tampuk kekuasaan sebab keselamatan satu nyawa sangat berarti dari dunia dan seisinya.
Selaras dengan firman Allah “Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semuanya” (TQS.Al-Maidah : 32).
Oleh karena itu Islam akan menempatkan penjagaan nyawa manusia yang begitu mulia dihadapan Robbnya. Permasalahan diatas juga tidak akan terjadi dalam sistem Islam, sebab kekuasaan bukanlah ajang perebutan namun sebuah kehinaan di hari Kiamat apabila sang pemimpin tak mampu berlaku adil. Maka hanya dengan kembali kepada aturan Allah secara kaffah tidak akan dijumpai seorang pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai segalanya karena ketakutan kepada Allah serta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Alhasil seorang pemimpin akan berusaha sungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya dan tidak akan menjadikan kekuasaan untuk meraih keuntungan.
WalLahu a’lam bi ash-shawab.
Penulis: Suci Hati, S.M. (Aktivis Muslimah Medan)
Editor: H5P