Kontribusi UU OL Ciptaker dalam Konflik Agraria

IMG 20201026 WA0033
Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd. (Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, menyoroti tambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Tambahan ini dikhawatirkan akan memperparah konflik agraria. “Atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum,RUU Cipta Kerja akan memperparah konflik agaria, ketimpangan, perampasan dan penggusuran tanah masyarakat,” kata Dewi saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/8/2020).

Sorotan Dewi ini terkait dengan Pasal 121 RUU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.

Kawasan lain yang belum diatur RUU Cipta Kerja akan ditetapkan dengan peraturan presiden (PP).

Dewi menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, menurut Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah.

Menurut Dewi, argumentasi penambahan kategori kepentingan umum ini merupakan hambatan dan keluhan para investor terkait pengadaan dan pembebasan lahan bagi proyek pembangunan infrastruktur serta kegiatan bisnis. “Lewat RUU Cipta Kerja, pemerintah memperluas definisi kepentingan umum dengan menambahkan kepentingan investor pertambangan, pariwisata, industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) ke dalam kategori kepentingan umum,” ujar Dewi.

Dewi menekankan, pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur atau industri semata. Namun, juga harus diperhitungkan dampak sistemik terkait degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi yang menjadi obyek pengadaan tanah serta masyarakat. “Harus diingat, tanpa RUU Cipta Kerja pun, UU pengadaan tanah secara praktiknya telah mengakibatkan konflik agraria dan penggusuran,” tutur dia.

Lebih lanjut, Dewi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik dan berkeadilan. Sebab, kata Dewi, proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian dijalankan secara tidak transparan dan tidak berkeadilan.

Bahkan, ia mengatakan, tidak sedikit terjadi unsur pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat yang tanahnya menjadi target pembebasan. Selain itu, peran dan kewenangan swasta semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan. “Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan, karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosesnya dititipkan di Pengadilan Negeri sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat,” tutur Dewi. nasional.kompas.com/read/2020/08/12/05050081/kpa-sebut-ruu-cipta-kerja-berpotensi-memperparah-konflik-agraria.

Membahas mengenai konflik agraria, tidak bisa dilepaskan dari persoalan kepemilikan tanah. Dengan undang-undang yang sudah ada saja, konflik agraria masih kerap terjadi. Ditambah lagi sulitnya memiliki tanah di zaman sekarang. Bagi kalangan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, memiliki tanah adalah kemewahan yang tak terjangkau.

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi – termasuk tanah – hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 42 : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19).

Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT dalam surah Al-Hadid ayat 7 : “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” https://mediaumat.news/hukum-pertanahan-menurut-syariah-islam/.

Syariah Islam memberikan 4 (empat) solusi mendasar dalam mengatasi konflik agraria. Pertama : Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat). Dalam hal ini, syariah Islam mengijinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh seseorang, menjadi milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak.” (HR al-Bukhari). “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari). “Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Abu Dawud). Hadits-hadits ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non-Muslim, dan menjadi dalil bagi kebolehan untuk siapa saja yang menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu ijin pemerintah. Alasannya, karena perkara-perkara yang boleh memang tidak memerlukan izin pemerintah. (An-Nabhani, 1990 : 138).

Kedua : Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Rasulullah SAW. Beliau menyatakan : “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama 3 tahun.” Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari 3 tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari 3 tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut.

Ketiga : Kebijakan negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW, sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau. (An-Nabhani, 1990 : 120). Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apa pun (pagar, tanaman, pengelolaan dan lain-lain) sebelumnya. Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimiliki/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang – karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya – diambil alih oleh negara lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Keempat : Kebijakan subsidi negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka. https://www.suarainqilabi.com/mengatasi-sengketa-lahan-tanah-sesuai-syariah-islam/.

Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan konflik agraria. Allah SWT sebagai pemilik tanah yang hakiki telah menurunkan seperangkat aturan yang sempurna dan terjamin keadilannya karena hanya Allah SWT yang Maha Tahu akan kebutuhan manusia ciptaan-Nya. Konflik agraria tidak perlu terjadi seandainya hukum Islam digunakan sedari awal dalam mengatur pertanahan. Konflik agraria nihil terjadi atau peluang untuk terjadi sangat kecil karena masing-masing pihak, yaitu negara, masyarakat dan individu sama-sama mengerti dimana posisinya berdasarkan hukum Islam. Wallahu’alam.

Penulis: Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd. (Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)
Editor: H5P