Gonjang-Ganjing Ganja

Lulu Nugroho (Muslimah penggerak literasi untuk peradaban)
Lulu Nugroho (Muslimah penggerak literasi untuk peradaban)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Dalam beberapa tahun terakhir, percaya kepada Tuhan telah dikaitkan dengan tingkat penyakit jantung, stroke, tekanan darah dan gangguan metabolisme menjadi lebih rendah. Fungsi kekebalan menjadi lebih baik. Infeksi HIV, meningitis dan risiko kanker pun menjadi lebih rendah. (Jo Marchant dalam bukunya yang berjudul ‘Cure’)

Penyelundupan ganja masih saja terjadi di beberapa kota. Sulit memberantas peredarannya. Meski demikian, penguasa beserta instansi terkait terus bersinergi untuk memutus rantai penyebarannya. Seperti kita ketahui, ganja ilegal di negeri ini.

Iklan Pemkot Baubau

Karo Humas & Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Brigjen Sulistyo Pudjo Hartono menyebutkan saat ini pandangan dunia terhadap penggunaan ganja terbagi dua yaitu kelompok negara yang berpandangan ganja sebagai narkotika berbahaya, sementara kelompok lain yang membuka peluang ganja untuk kepentingan medis dan rekreasional. Dan Indonesia berada di posisi tidak menyetujui penggunaan ganja. (Cnbcindonesia, 27/12/2020)

Akan tetapi beberapa waktu sebelumnya, dilansir dari New York Times, Kamis (3/12/2020), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru telah memberikan restu sekaligus merekomendasikan kepada World Health Organization (WHO) untuk meratifikasi ganja sebagai keperluan medis.

Keputusan ini merupakan hasil voting 53 negara yang tergabung dalam Komisi PBB untuk Obat Narkotika, yang berbasis di Wina. Sebanyak 27 negara setuju, 25 lainnya menolak, sedangkan satu negara abstain. Meski demikian para ahli mengatakan bahwa restu tersebut tidak akan berpengaruh, sebab masing-masing negara tetap memiliki yurisdiksi tentang cara mengklasifikasikan ganja.

BNN pun menanggapi bahwa Indonesia menghormati sekaligus menyesalkan keputusan PBB mengubah posisi ganja dan turunannya dari golongan IV, obat-obatan berbahaya seperti halnya mariyuana, heroin dan lainnya, ke golongan I.

Dalam golongan I ganja dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, layanan kesehatan, dan terapi dengan pemberian yang minim menimbulkan ketergantungan. Dalam dunia medis, manfaat ganja sebagai penghilang rasa sakit terutama pada penderita kanker, anti psikotik pada pasien schizophrenia, dan lainnya.

Namun sisi negatifnya pun banyak. Kandungan THC (Tetrahydrocannabinol) pada ganja sangat merusak tubuh, menimbulkan adiksi atau kecanduan, kerusakan otak, bahkan dapat menyebabkan kematian. Sisi bahaya inilah yang menjadikan tarik ulur kebijakan ganja tidak kunjung reda.

Pasalnya perubahan status menjadi golongan I membuat ganja mudah sekali disalahgunakan. Dengan alasan medis, seseorang akan mengonsumsi ganja. Akan tetapi, meskipun untuk tujuan pengobatan, sistem kapitalisme yang mengukur segala aktivitas demi tujuan materi, pun akan menjual pada pasien dengan harga yang tinggi.

Maka kepemimpinan ala kapitalisme jelas berbahaya, sebab hilang nilai-nilai negarawan yang sifatnya mengayomi atau mengurusi rakyat. Begitu pula halnya dengan negara-negara pelaku voting di PBB, kebijakan yang menghasilkan uang akan diputuskan, sekalipun itu membahayakan manusia.

Seperti yang terjadi saat ini, tatkala pandemi merangsek dalam kehidupan umat, bukannya fokus menanggulangi wabah, para pengambil keputusan justru melihat keuntungan di balik ganja. Apalagi terhadap Indonesia yang merupakan pangsa pasar yang besar. Dari seluruh golongan narkotika yang beredar di tanah air, ternyata 65% menggunakan ganja (canabis).

Angka yang fantastis. Karenanya tidak heran jika Indonesia dibidik menjadi pasar ganja. Selain karena ganja mudah tumbuh di Indonesia, jumlah penduduknya yang besar, menjadikannya sasaran empuk pengedar ganja. Harganya yang tinggi membuat pasar yang satu ini, tidak pernah sepi peminat. Bahkan ganja Aceh memiliki keistimewaan dengan kandungan THC mencapai 15-17% diminati, sebab membuat pengguna mudah ‘fly’.

Inilah potret dunia tatkala kapitalisme bersama sekularisme menjadi dasar pemikiran, maka akan menjauhkan manusia dari ketaatan terhadap Allah subhaanahu wa taala. Alhasil manusia tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya sedang diawasi Allah. Keputusan salah bisa saja diambil, sebab hawa nafsu yang menjadi mekanisme kontrol.

“Memakan (mengisap) ganja yang keras ini terhukum haram, ia termasuk seburuk-buruk benda kotor yang diharamkan. Sama saja hukumnya, sedikit atau banyak, tetapi mengisap dalam jumlah banyak dan memabukkan adalah haram menurut kesepakatan kaum Muslim,” jelas Ibnu Taimiyah.

Negara bertanggung jawab melindungi akal dan nyawa rakyat, melalui seperangkat kebijakan dan sanksi yang tegas. Memperhatikan halal haram terhadap segala bahan yang masuk ke dalam tubuh manusia. Sebab ganja bersifat depresan, dapat menekan sistem saraf. Sehingga daya nalar pengguna akan tumpul. Tidak lagi bisa menakar sebuah aktivitas itu baik atau buruk.

Jika sebuah negeri masyarakatnya limbung sebab terganggu mentalnya, maka ia tidak akan mampu membangun negara. Bisa jadi yang terjadi justru sebaliknya, malah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang akan membebani negeri tersebut. Karenanya sanksi yang tegas pun diperlukan. Para fuqaha sepakat pengisap ganja wajib dijatuhi had (hukuman yang pasti bentuk dan bilangannya).

Karenanya kembali pada aturan Allah adalah sebaik-baik sikap seorang hamba. Dengan meletakkan Allah sebagai pemegang kendali, maka kepemimpin dunia bisa fokus memberikan layanan kesehatan yang sebaik-baiknya dan terjangkau. Kemudian mengerahkan ilmuwan negeri sendiri yang melimpah ruah banyaknya, agar siap mendedikasikan keilmuannya demi kemaslahatan umat. Mendorong mereka untuk mencari bahan alternatif, pengganti ganja. Wallahu alam bish showab.

Penulis: Lulu Nugroho (Muslimah penggerak literasi untuk peradaban)
Editor: H5P

Komentar