“Ujug-ujug” Vaksin = Kebijakan yang Prematur

Dhevy Nurliani ( Aktivis Muslimah)
Dhevy Nurliani ( Aktivis Muslimah)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Vaksin covid-19 untuk wilayah Kalimantan Timur sebanyak 25.520 dosis telah tiba di Bandar Udara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan Balikpapan, pada hari Selasa pagi (5/1/2021). Vaksin buatan Sinovac ini selanjutnya dibawa menuju gudang penyimpanan milik Dinkes Provinsi Kaltim. (Balikpapan Post, 6/1/2021).

Sekalipun belum mengantongi izin dari BPPOM namun vaksinasi sudah terjadwalkan. Melansir dari BBC (6/1/2021) Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada media mengungkapkan vaksinasi mulai bergulir Rabu, 13 Januari 2021. Presiden Jokowi dan jajarannya akan menerima vaksin pertama. Setelah itu, vaksinasi dilanjutkan serentak di 34 provinsi Indonesia dengan kelompok prioritas seperti tenaga kesehatan, TNI/Polri, tokoh masyarakat, dan kepala daerah.

Vaksinasi hanya salah satu solusi

Adanya vaksin tentu menjadi harapan tersendiri bagi masyarakat. Harapan untuk mengakhiri pandemi covid-19 setelah sepuluh bulan lamanya dan berdampak luar biasa kepada masyarakat. Namun masyarakat juga harus mendapatkan informasi yang sifatnya edukatif, bukan sekedar perintah semisal “harus vaksin” ataupun pemaksaan semisal “yang gak mau divaksin dapat denda”. Masyarakat harus paham apa itu vaksinasi, bagaimana syarat suatu vaksin yang layak dikonsumsi dan kenapa harus vaksin untuk mengatasi pandemi.

Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan kekebalan (imunitas) terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi sering dipahami sebagai upaya pengobatan yang sifatnya preventif atau pencegahan. Logisnya, vaksinasi tersebut dilakukan kepada orang yang belum terkena virus. Seharusnya, sebelum vaksin langkah yang mesti dilakukan beres dulu 3T nya terutama pada Test dan Tracing termasuk 3M. Saat ini opini vaksin begitu derasnya seakan bila di vaksin masalah selesai padahal dengan karakter Covid, selama yang sakit dengan yang sehat belum jelas selama itu pula Covid akan ada. Vaksin sebagai pelengkap setelah jelas mana yang sakit dan mana yang sehat. Yang sehat dikasih vaksin sehingga kebal tak tertular sedang yang sakit diisolasi dengan treatment supaya sehat. Jadi, vaksin hanyalah salah satu solusi saja.

Terlebih vaksin produk sinovac yang sudah terlanjur dibeli dan di pasok ke seluruh provinsi secara ilmiah belum ada publikasi terkait efektivitas ataupun tingkat keamanannya. Artinya secara ilmiah vaksin produk sinovac belum layak dikonsumsi masyarakat. Bilamana dipaksakan, alih-alih mencegah virus berharap pandemi usai justru memunculkan masalah baru, penyakit baru bahkan korban baru.

EUA sebagai Dalih Vaksinasi

EUA (Emergency Use Authorization) adalah izin penggunaan darurat yang dilakukan oleh badan regulator dalam hal ini di Indonesia yang mengeluarkan EUA adalah BPOM. Hingga saat ini vaksin sinovac belum mengantongi izin penggunaan darurat oleh BPOM. Menariknya seakan dapat ditebak EUA pasti akan dikeluarkan BPOM. Melansir dari Kontan.co.id (8/1/2021) Ketua BPOM Penny Lukito mengatakan “Bisa diperkirakan tanggal 13 (Januari) bisa dilakukan vaksinasi, artinya kami bisa mengeluarkan EUA sebelum tanggal tersebut,” ujar Penny saat media briefing.

Wajar lantas publik bertanya-tanya kenapa “ujug-ujug vaksin”? Benarkah karena alasan vaksin sinovac sudah ada EUA di China maupun di beberapa negara lainnya? Atau ada alasan lain?

Menurut Presiden Direktur PT Panin Asset Management Ridwan Soetedja vaksin diharapkan mampu menekan angka penularan virus Corona, sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan memulihkan iklim investasi di Indonesia. (detiknews, 6/12/2020). Lagi-lagi pemulihan ekonomi dan investasi sejatinya yang menjadi alasan utama dipaksakan vaksinasi. Dalih adanya izin penggunaan darurat hanyalah sebagai alat saja supaya mulus berjalan program vaksinasi tersebut.

Strategi Islam mengatasi Pandemi

Islam sebagai agama yang berasal dari wahyu Allah SWT pasti memberikan solusi yang haq. Di masa Rasulullah SAW pernah terjadi wabah Shirawayh sehingga kaum muslimin punya strategi untuk menangani wabah ataupun pandemi.

Strategi tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Negara akan melakukan karantina atau penguncian di wilayah episentrum wabah sehingga wabah tidak meluas. Tentu strategi ini berbeda dengan karantina atau lockdown maupun PSBB ala kapitalis. Konsep Islam yang menganggap nyawa manusia lebih berharga dari dunia seisinya akan cepat mendeteksi adanya wabah dan menguncinya. Sehingga warga yang tinggal di luar pusat wabah dapat menjalankan aktivitas secara normal tanpa takut tertular.

Kedua, Negara akan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Tes massal dapat dilakukan secara gratis bagi warganya untuk mengetahui siapa yang terinfeksi dan siapa yang sehat. Bagi mereka yang terinfeksi, negara melacak siapa saja yang telah berdekatan dengannya, kemudian mengurus pengobatan mereka hingga sembuh. Artinya 3T akan berjalan optimal tanpa hitung-hitungan soal biaya yang dikeluarkan. Pun 3M tidak sekedar opini tetapi negara hadir memberikan sarana prasarana sehingga berjalan optimal.

Ketiga, Negara akan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya yang ada di daerah wabah tanpa membedakan muslim dengan non muslim maupun orang kaya dan yang miskin. Sehingga rakyat tidak pusing memikirkan kebutuhan hidupnya dan karantina berhasil.

Keempat, Negara menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyat, tanpa menzalimi tenaga medis/instansi kesehatan.

Kelima, Negara mendukung penuh dengan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset terhadap vaksin agar segera dapat ditemukan.

Demikianlah, strategi kebijakan Khilafah sebagai institusi yang akan melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Strategi kebijakan yang lahir dari sumber hukum Islam tentu akan menghadirkan solusi yang haq, bukan kebijakan yang prematur. Insyaallah dengan kebijakan tersebut mampu mengatasi pandemi. Wallahu a’lam bishowab.

Penulis : Dhevy Nurliani ( Aktivis Muslimah)
Editor: H5P

Komentar