Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Papua Membara, Dimanakah Peran Penguasa

1167
×

Papua Membara, Dimanakah Peran Penguasa

Sebarkan artikel ini
Papua Membara, Dimanakah Peran Penguasa
RENI ROSMAWATI MEMBER AKADEMI MENULIS KREATIF


“Tanah Papua Tanah Yang Kaya, Surga Kecil Jatuh Ke Bumi” Cuplikan lirik lagu yang dipopulerkan oleh Edo Kondologit ini bukanlah sekadar lirik lagu. Tentunya ada makna tersirat di dalamnya yang mengekspresikan keindahan alam pesona Indonesia Timur, Tanah Papua.  Melalui alunan nada yang indah, setiap orang yang mendengarnya pasti dapat membayangkan keelokkan ciptaan Tuhan di penghujung Timur tanah air ini.

Namun tak dinyana, Papua kini berubah menjadi lautan darah yang membara dan mencekam. Sebagaimana dilansir dari kompas.com, Senin, 23 September 2019 lalu, di Papua khususnya daerah Wamena, terjadi kerusuhan berdarah yang mengakibatkan berjatuhannya korban jiwa. Kerusuhan bermula dari aksi unjuk rasa siswa. Demonstran bersikap anarkistis hingga membakar rumah warga, kantor pemerintah, PLN, dan beberapa kios masyarakat. Unjuk rasa yang berujung rusuh itu diduga dipicu oleh perkataan bernada rasial seorang guru terhadap siswanya di Wamena. Dari informasi yang berhasil dihimpun, setidaknya ditemukan 33 orang tewas, 224 mobil roda 6 dan 4 hangus, 150 motor, 465 ruko hangus, dan 165 rumah dibakar.

Menanggapi hal ini, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian agar aparat keamanan tidak mengambil tindakan represif dalam menangani aksi unjuk rasa yang berujung rusuh di Wamena dan Jayapura, Papua.  (CNN.Indonesia, 23/09/2019).

Tanggapan berbeda datang dari Ketua Pertimbangan MUI, Prof. Din Syamsuddin. Ia menyampaikan prihatin atas jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Menurutnya, kejadian tersebut tidak terlepas dari peristiwa di Papua sejak beberapa waktu lalu berupa aksi unjuk rasa di Sorong, Manokwari, Jayapura, dan tempat-tempat lain seperti di Ibu Kota Jakarta yang memprotes ketidakadilan dan bahkan menuntut kemerdekaan. Seyogyanya gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi sedari dulu. Tapi, sangat disesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban juga tidak adil. Jika hal ini terus terjadi sambungnya, maka akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. “Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Menurutnya lagi, pemerintah terjebak ke dalam sikap otoriter dan represif yang hanya akan mengundang perlawanan rakyat yang tidak semestinya. Oleh karena itu, ia berpesan kepada semua pihak, khususnya pemangku amanat baik pemerintah maupun wakil rakyat, agar segera menanggulangi keadaan dengan penuh kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab. (Pwmu.co, 28/09/2019).

Sementara itu, dikutip dari Liputan6.com, Indonesia menggunakan hak jawab (rights of reply) di Majelis Umum PBB ke-74/2019. Jawaban itu ditujukan atas pernyataan PM Vanuatu di Sidang Majelis Umum PBB. Sebagaimana diketahui, pada 28 September 2019, Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai Tabismasmas berpidato di hadapan majelis bahwa “para pemimpin dunia harus membantu orang-orang Papua Barat”. Vanuatu juga mendesak agar negara Pasifik besar, khususnya Australia, bertindak secara substansial terhadap isu Papua Barat.

Indonesia melalui delegasinya, menyebut komentar negara Pasifik itu sebagai langkah tak bertanggung jawab berselubung “motif”. Delegasi Indonesia juga menekankan kepada Majelis bahwa Indonesia telah berkomitmen mempromosikan dan melindungi hak seluruh rakyat Indonesia, termasuk orang Papua.

Delegasi Indonesia pun meminta agar semua negara untuk menghormati “kedaulatan dan integritas teritorial” serta mendesak untuk tidak mencampuri persoalan domestik negara lain.

Persoalan demi persoalan tak kunjung habis mendera Papua, konflik Papua tidak bisa dilepaskan dari  peristiwa masa lalu, yakni PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969.

Pepera adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua,  antara milik Belanda atau Indonesia.

Para generasi muda Papua menganggap bahwa pelaksanaan Pepera tahun 1969 adalah ilegal dan merupakan upaya penjajahan Indonesia terhadap Papua yang syarat dengan manipulasi. Karena dalam prosesnya, pelaksanaan Pepera 1969 hanya diwakili oleh  1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan hak suaranya dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara.

Disisi lain, narasi rasisme terus digiring dan memantik api konflik tanah “Papua” yang diciptakan, dikembangkan, dan dipelihara oleh rezim untuk melanggengkan eksploitasi Papua oleh segelintir pemilik modal, dengan memecah belah rakyat. Serta ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah untuk menyelesaikan dan memahami akar masalah sebenarnya, hingga akhirnya memberikan keleluasaan kepada pihak-pihak tertentu untuk memuluskan jalan disintegrasi.

Besarnya kekayaan alam yang ada di Papua, seperti tambang emas dan tembaga Grasberg, galian minyak bumi di Sorong, serta potensi hutan yang membentang luas. Adalah hal menggiurkan bagi para kapitalis imperialis untuk mengeruk kekayaan alam sebesar-besarnya di Papua. Maka tidak heran, menciptakan konflik demi konflik dan mendorong pemisahan diri Papua dari NKRI merupakan strategi klasik yang sengaja diciptakan imperialisme barat. Campur tangan asing yang bermain di Papua melalui isu rasial dan pemisahan Papua dari NKRI, menjadi indikasi lemahnya peran negara dihadapan makar asing.

Pemerintah/negara seharusnya berperan sebagai junnah atau perisai bagi rakyatnya. Melindungi dan menjaga keutuhan wilayahnya. Bukan malah membiarkan, menonton kekejian yang terjadi terlebih ada upaya menyerahkan urusan wilayah dan rakyatnya ke tangan asing.

Untuk menyelesaikan masalah Papua, pemerintah harus tegas memangkas akar masalah utama krisis Papua. Yakni sistem demokrasi kapitalis yang terbukti gagal memberikan peran keadilannya. Sistem  yang ternyata memicu berbagai kerusuhan tak berujung di beberapa wilayah Indonesia tak terkecuali Papua hingga banyak menelan korban jiwa.

Islam menawarkan solusi terbaik penuh solutif. Islam bukan sekedar agama tapi juga ideologi yang memiliki aturan sempurna yang diturunkan Allah SWT, terdapat  seperangkat aturan untuk menyelesaikan  problematika manusia.  Islam selalu mengajarkan persatuan dan kesatuan agar kita tidak mudah dipecah belah oleh pihak manapun termasuk asing. Negara Islam (Khilafah) telah terbukti menyatukan umat manusia di seluruh dunia dengan aqidah Islamiyyah meski beragam macam suku, bangsa dan bahasa yang berbeda, baik muslim maupun non-muslim. Mereka hidup rukun dalam naungan syariat Islam, dari masa Rasul Saw, khulafa ar Rasyidin hingga kekhilafahan berikutnya hampir 14 abad lamanya dalam  satu komando penerap hukum syara.

Persatuan dan kesatuan umat akan dijaga oleh Islam, akses masuknya asing yang berniat menginvasi atau lainnya akan segera dicegah. Makar, bughat dan sejenisnya tak akan diberikan pintu masuk. Jika larangan tersebut dilanggar, maka Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya. Berikut beberapa upaya preventif yang dilakukan Islam untuk menjaga persatuan dan kesatuan;

1) Memantau Kafir Harbi Fi’lan: Mereka adalah warga negara kafir yang terlibat peperangan atau memusuhi kaum muslim,

2) Memantau ahlu ar-Riyab: Mereka ini adalah warga negara Khilafah yang berinteraksi dengan warga negara Kafir Harbi Fi’lan, dan diduga melakukan tindakan yang bisa membahayakan negara, termasuk separatisme.

3) Menutup kedutaan negara-negara Kafir Harbi hukman yang dijadikan untuk memata-matai Khilafah.

4) Menutup kontak, hubungan dan kerja sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini, Khilafah akan menerapkan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri. Inilah beberapa ketentuan Islam yang bersifat preventif terhadap berbagai gerakan separatisme.

Islam juga sangat mewanti-wanti agar seluruh komponen bangsa, khususnya umat Islam untuk selalu waspada terhadap makar dan pihak asing yang ingin memecah belah negeri. Jika terjadi perselisihan maka Islam mengembalikan segala sesuatunya kepada Al-Qur’an dan hadits.

“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Selain itu, Islam juga telah terbukti mensejahterakan rakyatnya, tanpa memandang suku, ras, dan bahasa, semua mendapat perlakuan, keamanan dan perlindungan yang sama. Semua kebutuhan rakyat dijamin oleh negara, karena negara  hadir sebagai perisai dan pelayanan bagi umat. Kekayaan alam dalam Islam juga dikelola oleh negara yang hasilnya didistribusikan untuk memenuhi semua kepentingan rakyat, seperti kesehatan dan pendidikan gratis, harga sembako murah, dsb. Ketika segala kebutuhan hidup rakyat telah dipenuhi negara, maka tidak ada alasan bagi rakyat untuk melakukan bughat atau referendum.

Jadi jelas, solusi keadilan Papua adalah mengenyahkan negara kapitalis global plus cukong-cukongnya dari negeri Papua dengan ketegasan Islam, agar Papua tidak lagi dikendalikan oleh penjajah asing aseng. Selanjutnya adalah menerapkan kebijakan yang benar-benar membawa kekayaan melimpah di Papua menjadi milik rakyat Papua dan didistribusikan secara adil tanpa memandang ras, suku, maupun agama. Hanya Islam yang mampu menyelesaikannya, dengan sederet hukum tegas yang dimiliki oleh Islam, maka akan menuntaskan masalah Papua yang berkepanjangan.

Maka, hanya dengan sistem Islam yang komprehensif hal tersebut mampu dilakukan. Karena Islam selama berabad-abad terbukti berhasil mengatasi segala permasalahan seperti ras, suku bangsa, warna kulit dan agama.

Sehingga tidak ada sebagian masyarakat/daerah yang merasa terzalimi dan bahkan enggan memisahkan diri dari negeri Islam (Dar al Islam). Wallahu ‘alam bi ash-shawwab

RENI ROSMAWATI MEMBER AKADEMI MENULIS KREATIF