Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Sertifikasi Pranikah, Pentingkah?

1422
×

Sertifikasi Pranikah, Pentingkah?

Sebarkan artikel ini
Sertifikasi Pranikah, Pentingkah?
Yuli Ummu Raihan.

Bagi anda yang berencana menikah tahun 2020, maka bersiaplah untuk mengikuti sertifikasi pra nikah. Pasalnya, jika tak lulus sertifikasi tersebut, anda tidak bisa melangsungkan pernikahan.

Pemerintah tengah merancang program sertifikasi pra nikah sebagai salah satu persyaratan menikah.

“Kita usahakan tahun 2020, kata Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 14/11/2019.

Muhadjir menegaskan, program tersebut sebetulnya melanjutkan yang sudah berjalan selama ini. Dimana praktik bimbingan pra nikah dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kemudian, di agama Kristen juga sudah ada bimbingan serupa.

Hanya saja, pihaknya merasa perlu dilakukan revitalisasi. Kedepan tidak hanya bimbingan dalam perspektif agama yang harus diikuti calon mempelai. Juga menyangkut aspek kesehatan. Khususnya kesehatan reproduksi dan janin. Harapannya, dapat mencegah lahirnya anak-anak yang kurang baik kesehatannya seperti stunting.

Kelak program ini akan melibatkan kementrian lain seperti kesehatan. Lantas, bagaimana jika tidak lulus sertifikasi pra nikah? ” Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah,” kata mantan Menteri Pe didikan dan Kebudayaan tersebut, seperti yang dilansir radarbogor.

Menteri Agama Fachrul Razi siap mendukung gagasan tersebut. Menurutnya, untuk menjalani bahtera rumah tangga, kedua mempelai harus dibekali nasihat-nasihat.

Baik yang bersifat keagamaan seperti tata cara membangun rumah tangga, hingga berkaitan dengan kesehatan. Kebijakan ini akan diberlakukan untuk semua agama mulai 2020 dengan durasi kelas tiga bulan.

Secara umum program ini bagus. Tapi pentingkah? Apakah sertifikasi ini dapat mencegah terjadinya konflik dalam rumah tangga, dan sejumlah masalah turunannya?

Menikah dan membangun rumah tangga tidaklah mudah, ini adalah ibadah terlama yang harus dijalani seorang hamba, maka sudah sewajarnya diperlukan ilmu, keterampilan, dan bekal lainnya, yang tidak akan cukup hanya dalam waktu tiga bulan atau dengan selembar sertifikasi.

Salah satu masalah terbesar dalam membangun rumah tangga adalah perceraian. Data BKKBN tahun 2013 menyebut Indonesia menduduki posisi pertama sebagai negara dengan tingkat perceraian tertinggi se Asia Pasifik. Dan semakin kesini angkanya terus meningkat.

Kebanyakan perceraian terjadi pada pasangan nikah usia di bawah 35 tahun. Meski ini bukan patokan karena faktanya usia pernikahan tidak menjamin langgengnya sebuah rumah tangga, ada yg baru hitungan bulan, atau yang sudah puluhan tahun tidak luput dari perceraian. Mungkin inilah yang jadi salah satu pertimbangan pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan ini.

Namun, apakah benar, perceraian hanya disebabkan hal ini? Atau ada sebab lain yang lebih mempengaruhi nya?

Kalau kita mau jujur, sistem hidup yang diterapkanlah saat ini yang menjadi faktor pemicu maraknya kasus perceraian atau masalah rumah tangga di Indonesia bahkan dunia. Jadi tidak cukup hanya dengan pelatihan tiga bulan dan selembar sertifikasi. Perlu edukasi sejak dini kepada para calon pengantin.

Islam adalah ajaran yang sempurna, yang mengatur segala persoalan manusia, termasuk pernikahan. Konsep pendidikan Islam dimulai sejak dini, dan ilmu itu luas tidak hanya  di sekolah tapi paling utama di mulai dari rumah.

Peran orangtua yang mendidik anak dengan menanamkan akidah yang kokoh sejam dini, agar anak paham akan kewajiban, hak dan hakikat penciptaannya di dunia yaitu untuk beribadah.

Ayah dan ibu memberi teladan bagaimana sebagai orang tua yang baik, menghadirkan suasana sakinah, mawadah dan warahmah di rumah.

Namun saat ini beban keluarga semakin berat. Sulitnya hidup dalam sistem kapitalis  memperngaruhi keharmonisan rumah tangga. Konflik suami istri sering terjadi, kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak, dan masalah nafkah.

Serbuan budaya liberal, gaya hidup hedonis, dan lingkungan yang buruk dengan banyaknya sarana dan prasarana yang membangkitkan naluri seksual sehingga mengancam keutuhan keluarga.

Tak hanya kasus perselingkuhan, seks menyimpang bahkan incest marak terjadi di masyarakat. Propaganda feminisme membuat banyak istri menggugat cerai suami lantaran merasa mampu menopang hidup tanpa peran suami.

Perempuan berlomba berkiprah di sektor publik, meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Enggan hamil dan menyusui karena khawatir merusak bentuk tubuhnya, padahal ada pahala melimpah dibalik perannya ini.

Suami sebagai  kepala keluarga juga kehilangan kepimimpinannya karena tidak mampu memberi nafkah yang layak bagi keluarga karena sulitnya mencari kerja.

Anak-anak kekurangan kasih sayang sehingga melampiaskannya dengan asyik  bermain game online, bergaul dengan komunitas yang tidak baik seperti geng motor, tawuran, narkoba bahkan seks bebas.

Ini semua karena saat ini kita tidak menerapkan aturan Islam. Aturan yang mampu mengatasi segala problematika ini. Negara Islam akan berupaya mengedukasi masyarakat agar senantiasa berada dalam ketakwaan. Sebagai benteng diri menghadapi arus budaya dan pemikiran liberal.

Pemerintah juga harus mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, agar faktor ekonomi ini tidak menyulut api perceraian. Pemerintah juga harus membuat aturan tegas agar sistem kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan baik.

Meminimalisir tindakan kriminal, pergaulan bebas, dan masalah dalam rumah tangga. Dalam Islam membangun rumah tangga adalah sebuah ibadah dengan tujuan yang mulia, maka diperlukan pemahaman agar pernikahan bisa berjalan sesuai arahan Islam yaitu mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah sesuai firman Allah dalam Alquran surat Ar-Rum ayat 21.

Pernikahan juga bertujuan menyalurkan naluri, melanjutkan keturunan, menghindari dosa dan mempererat silaturahmi, sarana dakwah dan meraih rido Allah.

Jika tujuan ini dipahami dengan benar, insya Allah tidak perlu lagi ada sertifikasi pra nikah. Islam juga memandang pernikaha sebagai perjanjian yang berat (mitsaqan ghaliza) yaitu dalam Alquran surat An Nisa ayat 21 yang menuntut setiap orang yang terikat didalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya.

Islam juga mengatur ketika terjadi persoalan dalam rumah tangga. Islam memerintahkan suami bergaul dengan baik pada istrinya, mendorong agar senantiasa bersabar dengan keadaan masing-masing karena boleh jadi ada kebaikan yang banyak di dalamnya.

Jika dibutuhkan maka boleh meminta bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik yang terjadi yaitu pihak dari istri dan suami yang di percaya. Agar aib rumah tangga tidak tersebar dan mengurangi resiko pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi ini.

Islam juga mengatur tata cara pergaulan antara pria dan wanita ketika berinteraksi di masyarakat. Jika semua ini dipahami dan diamalkan maka rasanya sertifikasi tidak lagi dibutuhkan. Apalagi kita tau bagaiman rumitnya birokrasi di negeri ini, dan jangan sampai tidak lolosnya calon penganten dalam mendapat sertifikasi ini membuka cela baru untuk bermaksiat.

Ada tiga hal yang harus disegerakan diantaranya adalah menikah, jadi jika pasangan calon sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, dan statusnya urgen segera menikah agar tidak terjerumus dalam bahaya zina maka  sertifikasi ini justru akan menjadi penghalang nanti nya.

Saat ini sertifikasi pra nikah belum begitu penting, ada banyak masalah lain yang jauh lebih urgen untuk diatasi dan dibuat aturannya. Wallahu a’lam.

YULI UMMU RAIHAN