Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

UU Omnibus Law: Masa Depan Produk Halal Kian Suram

613
×

UU Omnibus Law: Masa Depan Produk Halal Kian Suram

Sebarkan artikel ini
Rini Astutik (Pemerhati Sosial)
Rini Astutik (Pemerhati Sosial)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Undang-undang Omnibus Law yang beberapa waktu lalu disahkan oleh DPR Kembali menjadi sorotan. Diantara yang menjadi sorotan adalah terkait dengan sertifikasi produk halal yang digunakan masyarakat. Undang – undang Omnibus Law ini akan membawa dampak perubahan haluan terkait produk halal.

Dilansir oleh (Republika.co.id 12/10/2020) dimana sebelumnya, Indonesia telah memililki UU jaminan produk halal nomor 33 tahun 2014. Dan hal ini yang sama kemudian diatur kembali didalam UU Omnibus Law tepatnya dipasal 35 ayat 2. Dari pasal tersebut berdampak mengubah regulasi penerbitan sertifikasi halal. Aturan pada Undang- Undang tersebut memberikan alternatif sertifikat halal kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) apabila ,Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditetapkan.

Terkait hal itu, anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya. “Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tahu seluk beluk sertifikasi,”`kata Aminudin dalam dialog kepada Pro-3 RRI (14/10/2020 rri.co.id).

Berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal juga dapat dilakukan oleh ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri, pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah. Saat ini baik NU dan Muhamadiyah, bisa membuat sertifikasi halal. Sehingga kata anggota DPR RI Komisi Vll fraksi PAN, M.Ali Taher “UU ini dibuat untuk kemaslahatan orang banyak” (Sindonews.com).

Menurut wakil Presiden Ma’ruf Amin ia mengatakan bahwa pengembangan kawasan industri halal (KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia (Liputan6.com). Sehingga nanti MUI bukanlah satu-satunya lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal. Dan ini merupakan dalih mempermudah UKM dalam memperoleh sertifikasi halal.

Perubahan pola penetapan sertifikasi halal yang tidak lagi melibatkan MUI sebagai pihak sentral yang selama ini menjadi wakil dari otoritas kaum muslimin, memperlihatkan adanya aroma kapitalis yang sangat kental. Sehingga sangat tampak bahwa orientasi UU Omnibus Law tersebut adalah kemudahan investasi. Tentu akan sangat disayangkan orientasi tersebut mengabaikan aspek halal-haram yang bagi kaum muslimin hal tersebut merupakan perkara prinsip.

Bagi seorang muslim, memakai produk halal merupakan kewajiban. Karena hal tersebut telah Allah SWT perintahkan didalam Al Qur’an, tidak dipungkiri kaum muslimin di Indonesia adalah target pasar yang sangat besar,80% lebih penduduknya adalah muslim. Para produsen segala produk industri saling berlomba-lomba untuk dapat menggaet pasar besar tersebut. Dan sertifikasi halal adalah sebuah keharusan yang mereka tempuh.

Padahal halal haramnya suatu makanan sangatlah penting bagi seorang muslim. Bukan sekedar label atau predikat halal saja tetapi ini berkaitan dengan ketakwaan seseorang. Halal haramnya suatu makanan ini berdasarkan dalil atau perintah Allah SWT.

Didalam surah (Al Maidah 5:4) Allah SWT berfirman: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik- baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah( waktu melepasnya ). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya”.

Sebenarnya kesadaran untuk menyediakan produk halal adalah hal yang patut diapresiasi. Akan tetapi kejanggalan justru tampak dari UU Omnibus Law tersebut, diantaranya aspek waktu penetapan yang sempit, dan siapa pihak yang menjadi auditor kehalalan.

Pengkajian kehalalan sebuah produk tidaklah rasional apabila hanya diberikan waktu satu hari kerja. Penetapan sertifikat halal haruslah dikaji secara mendalam. Mulai dari bahan, proses hingga pengemasan oleh pihak yang bisa memahami dan mencermati fakta dan mengerti betul terhadap fiqh maupun ushul fiqh, dalam hal ini MUI adalah pihak yang bisa mewakili kaum muslimin.

Akan tetapi dalam ketetapan UU Omnibus Law peran MUI tak lagi sentral sehingga terkesan dikerdilkan, sebab peran tersebut digantikan oleh organ bentukan pemerintah yaitu (BPJPH). Tentu sudah kerap kali terjadi, organ-organ apapun buatan penyelenggara negara seringkali terjebak oleh kepentingan elite politik, yang mana diakui ataupun tidak, pemegang kendali yang sejati adalah para pengusaha yang ikut berinvestasi di dalam suksesi kepemimpinan politik.

Dari berbagai persoalan yang ada tersebut MUI sebagai lembaga yang saat ini bisa mewakili perkara-perkara mendalam dalam Islam seperti penentuan halal haram seolah kehilangan kesempatan untuk menetapkan dan menerbitkan sertifikat kehalalan suatu produk. Tak ayal bila disebut UU Omnibus Law membuat masa depan peredaran produk halal semakin ambyar dan semakin suram.

Lain hal dalam sistem Islam (khilafah) Islam memiliki pandangan yang khas dan konsisten pada aturan penetapan halal haram. Dan inilah hal urgen yang kita perlukan saat ini, sebab perkara halal haram bukanlah perkara yang main-main bagi seorang muslim. Sehingga Islam sangat menjaga suatu makanan maupun minuman yang akan dikonsumsi oleh umat.

Dalam menjamin kehalalan ini maka Islam akan menyediakan jaminan halal bagi rakyat, karena ini meyangku hajat hidup publik. Penyediaan sertifikat halal akan diberikan secara Cuma-Cuma, karena dibiayai oleh Baitul Mal. Islam juga akan terus mengawasi suatu produk mulai dari bahan, produksi dan pendistribusiannya serta akan mensterilkan produk-produk haram dari pasaran, sehingga tidak ada rasa kekhawatiran umat terhadap produk haram yang beredar. Jika terjadi pelanggaran oleh para pihak industri, pedagang maupun konsumen maka akan diberikan sanksi yang tegas, Islam juga akan membangun kesadaran umat akan produk halal, sehingga umat akan bisa secara langsung mengontrol dan mengawasi kehalalan suatu produk.

Namun semua itu tidak akan mampu diterapkan pada sistem kapitalis, sebab dalam sistem yang ada saat ini sarat dengan kepentingan para kapitalis (pemilik modal besar)sehingga UU yang dibuat pun tidak akan pernah berpihak pada kepentingan rakyat, maka kini sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam dimana segala aturan yang dibuat akan mampu membawa pada perubahan yang hakiki, sebab aturan dan UU nya pun dibuat langsung oleh Allah Al kholik Al muddabir yaitu maha pencipta lagi maha pengatur. Wallahu A’lam Bishshowabh .

Penulis: Rini Astutik (Pemerhati Sosial)
Editor: H5P