tegas.co, JAKARTA – Komisioner Komisi Yudisial, Farid Wajdi mengatakan, tahun ini masih ada aparatur peradilan yang harus berurusan dengan penegak hukum. Menurunnya jumlah hakim yang melakukan pelanggaran dan disidangkan di Majelis Kehormatan Hakim (MKH) pada 2016, dinilai oleh Komisi Yudisial (KY) bukan berarti semakin membaik. Padahal, model sistem peradilan sudah diubah sejak era reformasi untuk meminimalkan perilaku menyimpang aparaturnya.
Juru Bicara KY, Farid Wajdi mengatakan bahwa dalam hal ini memang terjadi penurunan kuantitas kasus etik hakim sejak 3 tahun terakhir. Tahun 2014 sebanyak 13 orang, 2015 sebanyak 6 orang, dan 2016 hanya 3 orang. “Dari bulan Januari sampai dengan September 2016, tercatat ada 28 aparat peradilan yang perkaranya terpublikasi media. Terdiri dari 23 hakim dan lima pejabat pengadilan. Namun kita tidak bisa mengambil simpulan terlalu cepat untuk menyatakan bahwa hakim makin baik perilakunya,” kata Farid selaku Juru Bicara Komisi Yudisial, Jakarta, Jumat, (30/12/16).
Farid pun menambahkan bahwa, dalam catatan Tim Analisis Media Komisi Yudisial, sepanjang tahun 2016 terdapat 28 pejabat pengadilan yang terdiri dari 5 nonhakim dan 23 Hakim yang kasusnya mencuat ke media. Belum lagi kasus hakim yang berkaitan dengan tangkap tangan KPK pada 2015. Sejak Februari 2016 hingga awal September 2016, banyak di antaranya terkait aparat pengadilan khususnya Hakim. Namun hal itu ternyata tidak menjadi pertimbangan MA menindaklanjuti kasus tersebut ke MKH. Begitu pula dengan catatan laporan pengaduan di internal KY tentang dugaan pelanggaran Kode etik Hakim, yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.
“Sehingga penurunan dari jumlah MKH tidak bisa jadi acuan, sekalipun harus diakui, pasca-kenaikan Gaji Hakim melalui PP 94/2012. Modus pelanggaran memang bergeser, dari yang tadinya terang dan kasar, sekarang ini bertransformasi menjadi lebih rapi dan sistemik,” tambahnya.
Ia pun juga menyinggung soal peningkatan kesejahteraan pegawai di lingkungan lembaga peradilan.Pada 2004 lalu, ada kebijakan remunerasi yang diterapkan bagi hakim. Saat itu ada pandangan gaji hakim terlalu kecil. Setelah itu, lanjut dia, ada peningkatan status hakim pada 2009 sebagai pejabat negara. Terakhir, pada 2012, kesejahteraan hakim kembali ditingkatkan sehingga berada di atas rata-rata aparatur sipil negara lainnya.
“Namun fakta kinerja lembaga berdasarkan evaluasi yang dilakukan MA tahun 2008, keberhasilan program dan capaian yang diperoleh MA baru mencapai 30 persen. Kemudian, dari penilaian Organizational Diagnostic Assessment tahun 2009, kinerja lembaga peradilan tetap mendapat sorotan dari berabagai kalangan. “Sorotan itu meliputi informasi proses peradilan yang tertutup, biaya perkara yang tinggi, masih sulitnya akses masyarakat miskin dan terpinggirkan, serta proses penyelesaian perkara yang dirasakan masih sangat lama,” tandasnya.
RUL / MAN