Example floating
Example floating
Opini

Idul Adha Mendekat, Harga Daging Terus Meroket

×

Idul Adha Mendekat, Harga Daging Terus Meroket

Sebarkan artikel ini
Idul Adha Mendekat, Harga Daging Terus Meroket
RISNAWATI

Menjelang Idul Adha pertengahan Agustus, harga sapi timbang hidup mulai naik. Penyebabnya, permintaan daging sapi juga meningkat. Tapi, pasca-Idul Fitri pada awal Juni lalu, harga sapi timbang hidup memang tidak pernah turun lagi.

Ketua Paguyuban Pedagang Sapi dan Daging Segar (PPSDS) Jatim Muthowif mengatakan, setelah Lebaran, harga sapi timbang hidup mencapai Rp 47.000 per kilogram. Selanjutnya, harga naik terus. ”Sekarang harganya mencapai Rp 51.000 per kilogram,” katanya seperti dikutip Jawa Pos, Jumat (12/7).

Iklan KPU Sultra

Jika dihitung, kenaikan per kilogramnya memang tidak banyak. Tapi, jika berat satu sapi 1 kuintal, kenaikan harga itu akan menjadi sangat terasa.

Fenomena itu membuat para pedagang sapi bergerak cepat. ”Pedagang sudah turun ke pasar. Mereka mencari sapi kualitas terbaik,” jelas Muthowif. Sapi-sapi kualitas terbaik tersebut akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan Idul Adha. Sedangkan kualitas di bawahnya akan dijual di pasar reguler sebagai daging potong.

Karena harga sapi timbang hidup naik, harga daging di pasar juga akan terimbas. Namun, sejauh ini harga daging sapi di pasar-pasar tradisional Jatim masih aman. Data Siskaperbapo milik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim menunjukkan bahwa harga rata-rata daging sapi sampai kemarin masih Rp 108.461 per kilogram. Dua hari sebelumnya harga sempat mencapai Rp 109.305 per kilogram.

Dalam kesempatan itu, Muthowif meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan tata niaga sapi.  Terutama aturan untuk sapi yang dikirim ke luar provinsi. Sebab, ada banyak pembeli dari luar daerah yang tidak mengantongi surat izin saat bertransaksi. ”Itu akan berpengaruh pada retribusi daerah. Bahkan, untuk membeli satu ekor saja, konsumen dari luar daerah perlu surat izin,” ungkapnya. SUMBER JawaPos.com –

Menelaah Akar Masalahnya

Pemerintah Indonesia kini disibukkan dengan fenomena meroketnya harga daging sapi. Sebetulnya harga daging sapi sudah meroket semenjak lebaran lalu, namun hingga kini harganya tidak kunjung normal, malah kembali naik hingga 130ribu/kg. Ini dikarenakan kurangnya stok daging di Rumah Potong Hewan (RPH). Dan ternyata, bukan hanya daging sapi saja yang harganya naik, harga bahan pokok lainnya mulai naik. Hal ini karena banyak daerah yang mengalami gagal panen akibat kekeringan.

Meroketnya harga bahan pangan bukanlah kali pertama. Namun, sepertinya pemerintah belum siap mengantisipasi fenomena ini. Sehingga hal ini terus berulang terjadi. Penyebab meroketnya harga diantara lain, karena kurangnya stok pangan, terjadi kekeringan, serangan hama, distribusi yang tidak merata, sampai terjadinya penimbunan barang. Disaat orang sedang pusing memikirkan solusi bagi permasalahan ini, ternyata Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia sudah memiliki solusinya.

Mengingat daging sapi adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Hampir semua lapisan masyarakat membutuhkan bahan pangan tersebut, baik untuk dikonsumsi sendiri atau pun dijual dalam bentuk olahan. Namun, para mafia telah leluasa bisa memainkan harga daging di pasaran dan merusak mekanisme pasar yang ada. Akibatnya, harga daging bisa menembus angka setinggi mungkin sesuai yang mereka atur Melihat hal tersebut, pemerintah mengadakan operasi pasar. Namun upaya yang dilakukan belum kunjung menurunkan harga daging di pasaran. Harga daging tetap tinggi dan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat.

Jika dilihat lebih jauh, wajar jika upaya pemerintah sia-sia. Pemerintah ingin menyelesaikan masalah, tetapi solusi yang dilakukan tidaklah tepat. Pemerintah ingin mewujudkan swasembada daging, menguatkan peternak lokal dengan membatasi sementara impor daging. Tetapi pemerintah tidak mengatasi terlebih dahulu mafia impor yang memainkan harga untuk mendesak dibukanya kran impor. Mafia impor melakukan berbagai cara licik dengan cara yang sistematis dan teratur. Misalnya, dengan cara membeli sapi dengan harga rendah, memotong sapi yang bunting dan lain sebagainya. Intinya mereka menciptakan situasi yang seolah-olah makin kritis, dan kemudian “mendesak” Kemendag, melakukan impor. Akhirnya, para mafia telah leluasa bisa memainkan harga daging di pasaran dan merusak mekanisme pasar yang ada. Akibatnya, harga daging bisa menembus angka setinggi mungkin sesuai yang mereka atur. Mereka dengan mudahnya memainkan pasokan dan distribusi. Ini semua terjadi karena mereka telah  menguasai rantai bisnis daging dari hulu sampai hilir.

Sekali lagi terbukti bahwa sistem kapitalisme gagal mensejahterakan rakyatnya. Negara terlihat lambat dalam mengatasi permasalahan ini. Semua kebijakan ini sesungguhnya lahir dari sistem demokrasi kapitalisme yang sarat dengan kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan dalam melahirkan aturan. Dalam sistem ini, aspek manfaat dan keuntungan menjadi prioritas, sehingga mengesampingkan hak dan keadilan bagi umat. Maka, jika ingin kembali menormalkan harga pangan, maka operasi pasar saja tidak akan cukup, tetapi pemerintah harus memberantas juga mafia impor yang menjadi dalang dalam merekayasa kenaikan harga tersebut, sekaligus merubah secara total pengaturan mekanisme pasar yang ada.

Islam Mengatur Distribusi Pangan

Ketika harga barang naik, orang berpikir sederhana, agar tidak naik, maka pemerintah harus turun tangan, mematok harga. Pandangan ini sepintas benar, meski faktanya tidak. Dengan mematok harga, memang harga bisa stabil pada waktu tertentu, tetapi cara ini justru menyebabkan terjadinya inflasi. Karena, diakui atau tidak, pematokan harga ini mengurangi daya beli mata uang. Karena itu, Islam mengharamkan negara untuk mematok harga. Harga, justru oleh Islam dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, supplay and demand. Ketika zaman Nabi, saat harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi SAW meminta agar harga-harga tersebut dipatok, supaya bisa terjangkau. Tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda, “Allah-lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.” (HR Ahmad dari Anas). Dengan begitu, Nabi tidak mau mematok harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme supplay and demand di pasar.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi hidup memiliki seperangkat aturan yang begitu lengkap. Aturan ini berasal dari Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur kehidupan. Aturan ini termasuk di dalamnya adalah mengenai pengaturan distribusi bahan pangan. Bahan pangan adalah salah satu kebutuhan mendasar masyarakat dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Islam memiliki aturan yang efektif dalam mengatasi masalah yang akan mengganggu kestabilan harga bahan pangan, dalam hal ini daging sapi.

Dalam Islam, distribusi menjadi salah satu bagian yang penting. Sementara dalam Kapitalisme, produksi yang menjadi titik pentingnya. Sayangnya, semua ini hanya bisa dilakukan jika Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan, bukan hanya menerapkan Islam dalam ranah ekonomi saja. Karena ia berkaitan erat dengan kebijakan politik, yaitu politik ekonomi Islam, juga dengan sistem hukum dan sistem lainnya. Terdapat perbedaan kacamata dalam memandang masalah ekonomi dalam sistem Islam dan Kapitalisme, dimana distribusi menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam sistem ekonomi islam. Sementara kapitalisme lebih menitikberatkan pada produksi. Dari perbedaan ini, maka akan lahir perbedaan kebijakan dalam politik ekonominya. Jadi, jika kita benar-benar menginginkan permasalahan seputar meroketnya harga pangan ini selesai dengan sistem yang diturunkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, sudah seharusnya kita meminta penerapan Islam sebagai sistem kehidupan, bukan yang lain.

Solusi tuntas untuk menyelesaikan meroketnya harga pangan adalah penerapan sistem ekonomi Islam. Islam mengatur tentang mekanisme pasar, salah satu penyebab kenaikan harga adalah penimbunan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, sehingga harga pangan melonjak. Islam melarang praktek penimbunan.

Mekanisme pasar akan melarang dan menghilangkan semua distorsi pasar seperti penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar; meminimalkan informasi asimetris dengan menyediakan dan meng-up-date informasi tentang pasar, stok, perkembangan harga, dsb; pelaksanaan fungsi qadhi hisbah (hakim ketertiban publik) secara aktif dan efektif dalam memonitor transaksi di pasar; dan sebagainya. (Yahya Abdurrahman, Takrifat: Tas’îr, Jurnal Al-Wa’ie, 2012).

Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak. Sebagaimana Rasul bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, 19426; Al-Hakim, 2128; Al-Baihaqi, 16875). Adanya asosiasi importir, pedagang, dan yang semisalnya, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang. (Abu Muhtadi, mediaumat.com, 7/10/2013).

Alhasil, solusi diatas akan berjalan ketika diterapkan dalam bentuk kebijakan negara dan dijalankan dalam sistem pemerintahan islam di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

RISNAWATI

Example 120x600
error: Jangan copy kerjamu bos