Example floating
Example floating
Opini

Demokrasi Semu Menuai Perubahan Palsu

1036
×

Demokrasi Semu Menuai Perubahan Palsu

Sebarkan artikel ini
Demokrasi Semu Menuai Perubahan Palsu
Fadhilla Lestari.

Jakarta, Gatra.com- Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama, Ahmad Umar menuturkan, di tahun ajaran baru 2020, tidak akan ada lagi materi perang di mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Baik untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau pun di Madrasah Aliyah (MA).

“Kita akan hapuskan materi tentang perang-perang di pelajaran SKI tahun depan. Untuk semua madrasah, mulai dari MI samapai MTS,” kata Umar saat ditemui di kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Jumat (13/9). Alih-alih tentang perang, nantinya sebagai pengganti akan dimasukkan materi tentang masa-masa kejayaan Islam. Baik itu kejayaan Islam di Indonesia atau Islam di dunia.

Menurut Umar, hal itu dilakukan agar Islam tidak lagi dianggap sebagai agama yang radikal, atau agama yang selalu saja dikaitkan dengan perang oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, Dirjen Pendidikan Islam pun juga ingin mengajarkan pada para siswa, bahwa Islam pernah sangat berjaya di masa lalu.

“Kami ingin menghapuskan pandangan-pandangan orang yang selalu saja mengaitkan Islam itu dengan perang. Selain itu, kita juga ingin mendidik anak-anak kita sebagai orang-orang yang punya toleransi tinggi kepada penganut agama-agama lainnya,” ujar dia.

Lebih lanjut, Umar menjelaskan, saat ini buku-buku SKI dengan materi baru tersebut sudah selesai melalui tahapan pembahasan dan siap diproduksi akhir tahun ini. Setelahnya, baru akan diuji layakkan pada publik. Hingga akhirnya siap digunakan di tahun ajaran baru 2020.

Menakar Ulang Makna Perang

Berdasarkan fakta empiris di lapangan yang kita dapatkan, maka secara sederhana dan umum, perang memiliki dua jenis.

Pertama adalah bersifat efektif dan yang kedua adalah defensif. Dengan demikian, untuk memahami perang atau pertumpahan darah bernilai destruktif atau tidak, sangat tergantung pada dimensi karakter konflik atau perangnya, apakah bersifat menindas ataukah mengangkat hak, harkat, derajat dan martabat kemanusiaan seperti jejak sang sejarah jihad Rasulullah.

Artinya, sebenarnya munculnya pemahaman seputar perang atau konflik yang bergendre destruktif oleh kelompok manusia yang haus sumber daya terhadap manusia (individu ataukelompok) yang lain.

Berbeda halnya dengan perilaku mempertahankan diri dari penindasan atau mempertahankan hak hak sebuah komunitas atau kelompok yang merupakan hak kemanusiaannya.

Dengan demikian, maka kita sangat mengkritik keras mereka yang memiliki pemahaman bahwa perang atau konflik dari semua dimensinya adalah destruktif seperti pemahanam sebagian besar kaum  liberal serta bagi mereka yang memiliki pemahaman bahwa perang dengan segala  di mensinya adalah  sebuah keharusan dan bersifat konstruktif seperti kaum marxis dan Darwinis.

Berawal dari rencana pemerintah yang ingin menghapuskan pelajaran SKI sebagai solusi pencegahan agama radikal atau agama yang ada kaitannya dengan perang oleh masyarakat indonesia.

Namun di tengah kekrisisan moral pelajar akibat pertarungan pemikiran ala barat maka pro dan kontra mengenai kebijakan tersebutpun kemudian menjadi euforia wacana dan laku bagi hampir senatero penduduk indonesia mulai dari masyarakat awam, dunia kampus, pejabat, sekolah agama hingga kementrian agama.

Isu penghapusan mapel tentang perang-perang di pelajaran SKI ini kemudian menjadi sentral isu yang menunggangi paham-paham radikal yang memang sangat bekaitan dengan  penyakit kawanan pejabat publik yang akhir-akhir ini sedang mendapatkan perhatian serius segala lapisan masyarakat.

Terkait dengan munculnya isu penghapusan mapel SKI yang mengikuti isu deradikalisasi di belakangnya setidaknya memberikan afirmasi kepada masyarakat mengenai masih eksisnya permainan pengalihan isu politik yang meski dalam tataran faktual pelaku teror di republik ini tetap tumbuh subur di bawah naungan kapitalis atas sekularisme dan pemeliharaan pihak-pihak yang pada dasarnya punya andil dalam setiap kebijakan pemerintah.

Pemerintah yang ada telah gagal mewujudkan visi reformasi yang pernah di bayar oleh pikiran, keringat, darah dan air mata kaum pelajar dan kaum intelektual (mahasiswa) secara khusus dan masyarakat luas secara umum serta visi proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yang subtansinya adalah melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan serta dalam perdamaian dunia.

Dan salah satu kegagalan visi di atas adalah mengenai pengajaran moral serta kesantunan, kenaikan harga komite, tingginya angka pengangguran bahkan tingginya harga SPP, komite yang setiap tahundan langgengnya isu radikalisme yang membajak kedaulatan rakyat indonesia (meskipun logika pembalikan menegaskan bahwa yang di teror itu adalah sistem kapitalisme sekaligus penguasa diktator.

Persfektif sistemik mengandung pengertian bahwa fenomena tersebut merupakan bagian dari sistem gagal. Kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanah UUD adalah produk dari sistem yang tidak siap dengan agenda reformasi. sudah dilakukannya purifikasi sebanyak 4 kali UUD sebagai salah satu agenda reformasi, bahkan lembaga-lembaga itu sudah bekerja, berfungsi dan di fungsikan secara optimal dan benar.

Artinya, apakah lembaga pendidikan, budayah, ekonomi, politik dan hukum sudah bekerja sebagaimana mestinya? Mengapa  masih ada tindakan terorisme, kenaikan SPP, Komite, pengangguran yang masih menjadi pemandangan sehari hari, dan bahkan minusnya akhlak pelajar akibat pergaulan bebas yang di bebaskan.

Olehnya itu, sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa manusia senantiasa mengembangkan pola pikir sebagai penuntun dalam tingkah laku jasmaninya, entah itu akan bermakna bebas nilai atau sarat nilai, baik maupun buruk, dan etis atau tidak etis. Tepat rasanya jika kemudian muncul ungkapan beberapa kalangan bahwa”Reformasi tengah mati suri”. Reformasi tinggal coretan pena sang sejarah.


Sebab Perang Dalam Islam

Sejarah mencatat banyak peperangan yang dilakoni oleh kaum muslimin, para orientalis memancing di air keruh, mencari celah untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin. Sayangnya, respon umat Islam sangat lemah, terutama dari kalangan pemuda. Mereka dengan mudah menelan informasi tersebut, tidak kritis, dan malas belajar agama dan mengkaji sejarah.

Akhirnya, para pemuda Islam hari ini terpengaruh dan terbawa arus. Mereka jadi kecewa dengan pendahulu-pendahulu mereka. Malu terhadap sejarah perjalanan agama mereka. Hingga akhirnya mereka meninggalkan agama. Tidak sedikit yang berdiri bersebrangan dan mengkampanyekan anti Islam dan syariatnya.

Perdamaian adalah asas dari ajaran Islam. Rasulullah mengajarkan para sahabatnya agar tidak mengandai-andaikan peperangan dan permusuhan. Beliau mengajarkan agar para sahabatnya memohon perdamaian dan keselataman.

Sebagaimana sabdanya, “Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742).

Realitanya peperangan adalah keniscayaan. Fitrah manusia cinta kedamaian, namun faktanya mereka selalu berselisih dan bermusuhan. Karena itu, untuk menghadapi realita ini beliau tekankan, bila terjadi peperangan, bersabarlah, hadapi, dan jangan lari sebagai seorang pengecut.

Sebab islam memerintahkan perang solusi perdamaian dan berupaya menghindari peperangan dan pertumpahan darah.  Izin berperang barulah muncul di saat umat Islam memang dihadapkan pada kondisi tempur. Dalam kondisi ini umat Islam harus membela diri dan agama mereka.

Allah SWT berfirman: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…” (QS:Al-Hajj : 39-40).

Dari Imam al-Qurthubi Dari penjelasannya, kita dapat memahami dan menyadari asas dari agama Islam adalah kedamaian dan menempuh jalan-jalan untuk damai. Seperti membalas sikap buruk dengan tidak melayani, memaafkan, bahkan membalas dengan yang lebih baik.

Lalu mengapa Islam mengjarkan berperang? Karena memang kondisi menuntut berperang. Karena saat itu perang menjadi solusi. Sebagaimana dokter mengambil langkah operasi atau amputasi, karena saat itu operasi dan amputasi menjadi solusi. Jika tidak, maka dokter hanya menyarankan pasiennya istirahat atau minum obat.

Setelah perintah perang turun, nilai-nilai mulia pun tetap diperhatikan. Ada normanya: (jangan kamu melampaui batas), (Allah benci orang-orang yang melampaui batas). Allah SWT tidak menyukai permusuhan, walaupun terhadap non muslim.

Inilah ajaran kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, penyebab perang dalam Islam sangat jelas. Karena orang-orang non Islam yang terlebih dahulu memerangi kaum muslimin. Hal ini juga yang terjadi pada peperangan-perangan di zaman Khulafaur Rasyidin.

Penaklukkan-penaklukkan umat Islam di berbagai wilayah dilatar-belakangi oleh tindakan ofensif orang-orang non Islam. Umat Islam tidak memerangi orang-orang yang tidak memerangi mereka.Wallahu a’lam.

FADHILLA LESTARI