Example floating
Example floating
Opini

Kenaikan Premi BPJS, Bukti Demokrasi Zalim

1163
×

Kenaikan Premi BPJS, Bukti Demokrasi Zalim

Sebarkan artikel ini
Kenaikan Premi BPJS, Bukti Demokrasi Zalim
Wa Ode Asnalita.

Pemerintah akhirnya memberikan lampu hijau untuk menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan. Kenaikan premi BPJS Kesehatan tersebut diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019 (nasional.kompas.com, 3/11/2019).

Penyesuaian itu menyebabkan kenaikan iuran BPJS atau JKN hingga 100 persen. Di beberapa kategori kenaikan mulai berlaku per 1 Agustus 2019 sementara peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik per 1 Januari 2020. (liputan6.com, 31/10/2019)

Adapun besaran iuran  yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumya Rp 51.000. Sementara itu, pemegang premi  kelas 3 harus membayar dari Rp 25.500 menjadi 42.000 (money.kompas.com, 2/11/2019).

Kenaikan “panic” seratus persen semua kelas ini cukup mengejutkan dan memberatkan. Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri. Pemerintah seperti sudah kehabisan cara dalam mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan  yang saban tahun terus meningkat.

Sejak dibentuk pada 2014, BPJS kesehatan sudah mengalami defisit mencapai Rp 3,3 triliun. Defisit berlanjut pada 2015 menjadi Rp 5,7 triliun dan semakin membengkak menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016. Sementara pada 2017, defisit mengalami sedikit kenaikan menyentuh Rp  9,75 triliun. Sampai akhir tahun lalu, sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,1 triliun.

Hingga akhir tahun 2019, dikutip dari cnbcindonesia.com (8/10/2019), defisit BPJS kesehatan diproyeksi akan menembus angka Rp 32 triliun. Dan defisit BPJS Kesehatan akan membengkak hingga Rp 77 triliun pada 2024 jika tidak ada penyesuaian besaran iuran peserta.

BPJS Naik 100%, Cermin Pelayanan Kesehatan Demokrasi “Kusam”

BPJS hadir tak seindah harapan rakyat. Alih-alih program BPJS ini yang diklaim sebagai jaminan kesehatan bagi rakyat terlihatbegitu memaksa dan memalak. Dari estimasi kenaikan iuran BPJS tersebut di atas alhasil menjadi pemalakan semakin kaffah mencekik dan menambah beban rakyat.

Bila ditelaah secara mendalam, dari awal kehadiran sistem BPJS berlandaskan pada pandangan batil, yaitu semua bermuara pada bisnis dan rakyat dijadikan korban dari rakusnya para kapitalis. Hal ini mencerminkan tentang buruknya pengelolaan pelayanan kesehatan dalam sistem sekuler demokrasi.

Negara, entitas yang semestinya berada di garda terdepan dalam memenuhi hak mendasar rakyat berupa kesehatan pun dikomersialisasi. Fatalnya sistem Negara korporasi ini dibenarkan atas nama perundang-undangan pada Negara demokrasi.

Terlihat dengan jelas bahwa rakyat dijadikan obyek bisnis oleh BPJS. Dikumpulkan dana secara sistemik, tampak pada keharusan tiap orang membayar premi tiap bulan dengan berrbagai ketentuan yang tidak mudah, kemudian dibelanjakan dengan ketentuan yang dibuat para capital bukan berlandaskan kebutuhan  individu warga masyarakat.

Hal yang sangat wajar dalam logika sistem sekuler kapitalis karena semua bergerak dan bermuara sesuai dengan tender capital.

Tentu saja sudah bisa ditebak yang terjadi kemudian yaitu banyak ketimpangan perolehan fasilitas kesehatan. Karena semua bergerak dan bermuara berdasarkan capital atau uang, dan masyarakat kembali menjadi korban spekulasi. Adapun sejumlah orang yang merasakan manfaat dari BPJS Kesehatan, jelas tidak dapat menegasikan fakta buruk ini. Bahkan itu hanyalah manfaat semu

Sejatinya, munculnya layanan kesehatan berrbasis social seperti BPJS kesehatan adalah konsep pelayanan kesehatan yang berkiblat pada Barat. BPJS merupakan salah satu model asuransi kesehatan wajib bagi semua yang “dipaksakan” Barat melalui sejumlah lembaga multilateral seperti WHO.

Alhasil, kehadiran BPJS hanyalah kedok lepas tangan Negara terhadap pelayanan kesehatan warganyanya. BPJS sebagai model pengalihan  tanggung  jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pemerintah kepada institusi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan social.

Ini adalah konsekuensi bagi Negara yang masuk dalam jebakan neoliberalisme dan neoimperialisme. Hal ini karena telah dimasukkannya layanan kesehatan sebagai salah satu layanan dasar yang termaktub dalam kesepakatan perdagangan neoliberalisme.

Neoliberalisme memandang model tata kelola yang menghendaki peran pemerintah harus dibatasi sebagai regulator (pembuat aturan dan UU sebagai paying hukum) dan fasilitator (penyedia fasilitas, sarana dan prasarana yang dibutuhkan).

Pengurangan peran Negara di bidang ekonomi sebab Negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu. Paham ini merupakan agenda neoimperialisme barat, yaitu bentuk penjajahan tanpa kekuatan fisik melainkan cukup dengan mengkondisikan aturan-aturan di negeri yang dijajah.

Dari sini dapat dilihat bahwa BPJS kesehatan adalah produk dari liberalisasi ekonomi dalam aspek kesehatan yang tidak lepas dari campur tangan kaum kapitalis, bahkan kapitalis asing.

Pelayanan Kesehatan dalam Islam

Perlu untuk diketahui pula, BPJS dalam kacamata Islam merupakan sejenis asuransi yang didalamnya dengan unsur atau akad-akad batil sehingga BPJS kesehatan haram sebab tidak sesuai dengan syariat Islam.

Di dalam Islam, kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan mendasar yang menjadi tanggungjawab Negara. Mulai dari kualias pelayanan dan penyebarluasan sarana merupakan kewajiban bagi Negara untuk mengadakannya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi Shalalahu’alaihi wassalam (sebagai kepala negara) mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Nabi Shalalahu’alaihi wassalam pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir. Nabi lalu menjadikannya itu sebagai dokter umum bagi masyarakat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baytul Mal di dekat Quba’ dan diperbolehkan minum air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam dan berlakukan untuk semua rakyatnya. (www.mediaumat.com).

Dari penjelasan di atas merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan disediakan oleh negara. Jaminan kesehatan dalam Islam tersebut memiliki 3 ciri khas.

Pertama, berlaku umum tanpa diskrimainasi, dalam arti tidak ada pembagian dan pembedaan kelas dalam pemberian layanan kepada rakyat.

Kedua, gratis tanpa memungut iuran sedikit pun, rakyat tidak boleh dipungut biaya apapun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Ketiga, tempat pelayanan kesehatan merta dan mudah dijangkau seluruh rakyat.

Tentu saja untuk mewujudkan pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis ini memiliki dana yang cukup besar. Oleh karenanya, Islam meiliki pos pendapatan sendiri yang ditentukan oleh syariah. Salah satunya dari hasil pengelolaan SDA yang dimiliki.

Dalam pandangan Islam kekayaan alam berupa tambang adalah harta kekayaan milik umum (publik) yang tidak bisa diprivatisasi (dimiliki atau dikuasai) oleh individu, swasta apalagi swasta asing. Hal ini didasari pada hadist Nabi Shalalahu’alaihi wassalam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad, bahwa :

Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api

Dari dalil ini menjelaskan bahwa Padang Rumput, Air, dan Api merupakan milik umat yang tidak bisa diberikan kepada individu maupun kelompok, maka manfaatnya harus dinikmati oleh semua rakyat. 

Api yang dimaksud dalam hadist di atas adalah kategori kekayaan tambang yaitu tambang berupa batu bara yang menghasilkan energi, dan sifatnya berlaku untuk semua jenis tambang. Dalam mekanisme pengelolaan kekayaan alam berupa tambang menjadi tanggung jawab negara. 

Negara hanya memiliki kewajiban mengelola kekayaan tambang dan hasil nya didistribusikan kepada rakyat secara merata. Belum lagi sumber pendapatan lainnya yang dimilki oleh pos pendapatan Negara yang lain, diantaranya adalah kharaj, jizyah, ghanimah, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. 

Sehingga dengan sumber pendapatan ini maka Negara secara mandiri mampu menjamin semua kebutuhan dasar rakyat termasuk kebutuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan. Hal itu terjadi karena negara menjalankan pemerintahan berlandaskan syariah Islam secara Kaffah. Wallahu ‘alam bish showab.

WA ODE ASNALITA