Example floating
Example floating
Opini

Guru Honorer Bergaji Minus, Staf Khusus Bergaji Fantastis

1147
×

Guru Honorer Bergaji Minus, Staf Khusus Bergaji Fantastis

Sebarkan artikel ini
Guru Honorer Bergaji Minus, Staf Khusus Bergaji Fantastis
Risnawati.

Negeri ini baru saja memperingati Hari Guru Nasional, yang di peringati setiap tanggal 25 November. Namun, setiap tahunnya nasib guru honorer makin memprihatinkan. Sungguh, negeri ini sudah masuk pada darurat pendidikan.

Di tengah tingginya jumlah guru honorer yang terus berharap mendapatkan pengakuan sebagai ASN, pemerintah masih belum berhasil menjadikan para guru bebas dari beban-beban persoalannya. Mereka tidak saja harus berjibaku menghadapi sulitnya kehidupan ekonomi karena minimnya honor.

Seperti dilansir dalam JAKARTA, (IslamToday ID)Nasib guru honorer kembali menjadi perbincangan hangat bertepatan dengan Hari Guru Nasional 25 November 2019. Seperti diketahui selama ini kesejahteraan guru honorer masih sangat minim karena hanya digaji Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per bulan.

Mantan Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Didi Suprijadi mengatakan, saat ini yang harus diperjuangkan PGRI adalah soal kesejahteraan guru honorer.

“Saya menyoroti rencana pemerintah dengan program kartu prakerja sebagai pembanding, lalu dihubungkan dengan guru honorer,” kata Didi dalam pesan elektroniknya, Senin (25/11/2019).

Guru honorer adalah orang yang bekerja mengajar di sekolah negeri, minimal sudah mengajar satu tahun dengan honor Rp 300.000-500.000 per bulan. Honor ini dibayar setiap tiga bulan, anggarannya dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Untuk menjadi guru profesional disyaratkan agar guru memiliki sertifikat pendidik. Fakta di lapangan hampir seluruh guru honorer belum bersertifikat pendidik. Salah satu kendala guru honorer belum bisa mengikuti sertifikasi pendidik selama ini adalah peraturan yang menyebutkan harus tenaga pendidik tetap yang diangkat yayasan untuk sekolah swasta atau diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk sekolah negeri.

Didi membeberkan, ada perubahan peraturan dalam pelaksanaan sertifikasi, yaitu dalam Lampiran Surat Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 4184/B4/GT/2018 Tanggal 15 Februari 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Calon Peserta PPG dalam Jabatan.

Di surat itu disebutkan untuk guru bukan PNS di sekolah negeri (guru honorer) dibuktikan dengan SK Pengangkatan dari Kepala Daerah atau Kepala Dinas Pendidikan lima tahun terakhir (mulai tahun 2014 sampai dengan 2018). “Fakta di lapangan kepala daerah atau kepala Dinas Pendidikan jarang yang berkenan memberikan SK,” ujarnya.

Sebaliknya, ditengah ketridaksejahteraan para guru honorer ini, kondisi berbeda terhadap keberadaan staf khusus Presiden dan Wakilnya yang bergaji fantastis. Dilansir dalam Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menunjuk 14 orang sebagai staf khusus yang akan membantunya lima tahun ke depan. Adapun 7 staf khusus itu di antaranya berasal dari kalangan milenial.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 144 Tahun 2015, besaran gaji staf khusus Presiden yaitu sebesar Rp 51 juta. Bukan hanya itu, staf khusus juga diperbolehkan memiliki paling banyak lima asisten untuk mendukung kelancaran tugas mereka. Asisten yang dimaksud terdiri dari paling banyak dua pembantu asisten.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 17 tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden.

“Staf Khusus Presiden melaksanakan tugas tertentu yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya,” bunyi Pasal 18 ayat (1) perpres itu.

Baik aturan gaji Rp 51 juta dan lima asisten juga berlaku untuk tujuh staf khusus Jokowi yang berasal dari kalangan milenial. Meskipun, mereka nantinya tidak akan bekerja secara full time atau sehari penuh dan tak diharuskan datang ke Istana setiap hari.

Sebelumnya, Jokowi menyebut tujuh staf khusus dari kalangan milenial akan melakukan kerja bersama dalam membuat program serta terobosan baru dalam menyelesaikan masalah. Menurut dia, tujuh staf khusus tersebut tidak memiliki bidang kerja khusus.

“Stafsus saya yang baru untuk bidang-bidangnya ini kerja barengan gitu. Jadi hanya tadi Mbak Angkie khusus juru bicara bidang sosial. Saya tambahi tugas itu,” jelas Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Kamis 21 November 2019.

Dilansir juga dari tirto.id – Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menunjuk depalan orang staf khusus yang akan membantu dia selama menjalankan pemerintahan 2019-2024. Salah satu nama yang diangkat adalah mantan menteri riset, teknologi, dan perguruan tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir.

Masduki Baidlowi yang ditunjuk sebagai Staf Khusus bidang Komunikasi dan Informasi mengatakan kedelapan nama staf khusus tersebut telah menerima surat keputusan presiden dan diumumkan hari ini, Senin, 25 November 2019.

“Beliau baru saja memanggil delapan staf khusus yang sudah mendapatkan surat keputusan dari Presiden,” ucap Masduki seperti dikutip Antara.

Kapitalisme, Problem Mendasar Ketidaksejahteraan

Salah satu problem yang langsung menyentuh permasalahan guru adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya.

Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes para guru honorer. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal? Hal itu menjadi PR besar yang harus diselesaikan oleh Pemerintah.

Padahal di dalam sistem pendidikan yang baik, salah satu hal yang harus dipenuhi adalah terwujudnya kesejahteraan pada guru oleh negara. Namun melihat fakta tersebut, tidaklah heran mengapa kesejahteraan rakyat terutama para guru tidak mampu terwujud.

Hal ini disebabkan karena sistem demokrasi yang diusung maka yang terjadinya liberalisme di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, yang mengakibatkan tidak maksimalnya peran dan tanggung jawab negara dalam mengurusi sistem pendidikan karena hanya bertindak sebagai regulator saja.

Ini selaras dengan realisasi reinventing goverment yang diadopsi pemerintah yang pada praktiknya akan muncul Undang-undang serupa dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengarah pada lepasnya tanggung jawab pemerintah sebagai pelayan rakyat secara langsung tapi menjadi wasit.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa problem kekurangan gaji guru honorer tak bisa lepas dari masalah anggaran. Pemerintah menyatatakan telah telah mengalokasikan 20 persen.

Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Nyatanya, jumlah tersebut masih kurang. Bahkan pemerintah pusat meminta agar daerah (melalui APBD) juga menganggarkan 20 persen. Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi pendidikan di daerah yang tidak memiliki cukup pendapatan. Beginikah, model pengelolaan pendidikan yang baik dari pemerintah pusat?

Maka wajarlah jika pemerataan pendidikan (termasuk jumlah guru di daerah) menjadi problem panjang hingga hari ini.

Di sisi lain, para guru ini juga menjadi korban keganasan sistem kapitalis yang telah memiskinkan Negara. Akibatnya, himpitan ekonomi dialami semua warga negara, termasuk para guru.

Demikianlah, problem ketidaksejahteraan guru ini hakikatnya adalah problem sistemik. Kondisi ini layak dicatat sebagai bagian dari penyumbang kegagalan proses pendidikan. Akibat tergerus oleh sistem sekuler kapitalis yang dipegang kuat oleh masyarakat bahkan hingga sekolah-sekolah pencetak para guru.

Betapa beratnya menata pendidikan dalam sistem sekuler kapitalis. Ini baru masalah guru, belum lagi kurikulum dan pengelolaan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, tak ada jalan lain melainkan harus mengganti sistem yang rusak dan merusak ini dengan sistem yang terjamin ketangguhannya dalam mengelola pendidikan.

Oleh karena itu, persoalan ini harus segera dituntaskan. Dari sini sistem ideologi Kapitalisme lah yang banyak menghasilkan kesengsaraan dan kesempitan hidup bagi umat manusia, karena ideologi ini berpaling bahkan bertentangan dengan syariah-Nya.

Islam, Solusi Sistemik

Allah SWT berfirman: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, baginya kehidupan yang sempit dan pada Hari Kiamat kelak Kami akan membangkitkannya dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).

Dalam Islam, problem yang dialami guru akan teratasi sebab guru memiliki kedudukan yang tinggi dan  mulia disisi Allah SWT. Karena guru  adalah sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT, yang dengan ilmunya itu menjadikan perantara manusia lain untuk memperoleh serta menuju kebaikan dunia dan akhirat. Selain itu, guru tidak hanya mendidik muridnya agar cerdas secara akademik saja tapi juga harus cerdas secara spiritual yakni kepribadian islam.

Guru identik juga dengan ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa, namun kenyataannya gurulah yang paling banyak memberi jasa dalam kehidupan manusia. Karena jasa guru, banyak manusia menjadi orang mulia dan terhormat. Itulah kenapa Islam menempatkan guru pada posisi sangat mulia.

Sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam negara Khilafah pada masa lalu mampu menghasilkan pendidikan berkualitas. Baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengelolaan sekolah, diatur sesuai aturan Islam. Perhatian Negara pada guru pun begitu besar. Sistem ekonomi yang tangguh mengantarkan negara memiliki anggaran cukup besar bagi pendidikan.

Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang).

Sistem Khilafah Islam juga menjaga atmosfir keimanan di masyarakat. Siapa pun akan menghargai profesi guru. Para guru menyadari betul tugasnya sehingga tidak mempersoalkan di mana pun mereka harus mendidik, karena yang dikendaki adalah kebaikan dari Allah SWT.

Karena itu, Sistem Khilafah Islam juga menjamin terselenggaranya birokrasi yang bersih dan cepat sehingga masing-masing lembaga negara bekerja untuk melayani rakyat, tidak saling menyalahkan atau saling lepas tanggung jawab. Sebaliknya, mereka siap melayani dan bekerja keras untuk segera menyelesaikan semua persoalan rakyat.

Dengan demikian, penyelesaian problem ketidaksejahteraan guru ini, selayaknya seiring dengan perjuangan menegakkan sistem Khilafah Islam. Keterpurukan di ranah pendidikan harus segera diakhiri dengan kembali kepada aturan Allah SWT. Wallahu a’lam.

RISNAWATI