Oleh: Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Dunia digemparkan dengan menyebarnya virus yang berdampak sangat mengerikan dan bisa menyebabkan kematian. Virus yang diindentifikasikan pada tanggal 31 Desember 2019 ini bernama Virus Corona Wuhan atau yang disebut dengan Corona virus baru 2109-nCoV, jenis virus ini masih sekeluarga dengan virus penyebab flu hingga Middle East Respiratory Syndrome (Mers) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (Sars).
Penyebab virus pun belum diketahui pasti, namun untuk sementara ini diduga dari kebiasaan warga China yang suka menyantap sup kelelawar dan binatang-binatang tak lazim lainnya seperti ular, buaya, tikus, anjing, koala hingga salamender raksasa.
Virus ini meluas sangat cepat, saking pesatnya menurut analisa para ilmuan setiap orang yang terkena virus Corona rata-rata berpotensi menyebarkan ke dua atau tiga orang lainnya yang sehat (Kompas.com, 26/01/2020).
Sehingga sampai saat ini tercatat korban tewas akibat virus Corona meningkat menjadi 80 orang dari 2.300 kasus yang dilaporkan (Kompas.com, 27/01/2020).
Hal ini tentunya membuat resah, karena tidak menutup kemungkinan masuk ke wilayah Indonesia, apalagi baru-baru ini ditemukan ada seorang warga China yang diduga terserang virus Corona yang diisolasi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung (Detik.com, 26/01/2020).
Menyikapi kasus ini, pemerintah cenderung lamban bahkan terkesan menganggap remeh, lewat pernyataan Wamenlu Mahendra Siregar, tindakan untuk menerbitkan Travel Warning ke negara tirai bambu tersebut belum perlu dilakukan, dilansir Detik.com 27/01/2020, ” dari 1.4 milyar penduduk sana ya paling dua ribuan yang terkena virus Corona, sebanyak dua ribu dari 1.4 itu kan kayak apa. Karena itu pencegahannya jangan panik, jangan resah, enjoy aja, makan yang cukup”.
Sejalan dengan pernyataan Wamenlu, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengadakan sambutan istimewa yang disuguhi dengan tarian daerah di Bandara Internasional Minangkabau atas kedatangan 170 turis asal China, hal ini tentunya semakin membuat resah masyarakat di tengah status siaga penyebaran virus (CNNIndonesia.com, 27/01/2020).
Hal ini buah dari sekularisme-kapitalisme, dengan mencampakkan nilai-nilai agama menciptakan masyarakat yang tamak dan rakus, sehingga melabrak segala norma-norma yang ada, sehingga urusan mengkonsumsi makanan pun bebas tanpa batas, tidak lagi melihat layak atau tidak, halal atau haram untuk dikonsumsi, dengan standar selama mereka suka, selama itu pula mereka akan memuaskan nafsunya.
Berbeda dengan Islam, setiap apa yang dilakukan individu, masyarakat dan negara harus selalu terikat dengan syara’, begitupun menyangkut hajatul ‘udhowiyah (kebutuhan jasmani), dalam pemenuhannya pun harus terikat dengan syara’, seperti halnya rasa lapar, mengenai apa yang seharusnya dikonsumsi, Islam membatasi dengan halal atau haram boleh atau tidak Sebagaimana firman Allah swt:
وكلوا ممارزقكم الله خلال طبيبا واتقوا الله الذي انتم به مؤمنون
Artinya: “Dan makanlah apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
(QS. Almaidah [5]: 88).
Wabah seperti ini juga pernah terjadi dimasa Rasulullah saw, ketika terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan, sebelum diketahui obatnya Rasul memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami lepra.
لا تديموالنظر الى المجذو مين
Artinya: “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta”.
(HR. Bukhari).
Rasulullah saw juga memperingatkan umatnya agar jangan berada dekat wilayah yang sedang terkena wabah.
إذا سمعتم با لطاعون بأرض فلا تدخلوها، واذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا منها
Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”.
(HR. Bukhari).
Hal yang serupa pernah juga terjadi pada masa pemerintahan ke Khilafahan Umar bin al-Khatab, ketika terjadi wabah Amirul Mukminin yang sedang dalam perjalanan ke Syam, mendapat kabar bahwa Syam terserang wabah penyakit, beliau kemudian tidak melanjutkan perjalanannya.
Menghadapi situasi ini, Rasulullah dan Amirul Mukminin melakukan penanganan terhadap umat yang terkena wabah dengan metode karantina, agar wabah tidak menyebar dan meminta untuk bersabar sembari mengharap pertolongan Allah SWT.
Karena dalam Islam seorang pemimpin yang menjadi junnah bagi rakyatnya, tidak akan menganggap remeh semua hal yang menyangkut keselamatan dan nyawa rakyatnya, dan akan selalu memberikan rasa aman, agar tidak menimbulkan kekhawatiran kepada rakyat yang dipimpinnya.
Wallahu a’lam bishshowab.