Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Kebijakan Impor Bikin Tekor?

900
×

Kebijakan Impor Bikin Tekor?

Sebarkan artikel ini
Kebijakan Impor Bikin Tekor?
Fitri Suryani, S.Pd

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka rapat kerja Kementerian Perdagangan di Istana Negara, Rabu (4/2/2020). Jokowi menyebutkan keadaan saat ini tidak normal. Ia mengatakan, ada penurunan aktivitas ekonomi di Indonesia akibat dunia yang melemah. Sektor yang terganggu yakni pariwisata, perdagangan dan investasi.

Untuk itu, Jokowi meminta seluruh pihak untuk terus bekerja dan mencari solusi. Salah satunya impor. Ia juga mengatakan bahwa urusan impor jangan lagi ada yang hambat di situ. Industri garam misalnya, untuk bahan baku kemudian gula untuk makanan-minuman (Cnbcindonesia.com, 04/03/2020).

Selain itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Surat Perizinan Impor (SPI) untuk 438.802 ton gula kristal mentah (raw sugar). Nantinya, gula kristal mentah itu diolah oleh industri makanan dan minuman dalam negeri menjadi gula kristal putih (GKP) atau gula siap konsumsi (Detik.com, 06/03/2020).

Tak hanya itu, data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tahun 2020 impor garam mengalami peningkatan menjadi 2,9 juta ton. Sebelumnya, tahun 2019 kebutuhan impor garam sebanyak 2,6 juta ton. Kenaikan impor garam di tahun ini mencapai 300.000 ton (Kompas.com, 31/01/2020).

Adanya impor yang membanjiri pasar dalam negeri tentu tak sedikit dikeluhkan oleh
para petani. Bagaimana tidak, jelas dengan adanya impor tersebut, tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi minimnya serapan gula dari petani lokal. Efek buruknya petani dapat mengalami kerugiannya.Tetapi toh kebijakan impor masih saja disetujui. Karenanya hal itu sangat disayangkan sekali.

Sebagaimana petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berpandangan, usulan itu datang di saat yang tak tepat. Sementara itu, Bulog ada rencana impor 200 ribu ton dan lembaga ketahanan pangan mau minta impor gula 130 ribu ton. Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen pun mengatakan bahwa Impor yang pertama, izin impor 438 ribu ton itu sebetulnya sudah lebih.

Karenanya pangkal keberatan para petani adalah karena Bulog tak menyerap gula petani, namun malah mengusulkan impor. Pun Soemitro mengatakan bahwasanyapermintaan Bulog dan lembaga ketahan pangan itu berlebih-lebihan, apalagi mereka saat petani panen juga tak mengambil gula mereka. Kalau alasan Bulog untuk buferstock kenapa tak beli gula petani saat harga gula jatuh.(Detik.com, 05/03/2020).

Tak jauh berbeda dengan nasib yang dialami oleh petani garam yang kian merana. Bagaimana tidak,harga garam di petambak rakyat terjun bebas hingga ke level Rp 150-250 per kilogram (kg) atau hanya 10 persen dari harga tahun lalu yang berkisar Rp 1.600 per kg.Kendati produksi telah dan kualitasnya meningkat. Pada waktu yang sama, hasil panen garam rakyat mengalami peningkatan. Di pengujung tahun 2019, produksi garam tercatat 2,86 juta ton atau meningkat dibandingkan realisasi 2018 yang mencapai 2,72 juta ton (Kompas.com, 06/01/2020).

Rendahnya harga garam tersebut tentu tak lain karena tingginya impor. Seperti yang disampaikan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengakui bahwa impor garam pada 2019 naik hampir sebesar 60 persen. Hal itu ia sampaikan dalam akun Twitternya @susipudjiastuti.Kenaikan signifikan tersebut membuat para petani tidak bisa menjual garamnya, meskipun harga jual dibandrol setengah harga. Ia pun mengatakan bahwa mulai 2018 impor naik tinggi sekali. Neraca produksi garam diabaikan. Sehingga harga petani jatuh dan masih belum bisa jual produksinya (Liputan6.com, 15/01/2020).

Tingginya impor yang berimbas pada kerugian yang dialami baik oleh petani gula maupun garam, seolah menjadi tanda tanya besar. Apakah para pemegang kebijakan tersebut berpihak pada petani lokal? Sebab persoalan impor yang membanjiri negeri tercinta ini bukan kali ini saja, tetapi sebelumnya pun pernah dialami oleh berbagai jenis komoditas lainnya.

Dari itu, para petani tersebut tentu sangat mengharapakan agar kebijakan yang diambil para pemegang kebijakan memperhatikan nasib mereka sebagai rakyat kecil yang mengandalkan pendapatan dari bidang tersebut. Karenanya sangat diharapkan kebijakan yang dibuat dapat menguntungkan semua pihak dan tidak mengorbankan sebagian pihak lainnya.

Masalah impor pun dinilai beresiko dan menjadi masalah besar, jika hal itu tidak berdasarkan analisa yang cermat. Sebagaimana contoh, ketika produksi gula dan garam cukup dan impor masuk. Tentu akan terjadi banjir gula dan garam di pasaran. Jika kedua harga komoditas tersebut di pasar turun dan harga yang diterima para petani tak menutupi biaya produksi, hal itu dapat menyebabkan kerugian bagi sebagian besar petani, bahkan dampak buruknya dapat menyebabkankebangkrutan.

Disamping itu, tak bisa dipungkiri pula dengan adanya kebijakan impor, para petani gula dan garam dalam negeri kurang berkembang karena menghadapi para pesaing dari luar negeri. Apalagi jika petani dalam negeri kalah saing dalam masalah modal. Kebijakan impor pun dapat menciptakan pengangguran, karena mengimpor komoditas dari luar negeri, dapat menjadikan kesempatan memproduksi komoditas tersebut semakin minim atau bahkan tidak ada. Hal tersebut dapat memicu hilangnya kesempatan untuk membuka lapangan kerja yang bersumber dari proses produksi barang tersebut.

Sementara dalam kacamata Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Karena ketergantungan terhadap produk tertentu akan berpeluang menciptakan kebijakan dalam negeri yang diintervensi oleh pihak asing dan hal itu merupakan salah satu pintu masuk penjajahan dalam bidang ekonomi.

Dengan demikian sulit meminimalkan atau menghilangkan masalah impor yang ada, jika kebijakan yang dibuat kurang berpihak pada petani maupun pengusaha dalam negeri. Olehnya itu, untuk bisa mewujudkan negara yang tidak menggantungkan pada impor, yakni negara yang mempunyai visi yang jelas mengenai kedaulatan ekonomi. Wallahu a’alam bi ash-shawab.

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd  (Guru Asal Kabupaten Konawe, Sultra)