Oleh. Alfiyah Kharomah
Praktisi Kesehatan, Member Revowriter Jawa Tengah
Sungguh tega rezim saat ini. Sampai hati mereka tetap menaikan tarif BPJS di tengah pandemi. Padahal sebelumnya, permintaan kenaikan tarif BPJS ini telah ditolak oleh Mahkamah Agung pada 27 Februari. Itu artinya, harusnya tarif BPJS balik ke tarif awal lagi. Yakni, kembali menjadi Rp80 ribu untuk kelas I, Rp55 ribu untuk kelas II, dan Rp25.500 untuk kelas III.
Baru saja rakyat merasa ada angin segar berhembus di tengah gurun atas putusan MA yang membatalkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 tentang tarif BPJS yang baru, di bulan Februari lalu. Di tengah wabah, rupanya BPJS tak kembali ke tarif semula. Tentu saja, ini seperti menggarami luka di hati warga. Sudahlah mereka dikelilingi wabah corona, penanganan pemerintah jauh dari kriteria, harus berdiam diri dirumah, tak bisa bekerja, Jaring Pengaman Sosial tak sampai ke tangan kaum papah, dimintai sumbangan pula.
Faktanya, Bila kita mengecek tagihan di ATM, kantor pos, ritel, maupun dompet digital, nilai yang terpampang tetap sama: Rp160 ribu untuk kelas I, Rp110 ribu untuk kelas II, dan Rp42ribu untuk kelas III. Tak ada perubahan. Hingga saat ini belum ada kepastian kapan iuran bisa kembali menjadi Rp80 ribu untuk kelas I, Rp55 ribu untuk kelas II, dan Rp25.500 untuk kelas III.
BPJS Kesehatan juga tak menampik fakta tarif iuran yang tak kunjung turun. Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan mereka belum menyesuaikan tarif karena belum terbitnya perpres baru untuk menggantikan Perpres 75/2019. Iqbal menyatakan sebenarnya BPJS Kesehatan siap menjalankan putusan MA. Namun, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 mengisyaratkan perlu aturan baru dalam kurun waktu 90 hari. Kurun waktu itu terhitung usai salinan keputusan diumumkan resmi.
Melihat usaha pemerintah untuk menaikan tarif BPJS yang tidak instan. Menteri Sri Mulyani menghitung sudah 130 kali rapat internal pemerintah untuk menaikan tarif BPJS, harus menemui jalan buntu dengan terbitnya pembatalan dari MA. Ini membuat pemerintah juga alot untuk segera menerbitkan peraturan pengganti. Selain pemerintah juga menyayangkan keputusan MA tersebut. Lewat Sri Mulyani, ia menyampaikan bahwa pembatalan MA tersebut berpotensi mempengaruhi keberlanjutan BPJS Kesehatan.
Seharusnya, pemerintah sudah bertindak untuk segera menetapkan peraturan baru. Pasalnya, salinan putusan sudah diumumkan pada situs resmi MA per 31 Maret 2020. Dalih pemerintah belum menerima putusan sudah tak dapat dipakai lagi. Di samping itu, putusan MA sudah berlaku secara yuridis sejak tanggal penetapan, meski praktiknya tarif yang dibayarkan tetap versi naik 100 persen.
Situasi ini dinilai memperburuk kondisi masyarakat saat tengah bergulat dengan pandemi COVID-19. Saat ini banyak orang kehilangan pendapatan karena di-PHK atau tidak mendapat uang karena berstatus buruh harian. Sementara ketika mereka tidak bisa bayar, maka status keanggotaannya otomatis dinon-aktifkan. Bila terpaksa menggunakan layanan, mereka juga masih diganjar denda telat bayar.
Hal ini mempertanyakan, mana empati pemerintah di saat wabah yang tak menunjukan penurunan angka? Per 10 April 2020, Kasus positif Virus Corona melonjak tajam sebesar 3.512, dengan jumlah yang meninggal 306 orang. Padahal ini yang terdata. Fenomena kasus yang terkonfirmasi ini layaknya gunung es, yang tak terkonfirmasi masih tanda tanya. Karena tak meratanya rapid tes dan karut marutnya penanganan Corona.
Kalau bertanya soal empati. Bisa dipastikan rakyat hanya akan menemukan kekecewaan. Dalam sistem kapitalis seperti ini, tak henti-hentinya rakyat dibuat gigit jari. Alih-alih menemukan kesejahteraan dan kesehatan yang layak, rakyat hanya dijadikan bulan-bulanan objek pungutan dan iuran. Mindset melayani tak akan ditemukan di dalam sistem ini. Karena pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator dan regulator para pemilik kapital.
Padahal harusnya, negara memberikan biaya yang murah bahkan gratis selagi wabah. Agar masyarakat mudah mengakses kesehatan. Biaya mahal tak membuat mereka berpikir ulang untuk memeriksakan dirinya. Karena salah satu penentu keberhasilan penanganan wabah adalah sebanyak-banyaknya masyarakat terskrining dengan baik.
Atas nama jaminan kesehatan, sejatinya jaminan adalah garansi atau janji untuk menanggung seseorang. Maka jika itu jaminan kesehatan, maka negara harus memberikan garansi untuk menanggung kesehatan rakyatnya. Tetapi, karena jaminan kesehatan tersebut lahir dari rahim kapitalisme yang hanya memikirkan soal untung rugi, maka jaminan yang muncul adalah bagaimana menjualnya agar menjadi barang/ jasa yang bisa dikomersialkan. Walhasil, meski bertopeng BPJS Kesehatan, sejatinya ia asuransi kesehatan. Untuk mendapatkanya, tentu saja berbayar.
Alih-alih berempati, penguasa saat ini justru berlepas tangan dari kewajiban menjamin kesehatan. Padahal kesehatan adalah hak dasar rakyat yang harus dipenuhi. Tentu saja, BPJS justru mengalihkan tanggung jawab yang harusnya dipanggul oleh negara. Beralih ke pundak individu per individu rakyat. Atas nama gotong royong, rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN dengan badan penyelenggranya bernama BPJS Kesehatan.
Berbeda bagai bumi dan langit dengan Islam. Kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Karena dalam ajaran Islam ini adalah sebuah kewajiban. Rumah sakit, klinik, sarana prasarana dan fasilitas kesehatan akan dijamin oleh negara keberadaannya. Rakyat memperolehnya secara cuma-cuma.
Bagaimana bisa? Tentu saja dengan mindset melayani, negara akan menyediakannya sebagai bagian dari pengurusan kepada rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari)
Tentu saja bisa, tanpa mengambil iuran apalagi pungutan. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan oleh syara’. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, lautan, berbagai macam tambang, minyak dan gas dan sebagainya. Juga dari sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fai’, pengelolaan harta milik negara yang dikumpulkan di dalam Baitul Mal. Semua itu lebih dari cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis.
Maka dengan demikian Islam memiliki performa yang luar biasa dalam membangun kesehatannya meskipun di tengah wabah. Islam akan menjamin kesehatan mulai dari kegiatan prefentif, promotif, kuratif sampai rehabilitatif.
Sungguh luar biasa gambaran kesehatan dalam Islam. Bahkan di masa pandemi sekalipun. Meneropong kebijakan-kebijakan penguasa saat ini yang jauh dari nurani. Sungguh, sistem kapitalistik yang dipertahankan ini kebanting dengan performa luar biasa tentang jaminan kesehatan Islam yang pernah berjaya selama 13 abad lamanya. Hingga mampu mengurusi 2/3 benua. Bahkan dijaman keemasan menjadi mercusuar dunia.
Sebagai renungan penguasa, dengan tetap mebiarkan premi asuransi diharga yang sudah dinaikan 100%, di tengah pandemi COVID-19, tentu saja, situasi ini tidaklah menguntungkan baginya. Belum lagi kredibiltas dipertanyakan dan ekonomi slowdown yang akan menuju down. Pemerintah mengambil jurus jaring pengaman sosial, yang teorinya jauh dari realita. Harusnya pemerintah berbenah. Sadar bahwa hukum yang layak diterapkan hanyalah hukum Sang Maha Kuasa. Tetap mempertahankan sistem bersifat kapitalistik, hanya akan membawa kesengsaraan belaka.
Wallahu’alam Bishowab.