Kartu PraKerja, Pemanis Buatan di Tengah Kesulitan

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S

(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)

Bagai punguk merindukan bulan, begitulah pepatah yang cocok untuk nasib rakyat Indonesia hari ini. Alih-alih mendamba kesejahteraan, yang dirasa justru makin sengsara. Di tengah wabah covid-19 yang telah menginfeksi sebanyak 8.882 rakyat Indonesia dan diantaranya 574 orang meninggal dunia, sebanyak 1,9 juta rakyat Indonesia harus menelan pil pahit Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di antara jumlah tersebut, sebanyak 229.789 orang yang di PHK berasal dari sektor formal. Selain itu, sektor informal juga terdampak. Sebanyak 443.760 orang dari 30.794 perusahaan di-PHK. Kemudian  sebanyak 1.270.367 orang dirumahkan.(Kompas.com/19-04-2020).

Sungguh, dampak pandemi ini begitu dahsyat bagi perekonomian nasional. Hanya dalam jangka kurang dari 2 bulan saja, mampu memerosotkan pertumbuhan ekonomi nasional bahkan dunia. Sebagaimana dilansir oleh Detik.com (04-04-2020) bahwa Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya sebesar 2,5%. Angka itu turun separuhnya dari tahun 2019 sebesar 5,0%.

Begitulah karut-marut perekonomian negeri ini akibat serangan virus corona yang kian massif. Dan di tengah kesulitan rakyat akibat PHK, negara mengeluarkan kartu sakti: kartu prakerja.

Kartu Prakerja Mampukah Menyolusi?

Kartu prakerja merupakan program  peningkatan kompetensi kerja yang telah diwacanakan pemerintah sejak masa kampanye. Kartu prakerja diberikan dalam bentuk pembiayaan pelatihan dan pemberian insentif pasca pelatihan. Sasaran kartu prakerja ini adalah para pencari kerja dan orang-orang yang ter-PHK atau berpotensi ter-PHK. 

Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono bahwa pemerintah menyiapkan setidaknya 1.000 program latihan terkait dengan Kartu Prakerja. Adapun pelatihan tersebut terdiri dari pelatihan sederhana seperti membuat kue, menggunting rambut hingga program-program pelatihan untuk menjadi youtuber, web developer hingga programmer. Di masa pandemi ini, pelatihan dilaksanakan via online.

Jika dicermati, jelas sekali bahwa penerbitan kartu prakerja sama sekali tak menyentuh kebutuhan hakiki rakyat. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi akibat wabah saat ini, butuh bantuan segera, bukan malah ikut pelatihan.

Maka, benarlah yang disampaikan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira dalam Republikaonlie (12-04-2020) bahwa konsep kartu prakerja di era pandemi ini tak ubahnya seperti jaka sembung naik ojek, nggak nyambung! Sebab korban PHK butuh makan, bukan pelatihan.

Jadi jelaslah kartu prakerja bukanlah solusi atas kebutuhan rakyat hari ini. Maka sungguh sangat disayangkan jika program ini diluncurkan di tengah pandemi hingga memakan anggaran negara cukup besar, bagaimana tidak pemerintah telah memutuskan menaikan anggaran kartu prakerja hingga 100%, yakni Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun untuk 5,6 juta orang.

Solusi Efektif

Hadirnya negara sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, apalagi di masa pandemi seperti saatnya. Karena sejatinya negara adalah penanggungjawab atas rakyatnya. Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya secara merata. Hal tersebutlah yang pernah ditampilkan oleh negara yang menerapkan sistem Islam di masa lalu. Ya, negara menjamin rakyat yang berada dibawah tanggungannya tidak ada yang kelaparan. Khalifah Umar Bin khatab bahkan rela makan seadanya demi berempati terhadap rakyatnya yang kala itu terkepung wabah. Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dalam negara saat itu begitu peduli terhadap nasib rakyatnya. Bersegera memenuhi segala kebutuhan mereka lewat dana dari baitul mal.

Begitulah hakikatnya pemimpin sebagai pelayan atas rakyat yang dipimpinnya. Karakter pemimpin yang demikian hanya akan tercipta dalam naungan sistem Islam kaffah, karena yang menjadi landasan kepemimpinan nya adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Bukan semata mengejar kekayaan pribadi. Maka wajarlah, pemimpin yang bertakwa akan berupaya menjalankan kepemimpinannya dengan sebaik-baiknya karena khawatir akan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.

Ibnu al-Mubarok meriwayatkan dari Abi Syureih bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Di antara amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kegembiraan pada hati Muslim, melapangkan kesedihannya, membayar utangnya, atau memberi makan untuk menghilangkan rasa laparnya.” (Syu’abul Iman lil Baihaqi).

Dengan demikian, yang semestinya dilakukan oleh pemerintah hari ini adalah memberikan dana bantuan tunai kepada masyarakat yang terdampak wabah. Prioritaskan rakyat di atas segalanya, termasuk pembangunan ibukota baru yang sebetulnya masih bisa ditunda pelaksanaannya.

Jika pemerintah tak mampu melihat akar permasalahan atas kesulitan rakyat, bukan tak mungkin ke depannya akan muncul berbagai kekacauan yang tidak diinginkan di tengah-tengah masyarakat.

Karena dorongan perut akan mampu menjadikan manusia menghalalkan segala cara, apalagi beberapa waktu kemarin pemerintah baru saja membebaskan 30.000 orang narapidana. Bukankah kita tak inginz negeri ini bertambah karut marut? Maka pemerintah harus mampu membaca kesulitan rakyat dan menyelesaikannya secara efektif, bukan sekadar pencitraan politik demi mempertahankan kekuasaan.