Example floating
Example floating
Opini

Tidak Sense of Crisis, Bukti Santuy-nya Rezim

907
×

Tidak Sense of Crisis, Bukti Santuy-nya Rezim

Sebarkan artikel ini
Farah Adiba

Sudah beragam ekspresi yang nampak di wajah masyarakat terhadap kebijakan yang di keluarkan pemerintah sebagai pelaksana terhadap pemenuhan hak rakyat (harusnya) di masa pandemi Covid-19 ini. Berharap berujung tak dianggap, seolah masyarakat hanyalah sebagai salah satu unsur yang harus ada untuk terlaksananya pemerintahan. Artinya, rakyat ada agar pemerintahan berjalan, bukan pemerintahan yang berjalan untuk rakyat. Wah, hubungan yang sangat menyedihkan rupanya.
Masyarakat butuh perhatian sampai pada taraf kepedulian yang berbuah pembuktian. Tapi oleh pihak yang diharap jangankan ke rakyat, terhadap krisis saja mereka kurang sense. Sudah berlembar-lembar catatan krisis yang melanda Negeri ini ditambah hak rakyat yang tidak terpenuhi terlebih di masa pandemi membuktikan betapa santuy nya pemerintah menjalankan tugasnya. Agaknya new normal benar-benar membuat kondisi saat ini berframe normal di kacamata beberapa pemerintah.

Kegeraman itupun dirasakan oleh Presiden Jokowi yang marah dan menganggap banyak menteri belum punya sense of crisis dan bekerja seperti kondisi normal. Dirinya bahkan siap mempertaruhkan reputasi politiknya untuk membuat kebijakan extraordinary (luar biasa), mulai dari membuat perpu, membubarkan lembaga hingga reshuffle.

Banyak sektor yang menjadi sorotan akibat tidak ada semacam kepekaan krisis oleh para menteri di masa pandemi ini dan yang menjadi sorotan terbesar adalah di bidang kesehatan dan ekonomi
Anggaran kesehatan sebesar Rp 75 triliun nyatanya baru digunakan sekitar 1,53% (katadata.co.id, 28 Juni), sehingga dipertanyakan bagaimana pembayaran dokter, tenaga spesialis, pembelian peralatan medis dan lainnya. Sementara hal ini harusnya mendapatkan pusat perhatian karena tercatat sejauh ini sebanyak 62.142 kasus Covid-19 di Indonesia, membuat rakyat semakin menuntut keseriusan terhadap kebijakan pemerintah yang harusnya memudahkan bukan malah membebankan.

Belum lagi masalah ekonomi, berdasarkan hasil survei SMRC, 71% masyarakat Indonesia menilai kondisi ekonomi rumah tangga mereka memburuk ketika pandemi Covid-19. Secara rinci, 62% masyarakat Indonesia mengatakan bahwa kondisi ekonomi mereka lebih buruk saat ini. Sementara, 9% responden mengatakan kondisi ekonomi mereka jauh lebih buruk.
Bagaimana nasib masyarakat kalau pemerintah saja tidak merasa bahwa kondisi saat ini krisis malah acuh bahkan tak digubris? Kesehatan yang menjadi hal terdepan yang dibutuhkan saat ini tentunya berujung pada perekonomian yang menjadi penunjang apakah layanan kesehatan dapat dirasakan atau hanyalah sebuah harapan. Kalau keduanya tidak di suguhkan, bagaimana rakyat bisa survive terlebih di masa ini?.

Sebenarnya akar masalah dari problematika yang ada tentunya berasal dari sistem yang dianut oleh beberapa negeri di dunia ini, termasuk Indonesia. Ya, sistem kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Maka tidak heran pemerintah yang lahir dari sistem ini juga dibutakan oleh nikmatnya memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
“Bukankah lebih baik kita memikirkan dan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan dan memberikan manfaat lebih besar terlebih dahulu baru kemudian kita mengurusi rakyat?”, adalah sebuah pemikiran yang tentunya berasal dari kepala yang lahir akibat sistem kapitalisme ini. Keuntungan atau manfaat yang paling utama.

Perlu disadari, yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi adalah landasan yang benar dalam pengambilan kebijakan. Selama dalam koridor kapitalisme, tidak akan lahir kebijakan benar karena selalu akan untungkan kapitalis.
Landasan yang benar, kebijakan yang benar akan didapatkan ketika sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemerintah itu ibarat pelayan rakyat. Artinya, mereka menjalankan tugasnya disamping tugas pemerintahan, ialah untuk mengurusi urusan umat. Bahkan pemerintah tidak mendapatkan upah sama sekali, hanya berupa santunan sebatas keperluan hidupnya, karena mereka tidak sempat melakukan urusan-urusan pribadi mereka sendiri.

Bisa kita lihat perbandingannya di masa ini, ketika sistem kapitalisme yang membuat orang-orang berebut kursi pemerintahan karena menjadi peluang untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sementara di sistem Islam kursi pemerintah menjadi kursi berat untuk diduduki karena tanggung jawabnya yang besar dan tidak ada peluang untuk mencari keuntungan dengan itu.

Jelas bahwa sistem kapitalisme ini adalah sistem yang cacat, sehingga apapun yang lahir dibawah sistem ini juga cacat lahiriah.
Masihkah berharap pada sistem yang cacat ini? Sedangkan ada sistem Islam yang nyatanya sudah sangat sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan dan tentunya menyelesaikan problematika yang ada. Tinggal kalian pilih, mau memperjuangkan atau malah mempertahankan yang cacat tadi. Wallahu a’lam

Oleh : Farah Adibah
(Mahasiswi & Pegiat Literasi Makassar)