Example floating
Example floating
Opini

Pemungutan Pajak Pasca New Normal

874
×

Pemungutan Pajak Pasca New Normal

Sebarkan artikel ini
Hamsina Halisi Alfatih

Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Konawe kian memaksimalkan serapan pendapatan asli daerah (PAD) di masa new normal ini. Salah satunya adalah dengan mengaktifkan sektor pemasukan lain berasal dari pajak tambang batu dan pasir alias galian C mulai dilirik. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) pun sudah menyurati para pemilik usaha tambang galian C agar membayar pajak atas hasil bumi yang dikeruk tersebut. (Kendaripos.co.id, 24/06/20)

Hal ini pun diungkapkan Kepala BPPRD Konawe, Cici Ita Ristianty, pada Selasa(23/6) diruang kerjanya. Ia mengatakan, pajak tambang galian C sangat potensial untuk menambah pundi-pundi pemasukan daerah. Tercatat, dari beberapa perusahaan galian C yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), maka pajak sebesar Rp5 miliar bisa masuk ke kas daerah Konawe.

Diera kapitalistik saat ini setiap usaha yang dilakukan baik individu maupun perusahaan wajib dikenakan pajak. Hal ini pun berlaku bagi para pengusaha pertambangan yang dikenakan pajak dalam hal ini tambang galian C.

Dasar hukum atas sektor pertambangan di Indonesia terdapat pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 serta UU No. 11/1967 tentang pokok pengusahaan pertambangan. Meskipun hal ini telah diatur dalam perundang-undangan, namun sistem perpajakan di negeri ini justru sangatlah merugikan bagi sebagian masyarakat terutama yang berada di sekitar area pertambangan.

Mengapa hal demikian terjadi? Kita tentu tahu bersama bahwa siapa pun di negeri ini boleh saja melakukan aktivitas pertambangan asalkan wajib mengikuti aturan negara dengan membayar pajak. Bahkan pemerintah pun membolehkan adanya aktivitas pertambangan ilegal. Walhasil dampak dari semua aktivitas tersebut masyarakat harus merasakan kerugian mulai dari jalanan rusak, berkurangnya populasi dan habitat satwa, menyebabkan longsor dan banjir maupun adanya polusi.

Kapitalisme-Neoliberal Ancam Kesejahteraan Rakyat

Sejak pandemi Covid-19 perekonomian Indonesia secara drastis mengalami penurunan secara signifikan. Walhasil dimasa new normal saat ini pemerintah kemudian mengaktifkan beberapa usaha dengan berbagai kebijakan. Salah satunya pemerintah daerah terkhususnya Sultra mulai mengaktifkan pajak tambang galian C. Meskipun demikian, pajak yang diberlakukan disamaratakan meskipun ada aktivitas tambang ilegal (tanpa izin ) yang masih beroperasi.

Hal ini terlihat saat pemerintah Kabupaten Buton Tengah (Buteng) melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), berhasil memungut pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Minerba) tanpa Izin (ilegal) hingga mencapai kurang lebih 700 juta rupiah. Pajak minerba ini, rata-rata dipungut pada tambang galian C yang belum memiliki izin resmi, yang beroperasi di Buteng dengan cara melalui kontraktor dan tidak turun langsung di lapangan menggunakan palang. (Lenterasultra.com,06/01/20)

Melihat kenyataan tersebut, pemerintah seakan-akan lebih mementingkan proyek kapitalis dibandingkan mengedepankan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dari sini pula kita bisa menyimpulkan bahwa neoliberalisme pada dasarnya merupakan sistem yang tak bisa dipisahkan dari sistem kapitalisme. Sistem yang lebih mengedepankan kebebasan individu ini telah menjadikan SDA terlenggut oleh swasta maupun pihak asing/aseng.

Islam Menyikapi Persoalan Pajak

Pajak merupakan sumber utama pemasukan utama bagi negara. Tak hanya itu pajak juga merupakan bentuk kontribusi rakyat kepada negara yang wajib di bayar oleh setiap wajib pajak untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan masyarakat umum. Benarkah demikian? Memang benar pajak dipungut negara guna untuk memajukan kondisi perekonomian negara serta membangun berbagai fasilitas umum. Namun lagi dan lagi fasilitas umum di sistem saat ini tidak serta merta diperuntukkan untuk masyarakat. Yang ada hanyalah masyarakat hanya dibebankan pajak.

Dalam perspektif Islam istilah pajak, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].

Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.(Tabloid Mediaumat Edisi 164)

Oleh karena itu, beban pajak di dalam Islam hanya diberlakukan jika kas negara benar-benar mengalami kekosongan. Beban pajak ini pun tidak serta merta dibebankan kepada setiap rakyat hanya kepada yang mampu dan itu pun tidak lebih dari 5 persen. Kemudian jika kondisi Baitul mal kembali kondusif maka beban pajak hanya diperuntukkan kepada non muslim atau disebut jizyah. Demikian bagaimana Islam memandang pajak tidak seperti dalam sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai pemeras keringat rakyat.
Wallahu A’lam Bishshowab.

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

error: Jangan copy kerjamu bos