Example floating
Example floating
Opini

Covid Melaju, Tunjangan Guru Terhenti

1555
×

Covid Melaju, Tunjangan Guru Terhenti

Sebarkan artikel ini
FATIMAH AZZAHRA

Menjadi guru bisa jadi salah satu profesi idaman bagi sebagian orang. Profesi ini tak hanya soal urusan mencari nafkah, namun meluas pada pengabdian mulia untuk mencerdaskan anak bangsa.

Pada zaman dulu, guru dengan gelar pahlawan tanpa tanda jasa ini identik sebagai pekerjaan dengan penghasilan pas-pasan. Oleh musisi Iwan Fals, kehidupan sederhana guru ini sampai dipopulerkan dalam lagu Oemar Bakri. Namun kini, guru jadi pekerjaan yang terbilang berpenghasilan tinggi, terutama bagi yang telah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Meski tak bisa dipungkiri pula, masih banyak guru dengan gaji sangat rendah di beberapa daerah Indonesia.

Salah satu penambah besar gaji guru adalah adanya tunjangan profesi guru (TPG), baik yang berstatus PNS maupun non-PNS. Dalam PP Nomor 41/2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan kehormatan profesor pada ayat 1 disebutkan, guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan memenuhi persyaratan dengan ketentuan perundang-undangan diberi tunjangan profesi setiap bulan.

TPG ini diberikan kepada guru dan dosen yang berstatus PNS maupun bukan PNS, dan diberikan setiap bulan yang besarannya ditentukan oleh PP Nomor 41 Tahun 2009 dan peraturan turunan. Bagi guru berstatus PNS, maka besaran tunjangan TPG ditetapkan sebesar 1 kali gaji pokok sebagai PNS sesuai dengan golongannya.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 72 Tahun 2008, bagi guru tetap bukan PNS yang telah memiliki sertifikat pendidik tetapi belum memiliki jabatan fungsional guru, diberikan tunjangan guru profesi sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan, sampai dengan guru yang bersangkutan memperoleh jabatan fungsional guru.

Tak semua guru bisa mendapatkan TPG. Guru yang bisa mendapatkan TPG adalah mereka yang mengantongi sertifikat profesi pendidik yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Sesuai Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 74 Tahun 2008, Tunjangan profesi diberikan kepada guru yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Memiliki satu atau lebih sertifikat pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi guru.
  2. Memenuhi beban kerja sebagai guru.
  3. Mengajar sebagai guru mata pelajaran dan/atau guru kelas pada satuan pendidikan yang sesuai dengan
  4. peruntukan sertifikat pendidik yang dimilikinya.
  5. Terdaftar pada departemen sebagai guru tetap.
  6. Berusia paling tinggi 60 tahun.
  7. Tidak terikat sebagai 9tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat bertugas.

Namun di masa pandemi covid-19 tunjangan profesi guru (TPG) ini dihentikan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut, di Pasal 6 tercantum bahwa tunjangan profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang bertugas di Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK).

Apa saja tunjangan profesi yang dihentikan menurut Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 6 Tahun 2020? Pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tunjangan profesi merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.

Guru bukan PNS yang diberikan tunjangan profesi dan/atau tunjangan khusus meliputi:

  1. Guru
  2. Guru yang diberi tugas sebagai kepala satuan pendidikan
  3. Guru yang diberi tugas tambahan

Ikatan Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun. Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim dalam pernyataan tertulis yang diterima Media indonesia pada senin, 20/4/2020 mengkritik bahwa Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 merugikan sejumlah pihak, yang justru sebetulnya membutuhkan dukungan lebih dari pemerintah di tengah situasi penyebaran virus corona. Para guru menilai bahwa peraturan tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Selain pada tunjangan guru, pemotongan anggaran di sektor pendidikan juga dilakukan pemerintah terhadap dana Bantuan operasional Sekolah (BOS), bantuan operasional penyelenggaraan PAUD, bantuan operasional pendidikan kesetaraan, serta bantuan operasional museum dan taman budaya. Dana BOS dipotong dari semula Rp54,3 triliun menjadi Rp53,4 triliun, bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) PAUD dipotong dari Rp4,475 triliun menjadi Rp4,014 triliun, lalu bantuan operasional pendidikan kesetaraan dipotong dari Rp1,477 triliun menjadi Rp1,195 triliun. Di sisi lain, anggaran Kemdikbud yang lebih dari Rp70,7 triliun tidak banyak berubah.

Masyarakat hanya mampu mengelus dada dan berharap Kemendikbud masih memiliki rasa empati yang tinggi terhadap guru-guru yang mengalami dampak dari pandemi Covid-19 ini, jangan sampai ada yang berkurang pendapatannya. Jika diteliti lebih dalam, anggaran-anggaran tak bermanfaat Kemendikbud lah yang seharusnya dialihkan untuk Covid-19. Anggaran peningkatan kompetensi guru di Dirjen GTK Kemendikbud tak banyak memberikan manfaat seperti anggaran organisasi penggerak yang lebih dari setengah triliun dan anggaran lain terkait peningkatan kompetensi guru oleh Kemendikbud.

Kebijakan tersebut kembali menegaskan semakin rendahnya keberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan. Lantas bagaimana menghadapi persoalan kekurangan dana akibat bencana dan apa saja sektor yg boleh dan tidak boleh dipenuhi? Hanya negara dalam sistem Islam kaffah yang mampu mengantarkan pemecahan masalah tersebut dengan benar.

Dalam kitab al amwal karya syeh Abdul Qadim Zallum, beliau memaparkan pendapatan negara dalam sistem Islam secara garis besar meliputi harta fai’, kharaj, harta-harta milik umum (seperti minyak, listrik, pertambangan, hasil laut, sungai, hasil hutan, padang rumput dan aset milik negara bandara, rumah sakit, jalan raya, dll), serta harta shadaqah (zakat mal dan zakat fitrah) yang seluruhnya disimpan dalam baitul mal.

Adapun bagian belanja negara yang memberikan bantuan kepada kaum muslim atas kondisi darurat/bencana mendadak yang menimpa masyarakat seperti gempa bumi, angin topan, kelaparan, pandemi dan sebagainya. Biaya yang harus dibelanjakan oleh baitul mal diperoleh dari harta fai’ dan kharaj serta dari harta pemilikan umum. Apabila tidak terdapat harta dalam pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim (sumbangan sukarela atau pajak).

Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan (pelayanan masyarakat) untuk kemaslahatan kaum muslim. Mereka berhak memperoleh upah/gaji dari baitul mal atas pekerjaannya itu. Pembayaran upah/gaji mereka adalah kewajiban baitul mal yang bersifat tetap, baik ada uang/harta maupun tidak. Jika ada uang dibaitul mal, maka harta itu langsung dikeluarkan untuk mereka. Namun jika tidak ada maka negara mewajibkan pajak kepada kaum muslim untuk membiayai mereka, sesuai dengan yang dibutuhkan.

Adapun untuk pembiayaan jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran air minum dan lain-lain yang sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai maka bahaya akan menimpa masyarakat. Pembiayaan untuk urusan-urusan tersebut bersifat tetap baik di baitul mal ada uang/harta ataupun tidak. Jika tidak ada uang maka negara mewajibkan pajak kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan tersebut.

Pajak dalam islam diambil dari kaum muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna. Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan.

Pajak tidak boleh diwajibkan kepada kaum muslim selama didalam baitul mal dijumpai uang atau harta untuk pembiayaan sektor yang sangat dibutuhkan umat dan jika tidak dibiayai akan menimbulkan bahaya bagi umat.

Demikian sempurnanya negara dengan sistem Islam mengatur kebutuhan manusia agar kesejahteraan masyarakat terwujud. Dan ini telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para khalifah sesudah beliau. Wallahualam bis showab.

FATIMAH AZZAHRA, S.Pd (Aktivis Muslimah)

PUBLISHER: MAS’UD