Selain itu pula, pihak PT GMS harus transparansi terkait IUP berdasarkan amanat Undang-Undang RI pasal 141 Nomor 3 tahun 2020.
“Bukankah salah satu ketentuan dan amanat undang-undang tersebut, pihak perusahaan harus mensejahterakan rakyat di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) namun hal demikian belum pula dirasakan masyarakat setempat pasca beroperasinya PT GMS hingga saat ini, pasalnya kami menilai ada pilah-pilah yang dilakukan pihak pemerintah kecamatan dan PT GMS terhadap masyarakat di Kecamatan Laonti”, ungkap Hendrik
“Dan saya mewakili teman-teman yang terhimpun dalam HPPM Kecamatan Laonti Pesisir barat akan terus mengawal persoalan tersebut hingga tuntas, dan jika benar apa yang menjadi dugaan kami, maka kami akan segera melaporkan ke pihak Kejati agar hal tersebut menjadi perhatian, kok membiarkan pihak perusahaan ilegal beroperasi dan kami meminta kepada pihak DPRD Sultra yang terkait, agar lebih jeli dan peka melihat polemik dan persoalan yang terjadi”, terangnya.
“Karena kami masyarakat di sana merupakan warga Sultra juga yang butuh kesejahteraan, keadilan, serta perhatian, sebagaimana berdasarkan pasal 33 ayat 3 tahun 1945, Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”, lanjutnya.
Sebelumnya, HPPM Kecamatan Laonti telah melakukan aksi di DPRD Konsel pada (30/8) yang lalu. Dalam aksi tersebut, HPPM sempat di terima untuk hearing oleh ketua DPRD Konsel.
Menanggapi tuntutan HPPM, pihak DPRD Konsel berjanji akan menyurati pihak PT GMS untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang akan digelar pada, Kamis (2/9).
“Namun kami sangat sayangkan perjanjian tersebut diundur hingga, Senin (13/9) dengan alasan pihak perusahaan dan yang terkait harus mengawal turunnya anggota DPRD Sultra untuk meninjau lokasi tambang yang berada di Kecamatan Laonti”, katanya.
Komentar