Ada Apa di Balik Isu Radikalisme

Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Belakangan ini, isu radikalisme makin nyaring terdengar. Bagai lagu lama yang kembali diputar tanpa bosan. Ini bermula dari pesan Presiden Jokowi agar seluruh rektor dan jajarannya mendidik mahasiswa secara utuh agar di luar kampus tidak mudah terpapar paham radikal atau ekstremis, (cnnindonesia.com-14/9/2021)

Pernyataan senada, disampaikan Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam, Prof. Kamaruddin Amin mengenai radikalisme. Ia mengatakan, sebagai lembaga pendidikan, seharusnya kampus menjadi lembaga paling steril dari paham dan perilaku ekstrem karena di sana berkumpul para akademisi dan orang-orang pintar, dikutip dari Republika, 16/9/2021.

Radikalisme, Isu yang Tak Pernah Sepi

Soal radikalisme, penguasa sangat fasih membicarakannya. Entah karena terbawa dengan peristiwa 9/11 atau karena ada program di balik itu yang harus tercapai, yaitu moderasi agama. Isu radikalisme disebut menyasar tempat-tempat strategis pendidikan, seperti pesantren, sekolah, dan kampus. Tak ayal, dentingan radikalisme kembali menguat seolah persoalan di negeri ini cuma itu.

Mengutip apa yang disampaikan ketua MUI, K.H. Miftachul Akhyar, ada dua paham yang berbahaya di Indonesia, yaitu radikalisme kiri dan kanan.  Radikalisme kiri mengarah ke pemikiran sekularisme, liberalisme, dan pluralisme yang dilebur dalam pemikiran agama. Adapun radikalisme kanan mengarah ke terorisme berkedok agama atau mengatasnamakan agama dengan dalih jihad fii sabilillah.

Baik radikalisme kiri ataupun kanan sama-sama berbahaya. Namun, isu radikalisme semakin bergerak liar. Radikalisme kiri yang dimaksud ketua MUI tak pernah dipermasalahkan dan dipersalahkan atas problematika yang menimpa negeri ini.

Apakah para pemangku kebijakan tidak pernah berpikir bahwa rusaknya generasi hari ini berpangkal dari paham sekuler-liberal yang mengakar di dunia pendidikan? Tidakkah berpikir pula banyaknya pejabat tak amanah juga tersebab sekularisme- yang mana agama tak dijadikan pedoman dalam kehidupan. Namun, semua ini tidak dipersalahkan atau menjadi masalah besar.

Saat ini, isu radikalisme tak lagi terbatas pada ancaman teror fisik dan nyawa. Isu ini menjadi narasi tiada henti hingga meluas tanpa kendali. Adakalanya digunakan untuk membungkam siapapun yang kritis terhadap kebijakan penguasa. Cap radikal mudah tersemat kepada mereka yang berseberangan dengan penguasa. Orang taat pada agamanya pun dicurigai radikal. Sampai-sampai ada istilah masjid radikal, penceramah radikal, kartun radikal, kampus radikal, dakwah radikal, dll. Semua istilah itu bermuara pada satu hal, yaitu Islam radikal.

Inilah salah satu kesuksesan program global ‘War On Terrorism’. Mereka berhasil mengubah cara pandang umat tentang Islam. Muslim yang menolak ide-ide Barat dianggap radikal dan ekstrem. Muslim jenis ini harus diwaspadai karena akan melahirkan benih radikalisme dan terorisme. Sementara muslim yang terbuka dengan pemikiran Barat dinilai moderat. Muslim seperti ini harus dirangkul dan diberi panggung.
Alhasil, inilah yang menjadi sebab narasi radikalisme tidak pernah terlepas dari unsur kepentingan dan politik kekuasaan. Narasi ini sangat manjur untuk menjatuhkan lawan politik atau meredam gerakan yang dianggap mengancam eksistensi kekuasaan penguasa.

Mari, BerIslam Kaffah

Sejatinya, baik radikalisme dan moderasi agama adalah proyek ciptaan Barat untuk menghalau kebangkitan pemikiran Islam. Radikalisme diharuskan dengan dalih peristiwa 9/11 tahun 2001 silam. Tujuannya, untuk membuat umat fobia dengan agamanya sendiri.

Sementara, moderasi agama diprogramkan untuk menangkal radikalisme. Islam moderat menjadi role model bagi muslim pilihan Barat untuk menangkal gerakan yang mereka anggap radikal. Moderat yang berarti menerima nilai-nilai dan pemikiran produk Barat sembari muslim boleh beribadah dalam ranah individu saja. Jangan berpolitik apalagi mendirikan negara.

Benang merah keduanya adalah sama-sama ingin menghambat lahirnya generasi Islam yang berkualitas, cerdas, dan kritis. Tidak salah bila narasi radikalisme terus saja disuarakan di lembaga pendidikan. Program moderasi juga turut menjadi program prioritas dalam dunia pendidikan. Semuanya memiliki tujuan yang satu, yakni agar tidak lahir bibit-bibit generasi terbaik abad ini.

Islam adalah halangan terbesar atas eksistensi ideologi kapitalisme sekularisme. Orang-orang kafir akan senantiasa mencari jalan agar umat ini tetap terlelap dengan ide-ide mereka. Menghalau stigma radikal kepada Islam memang harus dilakukan, tetapi bukan berarti menjadi pengusung moderasi. Umat Islam harus punya agenda sendiri. Yakni berdakwah memberi kesadaran pemahaman yang benar kepada umat; menjelaskan kerusakan ide-ide yang bertentangan dengan Islam; mengkaji Islam secara kafah agar tidak terjebak pada pemikiran yang salah; serta menguatkan ikatan akidah dan ukhuwah agar tidak mudah dipecah belah oleh musuh Islam.
Islam sudah sempurna dengan penjelasan yang berdasar Al-Qur’an dan Sunah.

Tidak perlu mencari tafsiran lain selain dari keduanya. Apa yang disampaikan Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, Syamsul Bahri, memang benar. Ia mengatakan Islam itu harus dipahami secara kafah (menyeluruh), tidak boleh sepotong-sepotong memahaminya.

Begitulah semestinya sikap seorang muslim. Berislam jangan nanggung. Harus utuh dan menyeluruh. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al-Baqarah: 208).

Wallahu a’lam bissawab

Penulis : Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)

Editor/ Publisher : Yusrif Aryansyah

Komentar