Pada 30 Oktober 1945, Surat kabar The Cairns Post menulis di halaman utamanya, “BRITISH POSITIONS IN SURABAYA IN STATE OF SIEGE, HEAVY FIRING BY INDONESIANS, CLASHES MAY RESULT IN SERIOUS CASUALTIES.”
Menurut surat kabar asal Australia tersebut, posisi tentara Inggris dalam pertempuran Surabaya berada dalam posisi terpojok atau terkepung oleh serangan yang amat kuat dan besar dari pejuang Indonesia. Pertempuran itu diprediksi akan memakan korban serius.
Sementara koran Australia lainnya, The Sydney Morning Herald edisi 6 November 1945, menulis berita tentang Pertempuran Surabaya yang berlangsung 28-30 Oktober 1945, “Jika pertempuran berlangsung hingga dua hari lebih lama, maka pasukan Inggris akan tersapu bersih.”
Betapa hebatnya perlawan yang dilakukan rakyat Surabaya pada saat itu. Sampai-sampai bukan saja laki-laki yang terlibat dalam pertempuran, tapi juga para wanita pun turut serta dengan beraninya. Prof. Osman Raliby pernah menceritakan mengenai hal itu, “Dan lebih mengagumkan lagi semangat kaum wanita kita yang melaksanakan kewajiban di garis belakang pertempuran untuk mengantar makanan. Mereka tak kenal takut atau gentar sedikitpun.”
Apa yang dilakukan para pahlawan melawan penjajah tidak lain karena kecintaan mereka terhadap tanah air. Mereka tidak rela jika harus apa yang telah Allah berikan pada mereka direbut dan dikuasai dengan zalim oleh pihak lain.
Sementara itu, mencintai tanah air atau tempat di mana kita lahir, tumbuh, dan tinggal adalah sebuah fitrah. Bahkan hal demikian juga dirasakan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah riwayat Rasulullah ﷺ sangat mencintai kota kelahirannya, Mekkah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَيَّ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Demi Allah engkau (Mekkah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan tanah Allah yang paling aku cintai, demi Allah jika saja aku tidak terusir, aku tidak akan pernah meninggalkanmu (HR. Ibnu Majah no. 3108).
Dikisahkan, saat Rasulullah ﷺ meninggalkan Mekkah dan sampai di daerah bernama Juhfah, muncul kerinduan beliau ﷺ terhadap Mekkah, hingga pada akhirnya Allah menurunkan firman-Nya:
اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ
Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Nabi Muhammad untuk menyampaikan dan berpegang teguh pada) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (QS. Al-Qasas [28]: 85).
Para ahli tafsir seperti Imam Suyuti dan Prof. Quraish Shihab berpendapat bahwa tempat kembali yang dimaksud adalah Mekkah. Imam Bukhari dalam kitab shahihnya juga meriwayatkan demikian dari Sahabat Ibnu Abbas ra. (HR. Bukhari no. 4773).
Selain mencintai tempat kelahirannya, Mekkah, Rasulullah ﷺ juga mencintai tempat di mana beliau ﷺ mendirikan sebuah negara, dan tempat di mana beliau ﷺ membangun peradaban, yakni Madinah.
Sahabat Anas bin Malik ra. menceritakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ، وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ، حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
Nabi ﷺ ketika kembali dari sebuah perjalanan, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Jika beliau menunggangi unta maka beliau ﷺ memacunya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau ﷺ kepada Madinah (HR. Bukhari no. 1886)
Saking besarnya cintanya Rasulullah ﷺ terhadap Mekkah dan Madinah, sampai-sampai beliau ﷺ pernah berdoa pada Allah.
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ، كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu (HR. Bukhari no. 6372).
Oleh karena itu, tidak heran jika para pahlawan di negeri kita, yang tidak jarang mereka berasal dari kalangan ulama dan santri, rela berkorban mempertahankan tanah air dari kekuatan musuh yang ingin menjajah.
Selain karena cinta, kewajiban membela tanah air memiliki posisi yang tinggi dalam Islam. Siapa saja yang kemudian wafat karena berjuang mempertahankannya, maka ia akan dicatat sebagai seorang syahid.
pahlawan mengenai perjuangan.
Mohammad Natsir pernah mengungkapkan:
“Untuk mencapai sesuatu, harus diperjuangkan dulu. Seperti mengambil buah kelapa, dan tidak menunggu saja seperti jatuh durian yang telah masak.”
Pangeran Diponegoro juga pernah menyampaikan:
“Hidup dan mati ada dalam genggaman Ilahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalau pun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.”
REDAKSI
Komentar