Ide Moderasi Beragama mulai Menyisir Dunia Kampus dan Sekolah

Zulhilda Nurwulan (Relawan Opini Kendari)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Proyek moderasi beragama masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020—2024. Demi suksesnya moderasi ini, pihak pemerintah (Kemenag maupun BPIP) melakukan berbagai langkah, diantaranya riset-riset, diklat-diklat, training for trainer, deteksi dini konflik keagamaan, serta seminar Kebangsaan.

Disamping itu, pemerintah pun menerbitkan beberapa buku Moderasi, diantaranya buku saku moderasi beragama bagi guru, buku modul pelatihan penguatan wawasan moderasi bagi guru, pedoman mengintegrasikan moderasi pada mata pelajaran agama, dan buku pegangan siswa. Peluncuran empat buku ini dikemas dalam gerakan “Aksi Moderasi Beragama: Menyemai Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Kebhinekaan”.

Iklan KPU Sultra

Yaqut menilai institusi pendidikan menjadi salah satu ruang strategis dalam menyemai penguatan moderasi beragama. Apalagi jumlah pendidik dan peserta didik pada semua jenjang secara nasional mencapai 61,3 juta. Dari jumlah itu, kata dia, sebanyak 51 juta adalah peserta didik pada jenjang dasar dan menengah, dan 7,3 juta adalah mahasiswa.

Sementara jumlah guru mencapai 2,6 juta dan dosen 308 ribu orang. “Jumlah ini adalah 22,6 persen dari total populasi di Indonesia,” kata dia (Republika.co.id, 23/9/2021). Kementerian Agama terus memprioritaskan program-program terkait pengarusutamaan moderasi beragama sampai ketingkat pelajar dan mahasiswa. Lingkungan sekolah dianggap sudah menjadi ruang berkembangnya paham ekslusifisme yang cenderung mengarah pada pemikiran radikal.

Usaha menyemai benih moderasi beragama dilingkungan sekolah merupakan ancaman yang sangat berbahaya. Sebagaimana yang diketahui bahwa proyek moderasi beragama ini bukanlah proyek baru melainkan perpanjangan dari proyek global untuk menghancurkan Islam. Terlebih, tujuan dari moderasi beragama ini adalah untuk menimbulkan rasa ketakutan umat Islam terhadap ajaran agamanya sendiri.

Ustad Muh Fahim, seorang pengamat liberalisasi agama mengungkapkan bahwa liberalisasi agama merupakan jalan bahaya yang pengaruhnya sangat besar untuk memurtadkan generasi. Bahkan, Ia pun menambahkan sejatinya moderasi beragama merupakan ancaman akidah yang datang dari dalam diri umat muslim sendiri. Olehnya itu, perlu memperkenalkan para tokoh agama yang Hanif dan bijaksana kepada generasi muda agar mereka tidak mudah terbawa arus moderasi beragama ini.

Moderasi Beragama, Solusi Problem Utama Bangsa?

Proyek moderasi beragama merupakan bagian dari kampanye islamophobia ditingkat global. Pemerintah melalui kementerian agama di laman youtube Kemenag RI memberikan alasannya terkait proyek moderasi beragama ini. Menurutnya, sebagai bangsa yang masyarakatnya amat majemuk, Indonesia seringkali mengalami gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan. Selain itu, masalah-masalah sosial lainnya kerap mewarnai adanya gesekan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Ini tak ayal dapat mengganggu suasana rukun dan damai. Semua fakta yang kita hadapi adalah karena keragaman paham umat beragama di Indonesia memang amat tak terperi.

Lalu bagaimana kita menyikapinya? Membungkamnya jelas tidak mungkin, tapi membiarkan tanpa kendali keragaman pandangan yang ekstrim, juga bisa membahayakan persatuan dan kesatuan. Sehingga, kementerian Agama menawarkan sebuah solusi beragama jalan tengah yang disebut “Moderasi beragama. Moderat adalah sebuah kata sifat turunan dari kata Moderation yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang.

Kata Moderat sendiri berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti kesedangan, tidak berlebihan tidak kekurangan alias seimbang. Dalam bahasa Arab, padanan moderasi adalah wasat atau wasatiyah, yang berarti tengah-tengah. Kata ini mengandung makna I’tidal (adil) dan tawazun (berimbang)…Masyarakat perlu tahu bahwa moderasi beragama adalah cara kita,umat beragama menjaga Indonesia.. (Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum ; Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama kementerian Agama RI).

Pernyataan diatas perlu dikaji dan dikritisi sehingga konsep sesat moderasi beragama tidak menjadi pisau tajam yang melukai bahkan menikam faham dan praktik beragama umat islam di Indonesia.

Dari pernyataan kemenag banyak yang perlu dikritisi, bahwa tidak adil menempatkan gesekan sosial sering terjadi karena masalah keagamaan. Ada beragam gesekan sosial yang terjadi bukan karena agama tetapi Konflik sosial yang bernuansa saparatisme, Konflik sosial bernuansa idiologis, konflik akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengerusakan; Konflik sosial bernuansa ekonomi dan Konflik sosial lainnya.
Dengan demikian, adanya proyek moderasi beragama ini bukannya membawa solusi atas segala konflik sosial melainkan akan menumbuhkan sikap yang muncul dari pemikiran sekuler. Pemikiran yang akan memisahkan kehidupan dunia dengan agama.

Moderasi Islam, Upaya Pengalihan Problem Hakiki

Sejarah mencatat bahwa Islam pernah memimpin dunia selama kurang lebih 14 abad. Hal ini membuat barat segan dengan kegemilangan Islam.Oleh sebab itu, para intelektual Barat yang mengkaji teologi dan filsafat Islam. Dan jelas bahwa para intelektual Barat (orientalis) tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam dan budayanya.

Istilah ‘moderasi’ lahir bukan dari rahim ajaran Islam. Pada tahun 1998, Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: a Sourcebook telah menuliskan terkait moderasi ini.

Islam merupakan sistem global, sistem yang lahir dari Allah Swt. Sekalipun banyak orang pintar yang mencoba menafsirkan Islam dengan pandangan mereka, namun Islam tidak bersifat lokal karena sejatinya Islam bersifat universal.

Terminologi dan konsep moderasi mengandung nilai dan konten sesuai budaya dimana terminologi ini tumbuh dan berkembang. Moderasi menurut Barat berdasarkan nilai-nilai demokrasi liberal, sekuler, dan pemaknaan toleransi yang tidak tepat. Oleh karena itu, konsep moderasi ala Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur dan nilai-nilai Islam, dengan demikian tidak dapat diterima sebagai sebuah konsep beragama.

Memang benar bahwa Islam memerintahkan sikap proporsional (tawâzun) dan sedang (tawassuth), yaitu tidak bersikap ifrâth (berlebihan, melampaui batas) dan juga tidak tafrîth (meremehkan, meninggalkan). Namun, moderasi yang dimaksud di atas adalah berbeda.

Yang disebut moderasi di situ sejatinya adalah sikap tafrîth (meremehkan, meninggalkan) syariat Islam itu sendiri. Sehingga perlu dibongkar bahaya moderasi beragama pada pelajar dan mahasiswa tentang bahayanya terhadap aqidah, bahaya moderasi agama terhadap pelaksanaan syaria’at serta cita-cita luhur melanjutkan kehidupan islam sesuai dengan manahj kenabian dengan cara yang milenial friendly sesuai dengan karakteristik generasi ini.

Pengemban dakwah perlu meng-highlight narasi yang perlu di counter atau diserang, menyampaikannya dengan uslub uslub yang dekat dengan sasaran dakwah tanpa meninggalkan metode yang shahih. Wallahu A’alam Bi Showab.

Penulis : Zulhilda Nurwulan (Relawan Opini Kendari)

Editor : Yusrif Aryansyah

Komentar