Australia Godok UU Anti Hoaks untuk Medsos

Australia Godok UU Anti Hoaks untuk Medsos
Ilustrasi

Regulator media Australia tengah mengkaji aturan berupa Undang-Undang yang dapat memaksa perusahaan internet seperti Google, Meta, dan TikTok memberikan data internal tentang bagaimana mereka menangani hoaks dan disinformasi. Hal ini dilakukan karena Otoritas Komunikasi dan Media Australia (ACMA) mencatat, empat perlima orang dewasa di Australia mendapatkan informasi yang salah tentang coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Laporan ACMA juga menunjukkan, penyebaran hoaks secara sengaja untuk memengaruhi politik atau menabur perselisihan. Facebook bahkan tercatat menghapus empat kampanye disinformasi di Australia selama 2019-2020.

Iklan KPU Sultra

Laporan itu mencatat, kelompok konspirasi sering mendesak orang untuk bergabung ke platform yang memiliki kebijakan moderasi lebih longgar, seperti Telegram. “Jika platform menolak pedoman konten yang ditetapkan industri, maka mereka dapat menghadirkan risiko yang lebih tinggi bagi komunitas Australia,” kata ACMA.

Selain itu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga ingin memperketat aturan bagi perusahaan teknologi. “Platform digital harus bertanggung jawab atas apa yang ada di situs mereka dan mengambil tindakan ketika konten berbahaya atau menyesatkan muncul,” kata Menteri Komunikasi Paul Fletcher dalam pernyataan pers seperti dikutip Reuters.

Menurut laporan dari ABC News Australia, aturan baru ini akan memaksa platform media sosial mengungkap identitas akun yang melakukan troll atau pencemaran nama baik. Kalau tidak, penyedia platform tersebut bisa terancam sanksi denda.

Tidak hanya itu, dengan aturan yang tengah digodok ini, perusahaan penyedia platform media sosial juga harus membuat sistem pengaduan yang mudah digunakan seseorang jika mereka merasa menjadi korban pencemaran nama baik.

Nantinya, jika ada aduan, akun yang memposting konten dengan potensi mencemarkan nama baik akan diminta untuk menghapusnya. Tetapi jika mereka menolak, atau jika korban tertarik untuk melakukan tindakan hukum, platform tersebut kemudian dapat secara legal meminta izin kepada pengunggah untuk mengungkapkan informasi kontak mereka.

Australia Godok UU Anti Hoaks untuk Medsos
Ilustrasi

“Jika platform tidak bisa mendapat persetujuan pengunggah, maka pemerintah akan mengungkap identitas pengunggah tanpa izin sesuai dengan aturan yang ada,” kata Morisson. Rencananya, rancangan undang-undang “anti troll” tadi selesai pekan ini.

Menanggapi rencana tersebut, DIGI, badan industri Australia yang mewakili Facebook, Google Alphabet, Twitter, dan TikTok, mengatakan bakal mendukung kebijakan Australia. Mereka juga menyatakan sudah menyiapkan sistem untuk memproses keluhan tentang informasi yang salah.

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini yang mungkin luput dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

WhatsApp menegaskan bahwa informasi yang viral di media sosial tentang cara atau langkah jika ingin meretas akun WhatsApp seseorang tidak benar. Informasi yang dimaksud adalah yang dibagikan di platform TikTok dengan narasi yang disertakan ‘Cara Ngebajak Wa Doi’ dan tersebar secara online. “WhatsApp berkomitmen untuk melindungi privasi pesan pribadi dan keamanan pengguna, sehingga kami tidak akan membangun fitur yang membahayakan komitmen tersebut,” ujar juru bicara WhatsApp di Indonesia, Esther Samboh, pada Kamis 17 Maret 2022.

Seorang hakim di Pengadilan Tverskoy Moskow telah memutuskan untuk melarang dua aplikasi Meta, Facebook dan Instagram, karena terlibat dalam kegiatan ekstremis, sebagaimana dilaporkan oleh outlet media milik negara Rusia, TASS. Larangan tersebut akan memblokir Meta dari melakukan bisnis atau membuka cabang baru di negara tersebut dan akan berlaku segera. Namun, larangan itu tidak termasuk WhatsApp.

Brasil menghentikan pemblokiran terhadap Telegram hanya dalam dua hari. Sebelumnya, Mahkamah Agung di negara tersebut meminta Telegram diblokir karena dianggap gagal memenuhi perintah pengadilan. Pemblokiran Telegram dicabut setelah aplikasi Telegram berjanji untuk melabeli postingan berisi informasi palsu yang dipromosikan sebagai informasi faktual. Telegram juga berjanji akan memerintahkan karyawannya mengawasi 100 channel Telegram paling populer di Brasil.

Gedung Putih Menyarankan Perusahaan Bisnis Swasta untuk Meningkatkan Pertahanan Siber, karena Mendapat Kabar Rusia Sedang Mempersiapkan Serangan Siber Terhadap AS. Saran tersebut diberikan sebagai bentuk antisipasi. Wakil penasihat keamanan nasional Gedung Putih untuk teknologi siber dan teknologi baru Anne Neuberger menekankan kepada wartawan bahwa tidak ada bukti rencana serangan siber khusus pada saat ini, tetapi perusahaan dan sektor yang diperkirakan menjadi sasaran menerima pengarahan rahasia pekan lalu.

Periksa Fakta Sepekan Ini

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial kembali didominasi oleh klaim terkait konflik Rusia dan Ukraina. Buka tautannya ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Tidak Terbukti, Covid-19 Berasal dari Laboratorium Ukraina
Menyesatkan, Paten Sistem Cryptocurrency dari Tubuh Manusia Milik Microsoft Terkait dengan Simbol Iblis 666

Sumber: cek fakta tempo

Komentar